14 Berlari Secepat Pergerakkan Cahaya

Pukul 6 pagi Arsyilla sudah rapi dengan pakaian santainya, ia keluar kamar dengan pelan, ia akan pergi kerumah sakit untuk membawakan sarapan guru favoritenya, dia keluar lebih awal agar tidak bertemu Dhika.

Moodnya bisa anjlok karena pasti terpancing emosi.

Saat akan keluar rumah, Dhika lebih dulu pergi kedapur untuk minum, bungkusan nasi goreng itu masih tergeletak di atas meja, posisinya pun masih sama.

Setelah diam sejenak, ia ambil bungkusan dan note tersebut lalu membuangnya ketempat sampah.

Dengan perasaan kesal tanpa sebab Dhika pergi meninggalkan penthousenya.

***

"Selamat pagi Pak Ramlan." Arsyilla masuk keruang VIP yang ia pesan khusus untuk gurunya.

"Pagi Arsyilla, kenapa kamu kesini? Tidak sekolah?" Arsyilla meletakkan dua box bubur ayam di atas nakas lalu membantu gurunya untuk duduk.

Dia melihat tubuh tua gurunya yang tidak berdaya, di tambah lagi gurunya ini tidak memiliki keluarga membuat Arsyilla semakin bersalah.

"Nak, kenapa melamun?" Pak Ramlan menggoyangkan tangannya di depan wajah murid kesayangannya.

"Eh maaf pak, saya melamun hehehe." Arsyilla menggaruk rambutnya yang tidak gatal.

"Iya, sekarang jawab. Kenapa tidak kesekolah?"

"Saya di skors." Mata Ramlan membelalak.

"Karena apa?" Tanya Ramlan serius.

"Bapak nggak ingat kemarin saya balik lempar si Maya sampek pingsan."

Ramlan mencoba mengingat kejadian kemarin, dan ia ingat saat di UKS muridnya itu bertengkar dengan salah seorang guru muda.

"Kamu tidak harus membalasnya, saya menolongmu untuk menghindari perkelahian, Nak."

"Nggak apa-apa Pak, kalau nggak saya balas, bisa mati karena marah saya kemarin." Arsyilla paling tidak bisa yang namanya menahan emosi.

"Kamu ini terlahir cantik dan pintar tapi kenapa tidak kalem." Ramlan menggeleng-gelengkan kepalanya dengan senyum yang menghiasi wajah keriputnya.

"Manusia nggak ada yang sempurna Pak, saya yang udah perfect ini harus ada kurangnya juga lah, biar yang lain nggak iri." Mereka berdua tertawa setelah itu.

"Di habisin ya Pak? Ini bubur ayam terenak di Dunia, tempat langganan saya." Pak Ramlan tersenyum hangat sambil mengangguk.

Arsyilla membeli dua box agar bisa sarapan bareng gurunya itu, msreka makan bersama sambil bercengkrama kecil sebelum kemunculan seseorang merusak mood Arsyilla.

"Selamat Pagi Pak," sapa Ramlan sopan ketika melihat siapa yang masuk keruangannya.

"Pagi, bagaimana kondisi anda?" Mata Dhika tidak lepas menatap tajam remaja yang duduk tenang memainkan ponsel.

Dia terkejut namun berusaha semaksimal mungkin untuk menahan diri.

"Saya lebih baik Pak, sebenarnya saya tidak harus di rawat di sini, istirahat dirumah juga akan membaik."

"Saya pikir juga begitu, tapi ada gadis keras kepala yang selalu memaksakan kehendaknya."

Arsyilla memasukkan ponsel ke dalam tas, lalu bangkit dari duduknya untuk menghampiri Pak Ramlan.

"Pak, saya pamit ya? Masih ada urusan, besok saya kesini lagi, cepet sembuh." Arsyilla tersenyum manis sambil menyalim tangan gurunya yang juga sudah keriput.

Tidak lupa ia membawa sampah bubur ayam, ia tidak ingin ruangan gurunya itu menjadi bau.

"Hati-hati Nak, ini pak--"

"Ok pak, saya pergi dulu." Potong Arsyilla cepat, dirinya bahkan tidak melirik Dhika, tidak mengucap salam, membuat pria itu mengepalkan kuat tangannya.

Arsyilla berlari meninggalkan rumah sakit, ia menggunakan tangga darurat, tidak ingin pria itu mengejarnya, bukan kegeeran, tapi melihat tatapan tajam pria itu membuat Arsyilla merinding seperti melihat hantu.

Dikepala kecilnya tombol warning berbunyi, itu artinya dia harus lari sejauh mungkin dari pria itu sekarang.

"Maaf Nona, liftnya dalam kondisi baik, anda bisa menggunakannya." Salah seorang petugas mencegat Arsyilla.

