53 Suara Doa Seorang Muadzin Muda

Di dekat vila terdapat beberapa rumah yang dibangun atas perintah Redho. Ilham merupakan salah satu pemuda, anak seorang penjaga vila. Saat ini ia tidak memiliki pekerjaan di desanya. Ia baru beberapa bulan pulang dari merantau ke kota.

Ilham sudah melihat banyak perempuan di kota. Terkait pekerjaannya sebagai penjual buku-buku tentang agama islam. Secara alami pun ia mengetahui lebih banyak tentang agama.

"Assalamualaikum ..." ucap Ilham. Ia tersadar dari lamunannya. Ia sempat terkesima saat melihat Laila.

"Waalaikumsalam Warahmatullah ..." sahut mereka serempak.

"Mari, mari duduk," ajak Seruni pada Pramono dan Ilham. Ia pun duduk kembali.

"Iya, Bu, terima kasih. Maaf, tapi aku–"

"Tidak apa-apa, Nak. Ayo kita makan bersama-sama. Lagipula, kapan lagi bisa makan, masakan dari pengantin baru, hahaha!" tawa Redho mengisi ruangan.

"Ih, papa. Menantu kita jadi malu, tuh," ujar Seruni. Ia menyenggol bahu suaminya dengan pelan.

Pramono duduk di sebelah Laila. Ia memilih duduk di situ karena ada dua kursi yang kosong. Karena kursi dibuat pas untuk enam orang. Jadi Ilham terpaksa duduk di samping Dini. Itu membuat Dini merasa aneh dengan detak jantungnya.

Ini karena perawakan Ilham yang tegap dan proposional sebagai seorang pria. Ditunjang dengan parasnya yang tampan. Membuat Dini diam-diam melirik ke arah Ilham.

Sementara Ilham bingung sendiri. Ia tidak tahu mana yang menjadi menantu Redho dan Seruni. Ia tidak tahu siapa perempuan yang beruntung menjadi menantu orang satu di tiga desa. Ilham melirik ke arah kedua perempuan muda itu. Yang ia lihat, perempuan yang di sampingnya yang terlihat malu-malu.

"Mari, makan. Pak, Dek," ajak Redho. Karena melihat Pramono dan Ilham diam saja.

Seruni sudah mengambilkan nasi untuk suaminya. Ia meletakan nasi itu di depan Redho. Lalu ia mengambil untuk dirinya sendiri. Begitu juga dengan Laila. Ia mengambilkan nasi untuk Pramono dan memberikannya pada Pramono.

"Kek, makan," ucap Laila pada Pramono. Kemudian ia mengambil nasi untuk dirinya sendiri. Ia lalu menyerahkan centong nasi untuk Dini. "Kamu juga makan, Dini," ujar Laila.

"Iya, Mbak. Anu ..." ucap Dini bingung. Dengan tangan gemetar, ia menerima centong nasi itu dan mengisi piringnya.

Suasana nampak hening dan kaku. Tidak ada satupun yang berbicara untuk mencairkan suasana. Membuat Laila menatap Pramono. Ia berharap Pramono memiliki solusi untuk menghangatkan suasana. Apalagi ini adalah acara makan yang tidak sering terjadi.

"Oh, sebelum makan, Mas Ilham, bisakah memimpin doa untuk kami?" ujar Pramono.

Perkataan Pramono membuat perhatian orang-orang di meja makan itu menatapnya. Memang keputusan itu yang diharapkan untuk membuat suasana hangat di antara mereka.

"Iya, bagaimana dengan itu? Kamu terlihat seperti pemuda yang cakap. Apakah saya benar?" tanya Redho. Ia memang melihat aura berbeda dari dalam diri Ilham. Wajahnya yang bersih dan tampilan yang rapi, membuat pemikiran Redho yakin, Ilham merupakan orang yang berpendidikan dan tahu tata krama.

"Sebenarnya dia juga yang menjadi muadzin di mushola," ungkap Pramono. "Anak ini juga anak yang tahu banyak tentang agama. Ilmunya bisa dianggap setara dengan seorang ustadz," puji Pramono.

"Benarkah?" selidik Redho. Ia melirik ke arah Pramono untuk menjelaskan apa yang dikatakan orang tua itu.

"Eh, enggak, Pak. Sebenarnya saya hanya mengerti sedikit-sedikit saja," tutur Ilham merendahkan hati. Ia tidak mau mengakui bahwa ia memiliki banyak ilmu. Ia hanya suka membaca buku dan mempelajari ilmu-ilmu yang ada di dalamnya.

