11 Permohonan Hilman

Setelah mengatakan itu, Hilman merasa sedikit lega. Sedikit? Iya hanya sedikit memang. Karena untuk mengatakan langsung niatannya, ia telah mengumpulkan semua keberaniannya.

"Kakek ...." Laila memandang ke arah kakeknya. Berharap sang kakek membantu menjawabnya. Ini terasa aneh karena ia tahu dari orang-orang desa kalau Hilman telah memiliki seorang isteri. Akankah ia akan dijadikan isteri yang kedua?

Laila bukanlah gadis desa yang kolot dan tidak mengetahui apa saja masalah rumah tangga yang bisa muncul kapan saja.

Walaupun keadaannya jauh dari barang-barang elektronik sebagai media informasi, ia sering membaca artikel atau koran yang dibawa oleh muridnya yang memiliki saudara atau keluarga yang bekerja di kota.

Di kota, orang-orang lebih modern dan berbagai drama pun bermunculan. Di desanya sendiri ia sering mendengar ada orang yang memiliki istri lebih dari satu. Mereka setiap hari bertengkar, baik dari istri dan suami atau sesama istri.

Pramono mengangguk. Ia menjelaskan maksud dari kedatangan Hilman. Ia sudah mendengar berita perjodohan itu. Walau demikian halnya, ia tidak sampai hati untuk menyerahkan tanggung jawab itu pada Hilman.

Apakah dia sanggup? Atau Laila hanya akan menderita? Pramono harus lebih memikirkan keputusannya. Setuju atau tidak setuju adalah sebuah keputusan besar. Salah satu solusinya mungkin ia akan mendatangi langsung, orang tua Hilman yang menjodohkan mereka. Kalau tidak, menyuruh orang tua Hilman ke rumahnya itu.

"Apa kau sudah tahu tentang lelaki ini?" tanya Pramono kepada Laila. Pramono memastikan tidak ada apa-apa pada Laila. Iya juga tidak ingin membuat Laila kecewa ketika mengetahui hal yang sebenarnya.

"Aku dengar, Mas Hilman telah menikah," sahut Laila menjawab pertanyaan Pramono.

Pramono mengangguk mengerti. Bukan lagi rahasia umum bahwa Hilman telah menikah dengan seorang wanita dari kota. Identitas wanita itu tidak ada yang tahu. Yang pernah ia dengar, wanita itu cantik.

"Dan, Nak Hilman, apakah kau tahu baik dan buruknya Laila?" Pramono mengalihkan pandangannya pada Hilman. Memastikan bahwa Hilman tahu masa lalu Laila yang tidak memiliki orang tua lagi.

"Ti-tidak ... saya belum tahu!" Jelas Hilman yang belum tahu seluruhnya. Ini kedua kalinya ia bertemu dengan Laila. Dimana sifat Laila yang dulu dan sekarang berbeda jauh.

Laila kecil yang dahulu bermain-main dengan tanah atau lumpur, atau akan main hujan-hujanan. Sekarang ia telah tumbuh menjadi seorang gadis muslimah yang terlihat cantik walau tanpa riasan di wajahnya. Perempuan sederhana, dengan jilbab longgar, serta memiliki tanggung jawab yang patut diacungi jempol.

Pramono menatap keduanya bergantian. Di sini, ia yang menjadi penengah di antara keduanya. Ia tahu dengan pasti masalah yang mereka hadapi. Di satu sisi, Laila adalah cucu satu-satunya. Biar bagaimanapun ia adalah seorang gadis yang masih membutuhkan bimbingan. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupan Laila, jika menjadi isteri ke dua.

Pramono pun bisa saja melihat dari Hilman. Ia pasti juga memiliki masalah dengan menikahi Laila. Ia telah memiliki seorang isteri. Tetapi ia tidak tahu alasannya untuk menerima perjodohan tersebut. Mungkin karena masalah keluarga, paksaan, atau memang Hilman tertarik dengan Laila? Jika memang karena adanya rasa ketertarikan atau semacamnya, ia tidak mengapa. Hanya saja, ia tidak bisa menyimpulkan sendiri.

"Jadi apa maksud dari semua ini? Apakah benar, aku mau dijadikan isteri kedua, Tuan Hilman?" tuturnya dengan sopan. Ia mengangguk menatap sejenak wajah Hilman.

"Laila ..." panggil Hilman. "Sebenarnya kita sudah dijodohkan semenjak kecil. Papaku bersikeras untuk menjodohkan kita. Apa kamu mengingatnya?" tanya Hilman.

