26 Fix, Nona Muda Butuh Dokter Jiwa

"Neng, apa sebaiknya kita menghubungi tuan besar? Saya takut dimarah."

"Jangan takut mang, kan ada saya," ucap Arsyilla.

"Tapi ini udah tiga hari neng disini, nggak ada tanda-tanda mau pulang gitu?"

"Ahh, mamang mah gitu, mau usir saya ya?" Arsyilla cemberut.

Mang Jamal adalah penjaga villa keluarga Arsyilla, dia adalah generasi kedua. Sebelum dia ayahnya yang menjaga villa tersebut.

Ia menempati villa bersama istri dan anaknya yang seusia Arsyilla.

"Neng kabur kan?" Tebak Mira.

"Siapa bilang?" Tantang Arsyilla.

"Saya lah." Mira ini emang kadang kalau ngomong nggak di saring, semua main tebak dan bener pula itu.

"Jangan sotoy deh Mir," kesal Arsyilla.

"Kalau neng kesel gini, tandanya bener tebakkan saya."

"Mir, lo itu lama-lama ngeselin banget, sumpah. Mending mamang sama bi Lastri ganti anak deh, jangan Mira lagi."

"Emang bisa neng?" Sambar Lastri antusias.

"Ada noh di loakkan," jawab asal Arysilla enteng sambil ngunyah ugor (ubi goreng)

"Ohh, ibu udah bosan anaknya aku ya? Pak nikah lagi, aku bosen ibunya ini." Lastri melotot mendengar ucapan anaknya yang otw durhaka.

"Ya, bapak kalau kamu udah minta gitu bisa apa atuh." Lastri memukul bahu pak Jamal dengan kuat.

Arsyilla tertawa terbahak, tinggal tiga hari di villa suasana hatinya kembali cerah, bagaimana tidak keluarga pak Jamal yang sederhana dan humoris membuatnya betah.

Arsyilla bahkan melupakam statusnya sebagai istri Mahardhika, wajah pria itu saja dia lupa.

"Uda atuh buk jangan pukul lagi." Pak Jamal memohon ampun pada istrinya.

Mira dan Arsyilla tertawa girang sambil nyemilin ubi goreng di taman depan, di bawah pohon mangga yang ada cakruknya. Kebun bunga di atas puncak yang tak jauh dari villa Arsyilla menjadi pemandangan yang menarik.

"Pak, mobil siapa itu?" Mira mengintrupsi kedua orangtuanya yang masih setia baku hantam, hanya ibunya yang begitu. Bapak setia jadi samsak walau sambil meringis.

Arsyilla melihat mobil yang berhenti tepat di depan pagar, ia seperti mengenali mobil tersebut namun Arsyilla berpikir jika mobil seperti itu tidak satu di dunia ini.

"Buk, ada tamu. Malu!" Pak Jamal langsung lari kearah mobil tersebut.

"Siapa Mir?" Tanya bi Lastri.

"Kalau ibu nanya sama Mira, Mira tanya siapa?" Matanya menatap penuh tanya Arsyilla begitipun bi Lastri.

"Orang nanyak alamat kali, lagian kenapa liat aku begitu?" Arsyilla memutar bola mata malas.

"Ya neng kan pemilik villa, mungkin temen neng yang kemari, nggak mungkin teman saya naik kendaraam begitu," celetuk Mira.

"Bukan temanku, kalaupun ada yang nyariin, aku harapnya pangeran berkuda putih dari khayangan." Halu Arsyilla.

"Ternyata jadi orang kaya nggak enak ya buk?" Bisik Mira yang masih bisa di dengar Arsyilla.

"Kenapa gitu?" Mereka bicara seolah Arsyilla makhluk tak kasat mata.

"Ya begitu halunya ketinggian, disini mana ada pangeran berkuda putih, yang ada juga mang kasep, si tukang delman berkuda hitam." Tawa keduanya pecah saat mengingat mang kasep, pria tua bandot yang suka nyengir jika melihat Arsyilla.

"Aku denger ya!!" Jerit Arsyilla kesal. Keduanya terdiam namun bahunya masih bergetar.

"Kayaknya ni villa butuh penjaga baru, penyegaran gitu lo," gumam Arsyilla, ia melirik ibu dan anak itu saling menjawil dan menyalahkan.

"Neng!" Panggil pak Jamal, Arsyilla menoleh.

Tubuhnya membeku saat melihat siapa yang berjalan bersama mang Jamal, tatapannya menghunus mata indah Arsyilla.

Arsyilla bukan terkejut karena kehadirannya, tapi harinya yang tenang lenyap sudah. Kehadiran pria ini sama dengan badai tsunami buat Arsyilla.

"Neng kenal sama aden ini?" Tanya mang Jamal sopan. Ketiga orang tersebut merasakan aura hitam dan putih saat menyaksikkan keduanya bersitatap.

Mira menyikut Lastri, dan Lastri menyikut pak Jamal, pak Jamal tidak tau mau menyikut siapa. Boy berdiri agak jauh soalnya, di sepak baru kena.

Kan nggak mungkin berani mang Jamal nyentuh Boy, bodyguard bertubuh kekar.

"Aku nggak kenal pak," ucap Arsyilla lalu berbalik untuk masuk kedalam villa.

"Tiga hari kabur, kamu sudah lupa pada suamimu?" Suara dingin Dhika mengintrupsi langkah Arsyilla.

