3 Setelah Berpisah Dengan Hilman

Hilman menatap ke arah Laila. Dilihatnya gadis itu dengan seksama. Ia seperti melihat masa lalu dan ekspresinya berubah saat ia merasa pernah bertemu dengan gadis itu sebelumnya.

'Sepertinya pernah lihat gadis ini. Tapi kenapa tidak pernah terpikirkan olehku? Sebenarnya siapa gadis ini?' batin Hilman bertanya.

'Kenapa orang ini terus menatapku? Apa dia orang jahat yang mau menculikku? Eh, tapi buat apa aku diculik? Semoga dia bukan orang jahat,' batin Laila.

Laila dan Hilman memang saat ini tidak saling mengenal. Walau mereka pernah bertemu dulu saat mereka masih kecil. Laila bahkan tidak tahu dengan siapa ia berhadapan sekarang.

Saat keduanya tidak saling menyadari, mereka hanya bisa menatap dan mencoba mengingat sesuatu di masa lalu. Namun mereka tidak menemui titik temu yang dapat bisa memberikan jawaban.

"Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" Laila mencoba bertanya pada Hilman. Pasalnya ia juga melihat Hilman yang terus menatapnya dengan pandangan yang tidak ia mengerti.

Laila juga mulai waspada jika Hilman tiba-tiba berbuat sesuatu yang buruk. Sebagai seorang gadis polos yang tidak pernah berhubungan dengan lelaki dewasa, Laila selalu menjaga jarak. Laila hanya bermain dengan anak-anak yang masih kecil yang ia ajari mengaji.

"Eh, entahlah ... sepertinya saya merasa kamu tidak asing buatku. Heh, mungkin ini hanya perasaanku saja."

Laila mengangguk setuju. Namun ia saat ini merasa luka di tangan dan lututnya terasa perih. Apalagi saat ia melihat pakaiannya ada noda darah, yang ia yakini adalah darahnya sendiri.

Laila pergi meninggalkan Hilman yang terpaku menatap kepergiannya. Gadis itu mengayuh sepedanya dengan menahan sakit di lutut karena kakinya digunakan untuk mengayuh sepeda. Saat ini keadaan Laila, kakinya keseleo dan telapak tangannya memar. Walaupun begitu, ia tetap bisa mengayuh sepedanya dengan perlahan.

"Ya Allah, dengan rasa sakit ini, kuharap Engkau mengampuni dosa-dosaku, Ya Allah."

Laila tidak kuat lagi. Ia tidak bisa mengendarai sepedanya. Ia pun menepi dan duduk di sebuah batu di dekat jalan pedesaan itu. Ia mencoba mengurut kakinya yang keseleo.

"Kamu kenapa, Laila?" Seorang wanita melihat Laila yang sedang mengurut kakinya. Ia menggelengkan kepala saat menyadari gadis itu sedang memerlukan bantuan.

"Eh, Bibi. Aku tidak apa-apa," sahut Laila.

"Tidak apa-apa, gimana? Orang kamu terlihat kesakitan seperti ini. Coba sini bibi lihat."

Wanita itu ingin menggulung rok panjang Laila. Laila tidak mengijinkan wanita paruh baya itu melakukannya. Keadaannya saat ini ia berada di luar. Kalau di dalam ruangan, ia tidak mempermasalahkannya. Gadis itu tidak ingin ada lelaki yang melihat auratnya. Walau itu hanya betisnya saja.

"Oh, maaf, Laila. Bibi lupa," pungkasnya. Ia hanya mengurut dan memijat kaki Laila.

"Terima kasih, Bibi."

"Tidak apa, Laila. Apa kamu bisa jalan?"

"Alhamdulillah, sekarang agak mendingan. Terima kasih, Bi. Lebih baik segera ke warung." Laila kini sudah mendapatkan kekuatannya kembali. Ia sudah tidak merasakan sakit yang berarti. Hanya rasa perih di bagian luka yang berdarah.

"Iya, kamu hati-hati, Laila. Lukamu belum sembuh benar. Bibi pamit dulu, yah." Wanita itu meninggalkan Laila. Mengingat Laila kini sudah bisa berdiri dengan tegap.

Laila mengangguk lalu diam-diam menaiki sepedanya perlahan. Ia sudah bisa naik sepeda dengan lancar walau tidak bisa cepat.

Hingga pada akhirnya Laila sampai di warung terdekat. Ia ke warung itu untuk membeli balsem pesanan kakeknya, sekalian juga untuk membeli beberapa plester untuk menambal lukanya.

"Assalamualaikum. Bu, ada balsem?" Laila memanggil dan bertanya pada pemilik warung.