Tentu saja Laila mungkin tidak mengingatnya. Waktu itu, Laila masih berusia tujuh tahun. Lagian Laila juga belum tahu siapa Hilman sebelumnya.

"Kakek bagaimana?" tanya Laila. Ia memandang sang kakek agar memberi jawabannya.

"Kakek belum bisa memutuskannya. Begini saja!" Pramono mengambil kopi hitam yang dibuat oleh Laila.

Pramono menikmati kopi itu sedikit demi sedikit, tanpa meniupnya. Ia kemudian meletakan kembali kopi itu. Ia lalu memandang ke arah Laila.

"Kenapa, Kek?" tanya Laila yang malah bingung karena kakeknya memandang dirinya dengan aneh.

"Kakek, saya mohon, izinkan saya untuk memperisteri Laila. Saya akan berusaha adil untuk keduanya." Mulut bisa saja berkata, tetapi tidak hatinya. Ia mengingat betapa ia berkorban banyak untuk keutuhan cintanya kepada Eva. Namun untuk berlaku adil, ini terasa sangat sulit.

Sampai kapanpun, ia tidak bisa berpaling atau berniat menduakan Eva. Ia hanya wanita satu-satunya yang dicintai oleh Hilman. Walaupun ia harus memiliki dua atau tiga isteri, ia tidak ingin menduakan Eva, wanita yang sangat ia cintai.

"Laila, bagaimana denganmu? Apa kau mau menerima Hilman untuk menjadi suamimu?" Pramono bertanya kembali pada Laila. Ia melihat Hilman memiliki kesungguhan.

"Aku? Maafkan aku, Kek. Sepertinya aku belum siap menikah. Lagipula Kakek tahu sendiri, kan. Pak Hilman sudah memiliki istri. Aku tidak ingin menyakiti istrinya," terang Laila.

"Maaf, Nak Hilman. Sepertinya cucuku tidak bisa menerima pernikahan ini. Lebih baik kamu tidak memaksanya. Lagipula kamu sudah mempunyai istri juga."

"Apakah ini tidak bisa dibicarakan baik-baik? Aku mohon kakek mau menerimaku. Aku berjanji tidak akan menyakitinya. Aku akan membahagiakan Laila. Aku akan memberikan apa saja yang dia mau."

Dengan harta kekayaan, ia yakin Pramono akan bisa merubah sikap Laila padanya. Bukankah semua perempuan menyukai banyak harta? Itulah yang ada di benak Hilman.

"Nak Hilman. Bukannya saya menolak. Tetapi kami tidak merasa kekurangan. Untuk masalah hidup, kurasa kami sudah hidup cukup layak dengan kesederhanaan ini. Tapi jika kamu mencari istri untuk mencari ridho Allah Subhanahu Wa Ta'ala, mungkin kakek akan merestuinya."

"Aku akan melakukan apa yang diharapkan kakek. Kakek tenang saja, aku pasti tidak mengecewakanmu, Kek."

Hilman akan terus mencari cara agar dirinya berhasil menikahi Laila. Memang tidak ada cara lain yang bisa ia tempuh. Setidaknya ia harus berusaha dengan sekuat tenaga.

"Melihatmu bersungguh-sungguh, membuatku kagum padamu, Nak. Tapi harus ditanya Laila dulu. Apakah kamu mau, Laila?" tanya kakeknya lagi. Kali ini ia berharap Laila memahami maksud dari Hilman.

"Entahlah, Kek. Aku juga bingung. Aku menurut sama Kakek aja!" putus Laila. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Sedangkan dirinya belum memikirkan tentang pernikahan. Usianya kini sembilan belas tahun. Ada tetangganya yang bahkan menikah umur enam belas tahun.

Sebenarnya bukan masalah umur, yang menjadi patokan seorang perempuan menikah. Di desanya, ada perempuan yang menikah di usia enam belas tahun. Ada pula yang sudah berumur dua puluh lima tahun belum menikah.

"Ini terlalu sulit untuk diputuskan," gumam Pramono.

"Jadi harus bagaimana, Kek?" Hilman bertanya, bagaimana solusinya.

Pramono harus memikirkan semuanya sendiri. Apapun keputusannya, ia harus memastikan, bahwa Laila akan baik-baik saja berada dalam bimbingan Hilman. Apalagi ia tidak tahu pasti sifat Hilman. Apakah dia orang baik atau orang tidak baik.

***

avataravatar
Next chapter