Slowmotion ketiga orang tersebut cengok dengan mulut terbuka. Kaget sudah pasti, kapan nona muda mereka menikah? Sebelia itu, bahkan lahirnya cuma beda hari dengan Mira.

Arsyilla berbalik, "jangan ngaku-ngaku. Usir aja mang." Arsyilla pergi meninggalkan pekarangan villa. Moodnya hancur.

Dhika menarik nafas melirik Boy, segera pria itu menyambungkan panggilan telpon ke Bagas, ayahnya Arsyilla. Setelah itu memberikan ponsel itu pada mang Jamal.

"Oh, iya tuan. Iya, akan saya laksanakan." Mang Jamal masih syok, hanya bisa berkata iya, oh saja pada tuannya.

Ia memberikan kembali ponsel tersebut pada Boy, lalu melirik anak dan istrinya sambil mengangguk.

Seketika Mira meluruhkan tubuhnya dengan tatapan kosong, gadis desa yang sedikit barbar itu sungguh terkejut mendengar berita uwow ini.

"Mira, bangun." Interupsi Lastri sambil menepuk bahu putrinya, gadis itu terduduk di tanah.

'Kumat ni anak' batinnya. Ia sangat segan melihat dua pria tampan di hadapannya sekarang.

"Kenapa tuan dan nyonya tega ngejual neng Cia?" Airmata gadis itu tanpa permisi dan salam langsung keluar.

Dhika menatap tajam gadis itu dengan sebelah alisnya naik dan bersedekap dada.

"Siapa yang ngejual neng atuh?" Mang Jamal jongkok dan menggoyangkan tubuh Mira.

"Tuan dan nyonya. Apa salah neng Cia, sampai di nikahkan sedini ini?" Dhika merasa dirinya pedofil sekarang berkat ungkapan 'sedini ini'

"Neng Cia udah cukup umur, kamu juga udah layak nikah sebenarnya." Mang Jamal tidak enak hati. Putrinya bahkan sudah sesegukan untuk hal yang tidak penting.

Neneknya meninggal saja dia tidak sehisteris ini.

"Bisa tunjukkan kamar saya?" Dhika jengah melihat drama Mira.

'Aku bukan pedofil' batinnya kesal. Padahal tidak ada yang mengatakan dia pedofil.

"Mari ikut saya den." Mang Jamal sedikit membungkuk dan memimpin jalan menuju kamar tamu yang selalu di bersihkan setiap hari, menjaga jika sewaktu-waktu ada tamu mendadak gini.

Sementara di kamar yang lain Arsyilla mendumel sendiri sampai tertidur pulas, tanda mulutnya sedikit terbuka.

Nyenyak kali kalau udah gitu.

***

"Cuma pak Boy yang boleh makan, semua belanjaan ini saya yang beli." Boy yang berdiri di sebelah Dhika berdiri dengan tegak tanpa ekspresi.

"Kalau mau perang nanti saja, saya lapar." Mang Jamal, bik Lastri dan Mira aneh melihat pasangan suami istri ini.

"Tu kan, apa aku bilang pak. Neng Cia ketekan batinnya," bisik Mira yang diam-diam di angguki Lastri.

"Mira!" Seru Arsyilla menatap tajam gadis seusianya, mendengar suara Arsyilla yang tinggi, gadis itu pelan-pelan menatap Arsyilla, baru kali ini nonanya tinggi suara padanya, "sarangeo!" Arsyilla membentuk hati dengan jari jempol dan telunjukknya mmeberikkannya pada Mira.

Gadis itu cuma bisa cengok.

'Fix, nona butuh dokter jiwa' batinnya prihatin.

"Batinku emang ketekan banget, kayak di lindas truk."

"Di lindas dan ketekan beda makna, Syilla." Koreksi Dhika.

"Alah yang penting sama-sama di pres." Semakin bingung orang yang menyaksikan keduanya yang ribut di meja makan.

Lastri mengikuti intrupsi yang suaminya berikan, harus menyediakan makanan yang berkwalitas dan sehat selama anak mantunya majikan disini.

"Bisa makan sekarang?" Perut Dhika sungguh meronta, tiga hari Arsyilla menghilang selama itu pula ia makan tidak teratur, bukan hilang selera hanya saja ia sibuk mencari keberadaan gadis kecil yang bak di telan bumi.

"Kalau bapak lapar, cari makan sendiri lah, saya nggak izinin bapak makan, makanan yang ada di atas meja ini saya beli pakek uang pribadi." Arsyilla menekan kata terakhir.

"Pak Boy, duduk dan makanlah, masakan bi Lastri mantul." Arsyilla mulai mengambil lauk pauk dan langsung memakannya tanpa perduli tatapan Dhika.

Di dalam otak Mira berpikir keras kenapa Arsyilla meamanggil suaminya dengan sebutan bapak.

"Non, semua masakan ini bahan dasarnya di beli pakai uang tuan dan nyonya." Arsyilla hampir tersedak mendengar ucapan mang Jamal.

Mang Jamal dengan hati-hati dan takut menjelaskannya pada Arsyilla, nona mudanya ini sangat mengerikan kalau marah.

"Belanjaan yang saya beli mana?"

"Neng kan cuma bawa telur dan mi instan, sama susu yang ada di kulkas."

'Oh, iya juga' batin Arsyilla.

See, dengan tenang Dhika mulai mengambil piring dan lauk pauknya, dengan wajah songong merasa menang di atas angin, tatapan mengejeknya membuat Arsyilla ingin memuntahkan makanannya di depan wajah menyebalkan Dhika.

avataravatar
Next chapter