5 Permintaan Maaf

Pandangan dua insan saling bertemu. Saat keduanya saling menatap dalam hening. Disaat itu, Laila mengangguk sambil tersenyum ke arah Hilman. Hilman yang terlihat kikuk itu membenarkan duduknya.

"Assalamualaikum," salam Laila.

"Waalaikumsalam ...." Hilman menjawab salam Laila dengan perasaan kaget. Tidak menyangka ia bisa bertemu kembali dengan gadis yang hampir dibuatnya celaka.

Tiga anak yang di depan Laila pun menunduk. Mereka tidak tahu akan diapakan oleh Laila ataupun Hilman.

"Eh ... maaf yang tadi!" Hilman yang tidak tahu harus bagaimana menghadapi Laila. Karena ia masih memiliki rasa bersalah pada gadis itu. Ia mengira Laila akan meminta pertanggung jawaban darinya.

"Ooh tidak masalah. Aku ke sini karena ada suatu hal." Laila memegang salah satu kepala kurcaci kecilnya.

"Kak, aku takut," Diyon yang di pegang kepalanya oleh Laila merasa takut, kalau Hilman akan memarahinya. Sedangkan dirinya dan teman-temannya hanya memetik buah yang seharusnya boleh dipetik.

"Dia pemilik kebunnya?" tanya Laila lirih pada ketiga anak tersebut.

Laila menganggukkan kepalanya pada Hilman. Dengan sopan, Laila tersenyum yang membuat Hilman salah tingkah. Bagaimana seorang gadis cantik yang masih muda itu terlihat menarik bagi Hilman, dirinya kini sudah berstatus menikah dengan seseorang.

"Itu anaknya pak Redho, Kak," jawab Ayub.

Laila mengerti, Hilman adalah anak pemilik perkebunan terbesar di desanya. Karena sibuk mengurus perkebunan milik orang tua dan kakeknya, Laila bahkan tidak tahu keluarga Hilman. Bahkan untuk bertemu langsung dengan keluarga mereka pun tidak pernah.

Yang Laila dengar dari orang-orang desa, Hilman sudah menikah dengan wanita dari luar kota. Sudah pasti Laila menganggap wanita kota cantik-cantik.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanya Hilman pada Laila.

"Maaf sebelumnya. Ini adik-adikku tadi mengambil mangga tanpa ijin. Mohon Tuan mau memaafkan kami." Laila menunduk seraya menggenggam erat pundak Ayub dan Diyon. Meskipun ketiga anak itu berbuat salah, tidak seharusnya Laila menyalahkan mereka terus. Ia harus jujur dan mencoba untuk melihat situasi. Jika Hilman mau menghukum, pasti Laila akan berbuat sesuatu agar hukuman itu tidak terlalu memberatkan. Mengingat tiga anak itu masih anak-anak.

"Mengambil mangga tanpa ijin? Oh ... jadi maksudmu, adik-adikmu mencuri manggaku?" tanya Hilman penasaran.

"Maafkan saya, Tuan. Ini karena saya yang tidak bisa mendidik mereka dengan baik." Laila masih menunduk. Ia tidak berani menatap wajah Hilman secara langsung.

"Heh, kamu ini. Ya sudah, saya maafkan. Tetapi sebagai gantinya, kamu harus memijatku!" tunjuk Hilman kepada Laila. Ia tersenyum, setidaknya ia bisa merasakan pijatan dari gadis yang di tabraknya tidak lama ini. Hanya saja, ia tidak menyangka bahwa akan secepat ini bertemu.

"Maaf, Tuan. Kan sudah aku katakan, kita bukan makhram. Aku tidak bisa memijat tuan ..." elak Laila. Jika ia memijat Hilman, berarti ia menyalahi aturan.

"Hilman. Panggil aku Hilman! Bukankah sudah aku katakan sebelumnya, namaku Hilman? Apa kau lupa?" selorohnya ketika memandang Laila. Hilman memberikan tatapan dengan tatapan menggoda.

"Eh iya ...." Laila masih menundukkan kepalanya, tidak berani menatap Hilman semakin dalam.

"Biar kami saja, Kak. Kami yang berbuat salah. Jadi biar kami saja yang memijat Pak Hilman." Ayub tidak bisa membiarkan Laila memijat Hilman. Karena ia tahu batasan antara laki-laki dan perempuan. Laila telah menjelaskan padanya, jika ada lelaki dan perempuan dewasa, tidak boleh saling bersentuhan.

"Benar, Kak. Biar kami saja!" imbuh Wawan dan Diyon bersamaan.

