2 Pertemuan Laila Dan Hilman

Desa Wanadadi, adalah sebuah desa dengan hamparan bak karpet hijaunya. Jika dilihat dari atas bukit, akan terlihat pepohonan berwarna hijau. Ketika kita berada di atas bukit pula, kita akan dimanjakan dengan hijaunya perkebunan buah milik keluarga Redho Hilmanata. Seorang pengusaha perkebunan terbesar di tiga desa.

Eva sudah diterima oleh keluarga Hilman. Akan tetapi, ia tidak sepenuhnya mendapat kepercayaan. Karena Redho hanya memiliki seorang putra sebagai penerusnya, maka dengan terpaksa, Redho hanya bisa merestui hubungan mereka. Walaupun sebenarnya ia masih tidak menerima dengan ikhlas.

Redho merestui mereka bukan tanpa syarat. Karena janji Redho tempo hari, ia akan tetap menjodohkan puteranya dengan seorang gadis bernama Laila Fatihani.

Hilman akan meneruskan usaha keluarga mereka dan menikmati semua fasilitasnya dengan satu syarat. Hilman harus mencari gadis itu dan menikahinya. Namun jika perempuan yang dijodohkan dengan Hilman, meminta agar menceraikan Eva, maka ia harus menurutinya.

Yang membuat pusing, Redho sudah menyerahkan semua hartanya dengan atas nama Laila Fatihani. Dan akan selalu nama itu dalam surat wasiatnya. Apabila Hilman bercerai dengan Laila nantinya, harta itu akan jatuh ke tangan Laila. Maka gadis tersebut harus menjadi isteri Hilman seumur hidup jika Hilman ingin menikmati kemewahan yang ia selalu dapatkan selama ini.

"Kenapa papa wariskan harta itu pada anak orang lain? Maafkan aku, Sayang ... aku harus menikahi gadis itu," ucap Hilman kepada Eva. Ia sudah tidak dapat berbuat apapun untuk menghentikan usaha papahnya.

"Kita hadapi sama-sama. Apapun yang terjadi, aku tidak akan meninggalkanmu." Eva memeluk suaminya itu. Ada setetes air mata keluar dari kelopak mata wanita tersebut.

"Terima kasih, Sayang ... kuharap kita dapat menjalani semua ini. Andaikan aku punya pekerjaan, aku tidak harus menikahi perempuan itu. Sayangnya semua ijasahku pun disita papah. Aku tidak bisa mencari kerjaan di tempat lain," lirih Hilman mengingat perlakuan orang tuanya itu.

"Tidak apa-apa. Kamu harus menuruti apa mau orang tuamu. Yang penting, papa kamu sudah merestui pernikahan kita, bukan? Itu cukup membuatku bahagia sekarang." Bibir Eva bisa berucap tetapi hati tidak bisa berbohong. Sungguh hati Eva terasa sakit jika harus memikirkan hal demikian.

"Kutahu kamu bohong. Tetapi percayalah padaku, Eva. Aku akan selalu mencintaimu. Hanya ada kamu di hatiku," janjinya sambil memegang tangan Eva.

"Baik ... baik. Aku percaya padamu. Aku akan selalu di sisimu. Aku akan menemanimu sampai tua nanti," ucap Eva dengan tulus. Ia memandangi suaminya dengan senyum palsunya. Ia berusaha untuk menutupi kesedihannya. Berharap Hilman tidak merasa khawatir hatinya terluka.

"Terima kasih, Eva." Senyuman tulus terpancar dari bibir Hilman. Ketika ia merasakan getaran bibir Eva yang terlihat berbeda.

"Iya ... I love you!" ucapnya menyunggingkan senyum.

"Love you to ..." balasnya juga menyunggingkan senyum.

Ini lebih baik daripada mereka hidup luntang-lantung di jalanan. Setidaknya dengan menikahi gadis itu, hidup mereka akan sejahtera. Mereka tidak akan kekurangan uang lagi. Hanya satu masalah terbesar mereka saat ini, Laila Fatihani. Ya gadis itu adalah biang masalah bagi Hilman dan Eva.

'Apakah gadis itu cantik?' pikir Eva.

"Kamu mikirin apa?" Hilman yang melihat Eva yang tampak memikirkan sesuatu, tidak bisa lepas dari penglihatan Hilman.

"Eh ... enggak kok," sahutnya.

"Yaudah. Aku pamit ke perkebunan dulu, Sayang."

"Hmmm ...." Eva hanya berdehem. Ia menyunggingkan senyum lagi.

Sebuah kecupan didaratkan di kening Eva. Hilman kemudian meninggalkan Eva sendirian di rumah. Setelah Hilman pergi, Eva merasa kesepian. Karena ia hanya tinggal sendirian. Mereka tidak memiliki pembantu di rumah sebesar itu. Maka Eva lah yang mengurus rumah tersebut seorang diri.

"Bye sayang." Hilman melambaikan tangannya kepada Eva.

"Bye ..." balas wanita tersebut.

Tahukah engkau ...

Semua cinta, tercurah padamu

Tahukah engkau ...