"Alhamdulillah ..." tutur Laila. "Kalau begitu, Mas Ilham bisa memimpin doa," sambungnya dengan lirih.

"Heh ... anu ... sebenarnya, aku hanya sedikit tahu seberapa," kilah Ilham. Ia menyunggingkan senyumnya pada keluarga Redho. Dalam hal ini, ia bahagia, perempuan berkerudung yang ia sukai pada pandangan pertama itu juga menyebut namanya.

"Sudahlah, Nak. Hanya memimpin doa, bukan memimpin keluarga. Apa sih, beratnya?" tunjuk Redho. Ia sebenarnya bukan orang yang taat beribadah. Ia juga tidak melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim.

Redho kadang sholat di rumah bersama istrinya. Ia tidak begitu tahu agama. Namun ia menghargai orang-orang yang berpengetahuan tentang agama. Dalam hatinya, ia tenang saat mendengar lantunan adzan yang sering dilafadzkan oleh Ilham.

"Ayo, Nak. Suara adzan mu juga bagus. Apalagi ini hanya memimpin doa makan," ujar Pramono.

Ilham melihat ke arah Pramono lalu ke arah Redho. Kemudian ia melirik ke arah Laila. Ini kesempatan baginya untuk menunjukkan suara emasnya. Jika ia bisa membuat kagum orang-orang rumah, ia bisa memiliki kesempatan untuk mengenal keluarga ini.

"Baiklah, mohon maaf kalau ada yang salah. Aku akan memimpin doa ini, Pak Redho, Kakek, semua. Mari kita bersama-sama berdoa. Allahumma baarik lanaa fiimaa rozaqtanaa wa qinaa 'adzaa bannaar. Aamiin. Ya Allah, berkahilah kami dalam rezeki yang telah Engkau berikan kepada kami dan peliharalah kami dari siksa api neraka."

"Aamiin," ungkap mereka mengamini doa tersebut.

"Mari silahkan," ujar Redho mempersilahkan semua yang ada di ruangan untuk menikmati hidangan.

Tak ada kata yang keluar dari mulut mereka saat menikmati hidangan di meja. Yang dirasakan adalah makanan enak yang dimasak oleh Laila dan Dini. Semua hidangan berupa sayuran dan ikan goreng yang tadi digoreng Dini.

Selesai makan, mereka pun menutup dengan doa kembali. Dan kembali Ilham memimpin doa setelah makan. Ia merasa memiliki keluarga saat di vila tersebut. Apalagi vila mewah itu, ia jarang masuk ke dalam. Mungkin pernah, saat bersama orangtuanya membersikan vila. Namun ia benar-benar baru pulang kemarin malam. Malam dimana seharusnya adalah malam pernikahan pertama Laila dan Hilman.

"Alhamdulillahilladzi ath-amanaa wa saqoonaa wa ja'alanaa minal muslimiin.

Segala puji bagi Allah yang telah memberi kami makan dan minum serta menjadikan kami termasuk dari kaum muslimin." Ilham memimpin doa setelah makan. Ia merasa puas menjadi salah satu orang yang duduk bersama dan makan satu meja dengan Redho. Apalagi ada Laila yang merupakan perempuan tercantik yang pernah ia lihat.

"Alhamdulillah ..." ucap syukur Laila. Ia mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. Mendengar suara Ilham, memang membuat hatinya tenang. Ia mengakui suara Ilham memang pantas menjadi muadzin. Kalaupun perlu, Ilham bisa menjadi seorang qori juga.

"Suaramu bagus, Nak Ilham. Memang kamu pemuda yang betul-betul–"

"Hemm ... tidak, Pak. Saya hanya bisa seperti itu. Tidak layak untuk dibanggakan," elak Ilham. Padahal ia berharap dengan kebolehannya, ia memiliki kesempatan lagi untuk dekat dengan keluarga ini. Namun sampai saat ini, Ilham masih belum mengetahui apa yang ada di pikirannya saat ini.

Ilham belum tahu dengan benar-benar, siapa Laila sebenarnya. Ia hanya mendengar dari orang tuanya bahwa, ada sebuah pernikahan antara anak orang nomor satu di desanya dengan seorang gadis desa.

Ilham hanya menduga gadis itu adalah Dini. Karena tidak mungkin anak desa yang dimaksud adalah Laila. Laila terlihat cantik dan lebih terlihat seperti seorang kaya daripada seorang anak desa lainnya.

"Kalau begitu, aku harus pulang dulu. Karena mungkin hujan telah berhenti." Ilham tidak ingin lama-lama berbuat dosa karena ia terus memandang Laila.

***

avataravatar
Next chapter