1 Bukan Cerita Telenovela!

Mila memainkan kedua tangan di atas paha, merasa gugup dengan hasil wawancara kerja yang sudah dia lakukan sebelumnya.

Kata Vega, temannya yang menjabat sebagai manajer HR di perusahaan ini. Hasil interview-nya menunjukkan hasil yang bagus, tetapi sebagai penilaian akhir, dia harus bertemu dengan pimpinan perusahaan ini, yang tidak lain merupakan anak pemilik perusahaan.

Setelah mendapat telepon dari sekretaris direktur operasional yang akan menjadi atasannya langsung itu, Mila segera datang untuk melakukan tes tahap terakhir.

Ya, di sinilah dia sekarang. Duduk di depan ruangan direktur utama perusahaan ini, yang Mila tahu kalau tidak salah namanya Kevin.

Mila sendiri tidak habis pikir, apa mungkin di sebuah perusahaan sebesar ini, hanya sekedar melamar kerja sebagai admin keuangan saja, interview-nya sampai harus dengan direktur utamanya langsung?

Tidak ingin ambil pusing, Mila hanya menurut saja, mengikuti semua tes yang harus dilalui, asal dia bisa diterima untuk bekerja di sini, karena dia sangat membutuhkan pekerjaan ini.

"Nona Mila?"

"Oh iya, saya!"

Mila segera bangkit dari duduk saat namanya dipanggil oleh seseorang, sepertinya dia sekretaris direkturnya yang dimaksud oleh para sahabatnya kemarin.

"Mari ikut saya."

Setelah itu, Mila berjalan mengikuti di belakang perempuan itu. Dari belakang saja, Mila menyadari bahwa perempuan itu sangat seksi.

Apa memang semua sekretaris direktur selalu seksi begitu? Karena di perusahaan tempat dia bekerja sebelumnya juga seperti itu.

Para sekretaris direkturnya selalu cantik dan juga memiliki keseksian yang … luar biasa.

"Tunggu di sini. Sebentar lagi Pak Kevin akan datang."

Mila hanya mengangguk atas perkataan sekretaris direktur itu barusan. Kemudian pandangannya menyapu ruangan dengan desain interior yang indah. Ruangan ini lebih dari kata berkelas.

Ya, tentu saja, perusahaan besar pasti berbeda.

"Maaf, saya baru selesai rapat. Apa kamu sudah lama menunggu?" Kedatangan seorang pria tampan di depannya, membuat Mila terkejut sampai berdiri dari posisi duduknya. Bisa dia tebak, pria itu adalah pimpinan perusahaan ini.

Jika tidak, mana mungkin pria itu dengan seenaknya masuk ke ruang pimpinan tanpa permisi.

"Mari, silahkan duduk," ujarnya sembari duduk di kursi kebesarannya.

Mila mengikuti perkataan pria itu, kembali ke tempat duduknya semula.

"Namamu Carmila, kan?" tanyanya, dengan tangannya yang sibuk membuka berkas di tangannya. Sepertinya itu berkas identitas diri milik Mila.

Menjawab pertanyaan pria di depannya, Mila mengangguk. "Cukup panggil saya Mila, Pak."

Pria itu hanya mengangguk-anggukkan kepala setelahnya. Hanya dengan melihat gestur wajahnya yang tertunduk saja, Mila sudah yakin seribu persen bahwa direktur utamanya itu … sangat tampan.

"Oh iya, kamu pasti belum mengenal saya, kan? Saya Ralph Kevin Arsenio, cukup panggil saya Pak Kevin. Dan Selamat Mila, kamu diterima bekerja di sini," ujar pria itu, mengulurkan tangannya untuk dijabat oleh Mila.

Sementara Mila hanya terdiam di tempat, tidak menyangka bahwa pria itu akan berbicara langsung pada intinya. Mila pikir dia masih harus diwawancara lagi.

"Bapak serius saya diterima bekerja di sini?"

Kevin mengangguk mantap, membenarkan pertanyaan Mila tanpa adanya keraguan yang terlihat. "Iya, saya serius. Kamu diterima kerja sebagai istri saya."

"Hah?"

Mila terkejut, sekaligus merasa takjub dengan perkataan pria yang akan menjadi atasannya itu barusan. Dia tidak salah dengar, kan?

"Bapak bilang saya diterima kerja sebagai apa?" Saking tidak percayanya, Mila sampai mengulang pertanyaan.

"Sebagai istri saya," ujarnya, terlewat sangat santai untuk ukuran melamar seseorang. Sementara Mila sampai mengerjapkan matanya beberapa kali karena terkejut.

"Jadi, bagaimana? Kamu mau menjadi istri saya, kan?" tanya Kevin, menuntut sebuah jawaban dari lawan bicaranya.

Mila menautkan kedua alisnya, dan berkata dengan sarkas. "Bapak sakit, ya?"

Kevin mendengus kesal, sebenarnya sudah dia duga sebelumnya bahwa perempuan di hadapannya itu pasti akan menganggapnya sakit, atau mungkin gila. Kevin sendiri juga tidak menyangka dia akan melakukan hal gila ini. Tetapi apa boleh buat, dia tidak memiliki pilihan lain.