Walau dunia menolakku

Walau dunia menentang ku

Cintaku padamu tak akan pernah sirna

Kau penghuni relung hatiku

Masih ingatkah sumpah janji kita

Di depan penghulu dan saksi

Pernikahan kita berdua

Walau tanpa kedua orang tuaku

Walau tanpa kedua orang tuamu

Pedih memang pedih

Namun harus kau tahu

Aku akan selalu di sini

Di sisimu ...

Apapun yang terjadi

Hingga nanti

Sampai akhir batas waktuku

Dirimu akan kujaga selalu

Hingga ujung nafasku

*By Eva

***

Hari ini, Hilman meninggalkan Eva yang ada di rumah. Ia bekerja seperti biasanya. Kini ia berada di jalan desa Wanadadi. Ia sesekali mengawasi perkebunan dan ia ada janji dengan distributor, yang ingin membeli beberapa buah dan sayuran.

Rencananya Hilman ingin cepat sampai pagi hari. Walaupun ia sudah menyuruh orang kepercayaan, untuk mengurus semuanya, ia harus melihatnya sendiri. Namun saat di tengah jalan, ia mengalami kecelakaan.

"Awas!" teriaknya ketika ia menabrak seorang gadis. Gadis berkerudung merah, yang menaiki sepeda ontel.

"Aakhh!" teriak gadis itu menahan sakit.

Untungnya mereka jatuh di pinggir jalan yang berumput. Jadi mereka tidak mengalami luka parah. Hanya beberapa memar dan lecet di tangan Hilman serta gadis tersebut.

"Hati-hati, dong!" bentak Hilman. Walau disini ia yang salah. Sepanjang berkendaranya ia terus melamun.

"Maaf ... tapi kau yang menabrakku?" jawabnya lirih.

Namun Hilman yang tidak terima, langsung berdiri, dan membiarkan motornya yang tergeletak dengan roda motor masih berputar. Ia menghampiri gadis tersebut. Ia juga menarik gadis itu untuk berdiri. Namun gadis berkerudung merah itu menepisnya. Ia meringis kesakitan.

"Hei, bangun!" bentak Hilman. Ketika gadis itu mengangkat mukanya, terlihatlah wajah imut dan cantik gadis itu.

Hilman sempat terpesona dengan wajahnya. Ia mematung sejenak, hingga ia tersadar, ia sedang terburu-buru. Hilman mulai berpikir, memang ini adalah kesalahannya. Ia yang melamun dan berada di lajur kanan jalan. Ia juga mengendarai sepeda motor dengan cepat, sambil melamun.

"Maaf ..." ucap Hilman mengulurkan tangannya. Ia menyadari kesalahannya. Ia juga melihat gadis itu tidak bisa berdiri.

"Iya ... gak apa-apa. Lain kali hati-hati. Jangan melawan arus, kalau berkendara. Kamu tadi ada di lajur kanan. Jalannya juga cepet banget, jadi aku gak bisa menghindar. Untung kamu sempat ngerem. Kalau tidak ..." ucapnya panjang lebar, namun ia berhenti setelah ia merasa banyak bicara.

"Ooh maaf ... sekali lagi saya minta maaf. Saya akan bertanggung jawab. Tetapi saya ada urusan lain. Omong-omong, siapa namamu?" tanya Hilman mengulurkan tangannya.

"Namaku Laila," jawab Laila. Namun ia tidak membalas uluran tangan Hilman. Gadis itu hanya mengangguk dan meletakan kedua telapak tangannya di depan dadanya.

"Ooh ... saya Hilman. Mari saya bawa ke klinik!" ajak Hilman berniat membopong Laila.

"Maaf, bukan makhram ..." sahut Laila. Ia berusaha menghindari sentuhan tangan Hilman yang hendak membantunya.

Sebagai seorang perempuan yang menjaga kehormatannya, ia tidak mau bersentuhan dengan orang yang bukan makhram. Seperti Hilman yang baru saja menabraknya.

Hilman yang mendapat perlakuan dari Laila pun hanya mendesah lesu. Ia tidak ingin merasa bersalah. Ia menarik nafas dalam. Lalu mengambil dompet dari sakunya. Ia mengambil uang dua ratus ribu dan mengulurkannya pada Laila.

"Apa ini?" tanya Laila.

"Ini sebagai tanda permohonan maafku. Atau aku bisa membawamu ke klinik?" tanya Hilman.

"Tidak perlu. Aku hanya luka sedikit. Enggak parah kok." Laila berusaha berdiri dan terhuyung.

Hilman yang melihatnya pun menangkap Laila dengan tangannya. Laila pun langsung melepaskan diri dari Hilman dan terjatuh.

"Aihhh!" teriak Laila karena bokongnya menyentuh rumput.

"Maaf ...." Hilman ingin membantu Laila, tetapi gadis itu mencegahnya.

"Jangan sentuh! Kita bukan makhram."

"Ooh ... maaf!" sahut Hilman menyesali perbuatannya.

Akhirnya Hilman membiarkan Laila untuk berdiri lagi. Gadis itu berdiri dan duduk di atas sepedanya. Setelah itu, Laila berpamitan pada Hilman.

"Cantik ..." gumam Hilman ketika Laila sudah mengayuh sepeda sampai jauh.

***

avataravatar
Next chapter