"Aku tidak mau kalian yang memijatku! Tetapi Kakak kalian yang akan memijatku." Senyum mengembang dari Hilman. Ia sebenarnya hanya ingin bermain-main dengan Laila. Andaikan ingin dipijat, ia akan meminta tolong pada Eva. Eva sangat pandai memijat Hilman.

"Maaf, tidak bisa!" jawab Laila dengan tegas. "Bukankah aku sudah meminta maaf, tetapi mengapa Tuan tidak mau mengerti? Kita bukan mahram, Tuan!" ucap Laila kesal.

Sebenarnya bukan karena Hilman yang menyuruhnya untuk memijat, Laila hanya kehilangan kesabaran karena merasa dibodohi Hilman.

"Istighfar, Kak!" Ketiga kurcaci mengingatkan Laila untuk istighfar.

"Asataghfirullaah Laa Ilaaha Illaa Huwal Hayyal Qayyuma wa Atuubu Ilaihi ...." Laila mengucap istighfar sambil memejamkan mata. Setelah selesai, ia baru membuka matanya.

Laila mengambil nafas dalam-dalam. Ia melirik kearah Hilman yang tersenyum ke arahnya. Tidak tahu apa rencana Hilman seterusnya. Kalau ada syarat yang lain, ia harus menyetujuinya, asalkan tidak merusak moralnya.

"Hehehe ... maafkan, saya hanya becanda saja. Baiklah ... kalian boleh pergi." Hilman meminum kembali kopi hitamnya.

"Baiklah! Terima kasih tuan!" ucap Laila kemudian mengajak ketiga anak itu pergi. Sementara ia menahan perasaan kikuknya.

Hilman melihat kepergian Laila. Ia pun tersenyum-senyum sendiri. Ia sampai tidak menghiraukan orang-orang yang memanggilnya.

"Pak? Pak Hilman?" panggil salah satu petani.

"Eh ... maaf. Ada apa?" tanyanya setelah ia di kagetkan dengan panggilan itu. "Lucu sekali perempuan itu. Masih ada yah, orang seperti itu di dunia ini?" gumam Hilman lirih yang membuat petani itu bingung.

"Pak? Maksud Pak Hilman apa, yah?" tanyanya memastikan ia tidak salah mendengar. Tetapi ia tidak tahu maksud perkataan Hilman. Ini karena orang itu baru sampai, dan belum melihat Laila.

"Tidak apa. Oh iya, apa Bapak mengenal gadis itu?" tanya Hilman menunjuk Laila yang belum terlalu jauh.

"Ooh dia Laila, cucunya pak Pramono. Sejak kecil, ia sudah ditinggal kedua orang tuanya. Kasihan banget anak itu!" jawabnya sambil menggelengkan kepala, ia mengingat keadaan Laila waktu dulu.

"Jadi dia anak yatim piatu? Lalu tiga anak itu, bukankah adiknya?" tanya Hilman lebih lanjut. Ia makin penasaran dengan Laila. Entah apa yang membuatnya semakin penasaran. Tetapi ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.

"Mereka itu murid-murid didiknya. Dia yang mengajarinya mengaji pada anak-anak kami. Kebetulan pak Pramono itu guru ngaji, jadi dia mewarisi ilmu dari kakeknya." Pria paruh baya itu menerangkan dengan jelas tentang Laila. Memang Laila banyak membantu mengajarkan anak-anak di desa.

"Baiklah. Sudah cukup! Bapak sudah selesai mengangkat buahnya?"

"Sudah, Pak! Ini saya mau laporan, kalau buah jambu yang kita kirimkan, sudah cukup hari ini. Dan mereka puas dengan hasil buah dari perkebunan kita!" ungkapnya dengan semangat.

"Baiklah, kalian boleh meneruskan pekerjaan! Saya akan mengecek tempat lain." Hilman berdiri lalu meninggalkan tempat itu. Ia berjalan keluar dari perkebunan.

Sebelum benar-benar pergi, Hilman terlebih dahulu melihat kepergian Laila dan tiga kurcaci itu. Ia melihat mereka dan tidak terasa menyunggingkan senyum.

"Ada juga gadis sepolos itu? Di zaman seperti ini, mungkin sudah jarang ditemui wanita seperti itu." Hilman mengambil kunci motornya. Ia naik ke motor dan menyalakannya.

Hilman mengendarai motor itu ke arah berlawanan dari Laila. Ia sudah mendapatkan sesuatu yang ia inginkan. Sebuah alamat yang ia tuju hari ini.

***

avataravatar
Next chapter