Keluarganya menuntut Kevin untuk segera menikah atau mereka akan memaksa pria itu menikah dengan perempuan setengah gila yang … sayangnya memiliki kecantikan seperti Dewi Aphrodite.

"Memang wajah saya terlihat seperti orang sakit?" Meski enggan, Kevin masih menanggapi pertanyaan Mila sebelumnya.

Mila menggeleng. "Tidak, tapi pertanyaan bapak barusan, wah itu ... benar-benar gila!"

Kevin tersenyum sarkas mendengar perkataan Mila yang terkesan menyinggungnya. "Setelah sakit, sekarang kamu menyebut saya gila?"

Mila menghela napas berat, lalu berdiri dari posisinya dengan bangga. "Maaf Pak, tetapi saya di sini melamar bekerja sebagai admin keuangan, bukan sebagai istri Bapak. Kalau tidak ada yang ingin Bapak bicarakan lagi, saya permisi."

Sudah beranjak dari posisi, Mila berjalan menuju pintu keluar ruangan itu, sebelum langkahnya terhenti saat Kevin mengucapkan sebuah tawaran yang menggiurkan.

"200 juta. Itu gaji kamu per bulan sebagai istri saya. Kalau kurang, saya bisa memberikan lebih dari itu, berapapun yang kamu minta." Mila otomatis membalikkan badannya mendengar itu.

200 juta?

Gila!

Itu uang sungguhan atau bohongan?

Dia bahkan tidak pernah memiliki uang lebih dari lima juta setiap bulannya. Dan sekarang calon atasannya itu ingin membayarnya 200 juta per bulan?

"Bagaimana? Masih ingin menolak tawaran saya?" ujar Kevin.

Pria itu juga berdiri dari duduknya dan berjalan menghampiri Mila yang berdiri dekat dengan pintu ruangannya.

"Kamu bekerja sebagai istri saya, hanya untuk meyakinkan keluarga saya. Jadi kamu tidak benar-benar menjadi istri saya, Mila. Istilah lainnya, kita hanya menikah kontrak? Ya, seperti itu. Dan setelah satu tahun, saya akan menceraikan kamu."

Itu lebih gila lagi!

Apa yang harus Mila katakan pada ibunya jika dia menikah, lalu setahun kemudian dia bercerai?

Ini kehidupan nyata, bukan cerita telenovela!

Lagipula Mila hanya ingin menikah satu kali seumur hidupnya.

"Maaf Pak, tetapi saya tidak bisa menerima tawaran itu," ujarnya dengan tegas.

Membuat Kevin tanpa sadar berjalan mendekati perempuan itu dan mencengkram sebelah lengan Mila. "Jangan egois, Mila. Bukankah kamu membutuhkan uang untuk biaya operasi ibumu?"

Mila membelalakkan matanya, bagaimana calon atasannya itu bisa tahu?

"Bapak memeriksa latar belakang keluarga saya?" Kevin mengangguk atas pertanyaan itu. "Sedikit," ujarnya, membuat Mila mendecak kesal di tempatnya.

"200 juta. Kamu membutuhkan uang itu untuk membayar hutang dan biaya operasi ibumu, kan? Saya bahkan bisa memberimu lebih dari nominal itu. Tinggal sebutkan saja berapa angkanya, saya akan langsung berikan untuk kamu secara cash di muka, sekarang juga, jika kamu menyetujuinya," ucap Kevin, menekankan perkataannya dengan angkuh untuk mengintimidasi Mila.

Namun, tidak semua hal bisa dibeli dengan uang. Paling tidak, begitulah prinsip yang dipegang oleh Mila selama ini.

"Maaf Pak, jika Bapak berpikir bahwa uang bisa membeli segalanya, maka Bapak salah. Saya tidak akan menjual diri saya untuk itu. Dan saya harap kita tidak perlu bertemu lagi."

Mila melepaskan cengkeraman tangan Kevin pada lengannya, lalu berjalan keluar dari ruangan itu, sebelum Kevin berhasil menghentikan langkahnya kembali karena perkataan pria itu.

"Dua hari, Mila. Saya akan berikan waktu dua hari untuk kamu bisa memikirkannya kembali. Dan saya harap kamu merubah keputusanmu saat itu."

Mila tidak membalikkan badan, dia tetap mantap akan menolak tawaran gila dari mantan calon atasannya itu. Memang dia pikir hanya karena dia seorang atasan yang memiliki banyak uang, dia bisa berlaku seenaknya?

Tidak, itu tidak berlaku untuk Mila. Dia tidak sudi menerima tawaran gila dari pria sombong dan angkuh itu.

Hingga akhirnya, Mila memilih untuk keluar dari ruangan itu dengan emosi yang membuncah di hatinya.

Memang seharusnya dia tidak pernah datang untuk wawancara di perusahaan ini, atau … sejak awal, seharusnya dia tidak perlu bertanya tentang lowongan pekerjaan seminggu yang lalu pada Vega, sahabatnya.

avataravatar
Next chapter