"Ooh ada, Nduk. Bentar, yah," jawab pemilik warung. Ia mengambil balsem yang berada di rak khusus tempat balsem, dan minyak kayu putih.

Laila menunggu dengan tenang walau ia merasakan sakit di sikunya, segera ia melipat bajunya. Terlebih dahulu ia masuk ke dalam warung untuk menghindari orang yang mungkin melihatnya.

Karena Laila memakai jilbab, ia selalu bersembunyi dahulu saat akan membuka auratnya. Walau itu hanya sepotong rambut atau menggulung bajunya yang panjang. Apalagi lututnya juga sakit.

"Sama plesternya sekalian ya, Bu!" imbuh Laila. Ia tadi belum mengatakannya.

"Oh, berapa, Nduk?" tanya pemilik warung karena mengira Laila membeli plester lebih dari satu.

Pemilik warung itu melihat Laila menyingkap rok panjangnya. Terlihat lutut Laila yang memar akibat terjatuh. Untungnya pemilik warung itu hanya sendiri. Suami pemilik warung sedang bekerja di perkebunan milik orang tua Hilman.

"Beli tiga aja, Bu ..." lirih Laila menjawab pertanyaan dari pemilik warung. Laila meringis menahan rasa sakitnya. Walau darahnya tidak mengalir, ia harus mengobati luka itu.

"Iya, ini, Nduk." Pemilik warung meletakan plester dan balsemnya di atas meja. "Ada lagi yang dibutuhkan, Nduk?"

Wanita tersebut kasihan melihat Laila yang menahan sakit. Ia ingin membantu namun Laila menolak bantuan itu dengan lembut.

"Terima kasih, Bu. Tapi aku mau mengobatinya sendiri di rumah. Alhamdulillah lukaku tidak terlalu parah."

"Kalau begitu, Nduk, apa ada yang lain yang diperlukan?"

"Udah, Bu, itu aja yang kami perlukan, ini uangnya." Laila memberikan uang dua puluh ribuan kepada ibu pemilik warung.

Pemilik warung mengambil uang dan menyerahkan kembaliannya. Setelah itu, Laila berpamitan pada wanita paruh baya pemilik warung.

"Makasih, Nduk," ucap pemilik warung sambil memberikan uang kembalian pada Laila.

"Sama-sama, Bu. Aku pamit, yah, Wassalamu'alaikum ..." salam Laila.

"Waalaikumsalam warahmatullaah."

Laila kembali menaiki sepedanya. Gadis itu memutuskan untuk mengobati lukanya di rumah saja. Setidaknya ia tidak ingin membuat kakeknya menunggu terlalu lama. Apalagi di usia kakeknya yang sudah delapan puluh tahun, membuat Laila harus menjaganya. Tubuh sang kakek sudah tidak seperti dulu, yang kuat dan bugar. Kini kadang kakeknya mengalami encok di pinggangnya. Tak jarang pula akan kelelahan saat mereka berkebun. Pada akhirnya, Laila lah yang meneruskan semua pekerjaan.

Dengan senang hati, Laila akan merawat kakeknya. Sebagaimana ia dirawat sejak kecil. Apalagi sejak ayah dan ibu Laila yang meninggalkannya. Menimbulkan luka yang dalam, bagi seorang gadis yang saat itu ingin dimanja.

"Kak Laila, tunggu!" teriak seorang anak kecil berumur sekitar delapan tahunan. Anak lelaki yang sedang berlari dari belakang Laila, membuat Laila berhenti.

"Iya ... ada apa, Ayub?" tanyanya sambil menyunggingkan senyumnya.

"Assalamualaikum, Kak," salam Ayub dengan tergopoh-gopoh. Anak lelaki itu bernafas dengan ngos-ngosan.

Laila hanya tersenyum melihat anak itu. Walau ia masih merasakan sedikit nyeri, dengan adanya anak itu, membuat Laila merasa terhibur. Laila biasa bermain dan merupakan guru ngaji bagi anak-anak di Mushola yang biasa mereka datangi. Kalau tidak, Laila yang mempersilahkan anak-anak itu ke rumahnya.

"Waalaikumsalam Warahmatullaahi Wabarakatuh. Ada apa, Ayub?" tanya Laila dengan ramah. Ia memegangi pundak anak itu, lalu menenangkannya. "Tenanglah, Ayub. Ambil nafas dulu!" pintanya sambil memperagakan mengambil nafas panjang dan mengeluarkannya perlahan.

Ayub pun menuruti permintaan Laila. Ia mengatur nafasnya yang tersengal. Baru setelah nafasnya normal, ia menceritakan masalah anak itu pada Laila.

"Kak Laila ... tolong! Wawan berantem lagi dengan Diyon!" Ayub mengatakannya dengan panik.

***

avataravatar
Next chapter