2 Umma

Umma Sinta menuangkan air memenuhi gelas yang kosong, sedangkan suami dan anaknya tampak lahap menyantap masakan Mbo Lastri. Rutinitas ini tidak boleh terlewatkan, sarapan pagi bersama-sama merupakan hal yang wajib di lakukan setiap harinya. Tidak ada percakapan yang keluar dari mulut mereka, hanya suara pukulan sendok yang mengisi keheningan ini.

"Sekolahmu bagaimana Sidiq?" tanya Abi Umar kepada anak semata wayangnya

"Baik-baik aja kok Abii" jawab Shidiq sambil melepaskan sendok dari bibirnya

"Baguslah! Ingat, pendidikan untuk akhirat juga sama pentingnya"

"Iya Abiii"

"Dulu Abii suruh sekolah sambil pesantren kamu tidak mau."

"Aku tidak mau abii, aku ingin bebas dulu. Nanti kalau sudah keluar SMA baru aku masuk pesantren,"

Abii Umar akhirnya memotong tali keheningan yang sedari tadi mengantung, ia membuka percakapan bertanya kepada anak kesayangannya bagaimana dengan sekolahnya. Shidiq mendengus kesal ketika Abiinya menyinggung soal pesantren. Uma Shina hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat dua pria kesayangannya bertengkar kecil.

Abii Umar merupakan pebisnis sukses di kota Magelang, Jawa Tengah. Ia mengelola restoran dan sudah membuka cabang di mana-mana. Untuk bisa sesukses ini Umar tidak harus mengenyam pendidikan yang tinggi, berbekal Ijazah SD Umar bisa membangun Bisnis dan sukses sampai sekarang.

Kesuksesannya itu berkat Pak Kyai Abdullah selaku Guru ngajinya di Pesantren Al-Hikmah. Dalam masa-masa sulit, Pak Kyai banyak membantu Umar sampai sesukses sekarang. Jika membicarakan tentang jasa, tinggi gunung Himalaya pun tidak menandingi jasa Pak Kyai

Setelah sukses dengan bisnisnya, Umar menikahi Shinta dan mempunyai seorang anak yaitu Shidiq. Pernikahan yang sudah melewati angka 20 itu tetap langgeng dan Harmonis. Sosok pria seperti Abii Umar merupakan sosok yang jarang dimiliki oleh keluarga, ia merupakan suami sekaligus ayah yang baik

Umar dan Shidiq meninggalkan meja makan setelah memastikan baterai di tubuhnya terisi penuh. Umarpun siap-siap pergi untuk bekerja,sedangkan Shidiq siap-siap pergi ke sekolah. Shinta pergi ke kamar untuk membawa tas kerja Umar.

Shinta mencium punggung tangan Umar sebelum berangkat, Shidiq juga pamitan kepada sang Ibu. Shidiq bergegas berangkat, ia memasuki mobil bersama ayahnya.

"Abii hati-hati yah di jalan! Jangan ngebut-ngebut!" perintah Shinta untuk berhati-hati

"Kamu juga, hati-hati di rumah. Kalau mau kr luar rumah izin dulu sama abi,"

"Baiklah Abi,"

*

*

*

*

*

Di Sekolah

Suara burung berkicau menyuarakan kehadirannya di pagi hari ini. Dengan penuh semangat Shidiq melangkahkan kakinya memasuki sekolah. Bibirnya tersenyum lebar, menebarkan serbuk-serbuk aura positif untuk menjalani hari ini dengan baik. Shidiq terkenal di sekolah dengan sikapanya yang Humble, ia ramah ke setiap orang tanpa membedakan orang dari statusnya.

"Shidiq, PR Sudah ngerjain belum?" tanya Ali tiba-tiba.

"Bukannya nyapa dulu, ini malah nanyain PR" Shidiq mendengus kesal.

"Aku belum nih! Nyontek punya kamu yah?" Memohon-mohon sambil merapatkan kedua tangannya.

"Enak saja nyontek, aku rela begadang ngerjain PR ini. Kamu tuh dengan gampangnya minta contekan!" jawab tegas Shidiq.

"Heiiiiiii~~~~~ Dasar teman medittt!"

Shidiq berlari menghindari Ali si tukang begal PR, dengan senaknya dia mau nyalin PR yang sudah susah payah Shidiq kerjakan di malam hari. Sebuah petir tiba-tiba muncul dari atas langit pertanda murkanya seorang Ali karena tidak di beri contekan sama Shidiq.