"Saya emang mau pakai tangga darurat kok," ucap Arsyilla tersenyum canggung, "sekalian olahraga, saya hanya turun satu lantai." Arsyilla lega karena petugas itu membiarkannya pergi, dengan secepat pergerakakn cahaya gadis itu menuruni anak tangga.

"Gile, kenceng juga gerakkan tu gadis kecil, pasti atlit lari," gumam petugas tersebut sambil nyengir kuda.

****

Kepala Dhika di penuhi gadis itu, setelah basa-basi sejenak dirinya pun undur diri, ia sebenarnya enggan kerumah sakit namun tanggung jawab menuntutnya.

"Saya permisi, semoga cepat sembuh." Dhika bangkit dan sedikit menundukkan kepalanya.

"Terima kasih Pak atas perhatian anda," ucap Pak Ramlan dengan senyum hangatnya.

Dhika hanya mengangguk sekilas lalu segera keluar dari ruangan itu, ia akan mengejar Arsyilla yang dirinya yakin pasti masih menunggu lift, gadis itu tidak akan lepas darinya.

Bagaimana bisa bersikap begitu santai, padahal dirinya yang salah, pikir Dhika.

"Lihat remaja yang memakai hoddie abu dan jeans putih?" Tanya Dhika.

Dia tidak menemukan jejak Arsyilla disana, gadis itu benar-benar buat dia sakit kepala.

"Adeknya ya?" Tanya seorang suster dengan senyum di buat semanis mungkin.

Kaum hawa semua pasti terpesona dengan ketampanan dan kharisma Dhika tanpa terkecuali, dari kalangan berbagai usia.

Eits! Ada satu hawa yang tidak terpesona, dia adalah Arsyilla Ayunda.

"Ada lihat?" Suster tersebut langsung tersenyum kaku.

"Tidak," cicitnya. Suara dingin Dhija membuat mereka tertunduk takut.

"Maaf cari siapa ya?" Tanya petugas yang tidak sengaja mendengar pertanyaan Dhika.

"Remaja perempuan menggunakan hoodie abu dan jeans putih," ucap Dhika.

"Ooo, adek yang cantik itu ya? Dia turun dari tangga darurat, katanya emang mau lewat situ, mau turun satu lantai katanya."

Alis Dhika sedikit berkedut mendengar hal itu, gadis itu benar-benar menghindar dengan sempurna darinya.

Tanpa menjawab ucapan petugas tersebut Dhika segera masuk kedalam lift yang sudah terbuka.

Tidak ada gunanya mengejar kancil licik itu sekarang, pikirnya.

****

Arsyilla berlari sekuat tenaga hingga nafasnya ngos-ngosan, ia seperti di kejar hantu, dahinya penuh keringat.

Begitu sampai di depan rumah sakit dirinya langsung memanggil taxi, ia memilih segera pulang ke penthouse dan mengurung diri di dalam kamar.

Lebih baik betapa daripada bertemu monster gila itu, bukan dirinya takut hanya saja untuk saat ini dirinya sedang malas bertengkar.

Sementara jika bertemu kepala sekolahnya itu, urat dan pembuluh darah besar Arsyilla menjadi aktif.

'Oh Tuhan, wajah cantikku bisa cepat menua kalau terus tinggal dan berurusan dengan dia!' Jerit Arsyilla dalam hati.

****

"Cil menurut lo apa kita jenguk aja Cia abis pulang sekolah?" Tanya Zanetha.

"Coba lo tanya sekarang tu anak posisinya dimana." Zanetha mengangguk dan langsung mengirim pesan ke nomor Arsyilla.

Ting

"Gue lagi nggak pengen di ganggu, jangan jenguk gue, gue bukan sakit kronis." Zanetha menunjukkan balasan Arsyilla pada Cecilia.

"Tu anak tau aja kalau kita nanyak lagi di mana artinya mau nyamperin," ucap Zanetha dengan bibir manyunnya.

"Udahlah Cia lagi dalam mood yang nggak baik sekarang, mending kita nunggu aja dulu sampek dia masuk sekolah." Zanetha mengangguk.

"Lagian gue heran, Cia di skors kok Maya nggak sih?" Zanetha menahan kesal.

"Dia korban, dia sudah minta maaf secara resmi ke pak Ramlan, dan juga dia bilang nggak sengaja," jawab Cecilia.

"Fake itu," ucap Zanetha.

"Emang dari mananya sih si lampir itu yang Ori?" Zanetha dan Ceclia tertawa, sedangkan Maya sudah menahan emosinya.

Dhika sengaja tidak memberi hukuman untuk Maya karena ia bertanggung jawab saat Arsyilla menjambak rambut gadis itu sampai banyak yang rontok.

Dirinya hanya tidak ingin orangtua gadis itu menuntut hukuman lain untuk Arsyilla.

Anggap saja ini kompensasi darinya untuk remaja labil itu.

avataravatar
Next chapter