"Aishhhhh dasar, Shidiq tunggu!"

Ali berlari mengejar Shidiq yang sudah hampir sampai di kelas. Bukan Ali namanya kalau dia menyerah begitu saja, tanganya ia lingkarakan di pundak Shidiq merayu kembali untuk mendapatkan contekan. Shidiq menggoyang-goyangkan tubuhnya melepas tangan Ali yang memberi rasa berar di tubuhnya. Shidiq yang sudah bekerja keras mengerjakan PR di bawah sinar bulan purnama, rasanya tidak sudi jika orang lain menyonteknya begitu saja.

"Tanganmu berat Ali! mau kamu jungkir balikpun, aku tidak akan memberikan PR ku kepadamu!" jawaban tegas Shidiq untuk kedua kalinya.

"Aku nyerah, kalau aku di hukum sama Pak Guru itu salah kamu," kesal Ali

Shidiq hanya bisa menatap sahabat dekatnya itu, ia tidak habis pikir bagaimana bisa ia bersahabat dengan orang seperti Ali. Kalau dia bukan sahabatnya sejak SMP, mungkin ia sudah menyerah melanjutkan persahabatan bagaikan kepongpong ini.

"Ali gitu aja kamu marah, jangan marah dong!"

Shidiq menghampiri sahabatnya yang sedang kesal karena dia, Ali memonyokan bibirnya karena kesal dan mengabaikan rangkaian kata yang terlontar dari mulut Shidiq. Ali menggeserkan kursinya berusaha untuk menjauh dari Shidiq, melihat tingkah temanya yang konyol Shidiq hanya menggelengkan kepalanya.

"Ayah dan Ibunya bercerai kemarin"

"Kenapa bisa Ayah dan Ibunya bercerai?"

"Apa Ayahnya selingkuh? Atau jangan-jangan Ibunya selingkuh?"

"Pasti karena Ibunya sudah tidak memenuhi standar sebagai seorang istri, coba pikirkan baik-baik apakah seorang pria akan betah tinggal bersama istri yang sudah tidak memenuhi syarat?"

"Ayolah palingan masalah ekonomi jadi penyebab perceraian orang tuanya."

Suara bisikan itu memenuhi kapasitas pendengaran Shidiq dan Ali. Hampir dari orang yang ada di kelas ini menatap Maryam sambil membicarakan hal yang sebenarnya bukan urusan mereka. Maryam tidak menanggapi mereka yang membicarakannya, ia menunduk sambil memainkan ponsel miliknya.

Pertahanan Maryam akhirnya runtuh juga karena terlalu banyak suara-suara jahat masuk ke dalam telinganya. Maryam menggeserkan kursinya, kemudian berlari dengan perasaan sedih. Shidiq menatap Maryam dengan perasaan iba, pasti sangat sulit jika Shidiq berada di posisi Maryam.

Shidiq membantingkan ke dua tangannya ke meja sehingga menimbukan suara keras memenuhi ruangan ini. Semua murid tiba-tiba berhenti membicarakan permasalahan keluarga Maryam. Suara itu berhasil membungkap mulut-mulut yang hobinya menggosip saja.

"Apa menurut kalian ini lucu? Maryam teman kita, kenapa kalian buat dia sedih?" tanya Shidiq kepada mereka

"Bukannya ini memang benar? Lalu apa yang salah dari perkataan kami?"

"Apa kalian tidak menyadari, kalau ucapan kalian itu menyakiti perasaa Maryam? Berhenti mengurusi masalah orang lain kalau tidak menemukan solusinya, yang ada kalian hanya memperburuk situasinya"

Pertanyaan Shidiq tidak bisa di jawab oleh mereka. Shidiq berlari keluar menyusul Maryam yang entah ke mana perginya. Shidiq mengarahkan semua pandangannya untuk mencari Maryam. Terlihat Maryam sedang duduk di pinggir lapangan basket sambil memegang sebuah photo. Satu tetes air mata membasahi photo yang sedang di peganginya, air mata itu jatuh tepat di bagian wajah Ayahnya.

Tidak tega melihat teman sekelasnya sedih, Shidiq menghampiri Maryam dan duduk di sampingnya. Shidiq memang di kenal sebagai orang yang Friendly dan baik ke semua orang. Oleh dari itu, tidak ada yang tidak mengenal murid bernama Shidiq di sekolah.

"Kamu kenapa? Kalau ada masalah bisa cerita sama aku," tanya Shidiq

"Aku harus bagaimana?" jawab Maryam dengan nada sedih

"Memangnya ada apa?"

"Orang tuaku akan bercerai, apa yang harus aku lakukan?"

Shidiq bertanya dengan harapan bisa menghilangkan sedikit beban yang di pikul Maryam. Pertanyaan yang menimbulkan pertanyaan lagi. Sebuah pertanyaan terlontar dari mulut Maryam, namun Shidiq tidak mampu merangkai kata demi kata untuk menjawab pertanyaan itu. Ia hanya bisa tertegun.

"Kenapa kamu diam saja? Bukannya kamu ke sini untuk memberiku solusi?" tanya Maryam melanjutkan percakapan

Shidiq yang sudah terlanjur masuk ke dalam permasalahan ini di tuntur untuk menjawab, namun permasalahan terlalu rumit bagi Shidiq yang belum berstatus menikah. Shidiq hanya bisa bilang bersabar untuk Maryam yang menghadapi ujian ini.

"Kamu harus sabar Maryam, semuanya akan berlalu,"

"Kamu bilang sabar? Apa kamu tahu betapa menyakitkannya ini bagiku? Setiap hari aku menangis melihat pertengkaran orang tuaku, aku bersembunyi di sudut ruangan berharap kejadian itu hanyalah sebuah mimpi"

"Kamu dengan gampangnya bilang ini sabar, sabar adalah kata yang tidak mempunyai makna. Semoga kamu tidak merasakan apa yang aku rasakan"

*

*

*

*

*

14.00 WIB

"Kamu mau pulang sama aku gak?" Ali memberhentikan motornya di depan Shidiq

"Aku di jemput Abi, kalau aku pulang sama kamu nanti di marahin sama Uma,"

"Gak papalah sekali-kali"

"Sana kamu pergi saja, tuh Abi sudah sampai!"

Umar menyalakan bunyi klakson memberitahu kalau dirinya sudah sampai. Umar membuka kaca mobilnya dan tersenyum lebar ke arah Shidiq. Shidiq membalasan senyum Umar, ia berjalan perlahan dan membuka pintu mobil.

"Tadi itu siapa Shidiq?" tanya Umar penasaran

"Itu Ali pak, dia ngajakin pulang bareng."

"Ali yang sering main ke rumah?"

"Iya Abi, dia yang sering ngabisin kulkas kalau main ke rumah,"

"Besok-besok jangan bawa dia ke rumah!" canda Umar.

Umar menyalakan mesin mobil dan melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Shidiq mengambil ponsel dari tasnya, memeriksa sosial media berapa jumlah like yang ia dapatkan di postingan terbarunya. Umar melirik ke samping, mengeleng-gelengkan kepala melihat tingkah anak semata wayangnya.

"Tadi kamu di sekolah bagaimana?" tanya Umar membuka percakapan

"Alhamdulillah lancar Abi, tadi tidak ada pelajaran yang terhambat."

"Inget pesan Abi, kalau di sekolah itu jangan neko-neko dan fokus belajar."

Disela-sela pembicaraan mereka, sebuah motor melaju sangat kencang dan menyalip mobil Umar. Rem mendadak di injak membuat kepala mereka terbentur ke depan.

"Awhhhh Astagfirullah, bawa motor tidak hati-hati." Kesal Shidiq kepada pengendara motor.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya Umar khawatir.

Shidiq menunduk akibat rem yang di injak mendadak, tidak sengaja Shidiq melihat selembar struk tergeletak di bawah. Shidiq mengambil struk itu dan duduk tegap seperti biasa. Matanya lekat-lekat memandangi struk, ia sangat penasaran struk apa itu?.

Struk bertulisakan "Eunice Collection" di atasnya, lalu di bawahnya tulisan barang-barang yang di beli. Anehnya hanya baju-baju anak balita yang tertulis di struk itu. Shidiq tidak punya adik ataupun keponakan di bawah umur lima tahun. Shidiq melirik pelan ke arah Umar yang sedang fokus menyetir. Berbagai prasangka tertanam di pikiran Shidiq.

Shidiq pun memasukan struk itu ke saku seragamnya

avataravatar