10 Mengapa Harus Dia?

Pramono melihat gelagat Hilman yang terlihat kurang nyaman saat bertemu dengannya. Pria berpakaian rapi dengan mengenakan jaket hitam serta celana panjang itu menundukkan kepalanya pada orang yang lebih tua darinya.

"Maaf, Kek." Hilman tidak berani menatap Pramono lama-lama. Ia menatap sekilas, lalu menundukkan kepalanya.

"Ohh, sampai lupa. Mari, mari masuk!" ajak Pramono mempersilahkan Hilman untuk masuk ke dalam. Pria tua itu masuk terlebih dahulu, dengan diikuti oleh Hilman.

Pramono mempersilahkan Hilman untuk duduk di lincak dari bambu. Pramono duduk terlebih dahulu diikuti oleh Hilman yang duduk berseberangan dengannya. Ia menarik nafas pelan sebelum mengungkapkan maksud dari kedatangannya. Walaupun Pramono sudah pasti mengetahui maksud kedatangannya, ia harus menjelaskannya sendiri.

"Aku rasa kakek tahu maksud kedatangan saya hari ini." Hilman tidak langsung mengatakannya. Ia berharap Pramono sendiri yang mengerti.

Karena tidak ingin terjadi kesalahpahaman antara dirinya dengan orang tua di hadapannya, Hilman terlebih dahulu bertanya pada Pramono.

"Apa kau tahu, dari kecil Laila sudah ditinggalkan kedua orang tuanya!" Pramono menerawang, mengingat anak dan menantunya yang telah beristirahat dengan tenang.

Pramono kembali memandang wajah Hilman. Dalam hatinya, terasa berat jika melepaskan Laila begitu saja. Selama bertahun-tahun lamanya Laila telah ia rawat dan didik sendiri. Karena keterbatasan ekonomi, Laila hanya bisa sekolah di Sekolah Dasar saja.

Untuk sekolah saja, anak-anak desanya terasa berat. Apalagi desa Wanadadi termasuk desa yang agak tertinggal. Semenjak adanya Redho yang membuka peluang bagi warga sekitar untuk bekerja, pendapatan harian para warga pun meningkat.

Sayangnya Pramono hanya petani sayuran yang tidak bisa berbisnis. Ia mengandalkan sayuran untuk mempertahankan hidupnya. Sedangkan untuk pohon buah sendiri, karena Laila yang mengajak Pramono.

Semenjak kematian kedua orang tua Laila, keluarga Hilman pun tidak tahu kabar itu. Pramono tidak pernah berniat untuk memberitahukan pada mereka. Karena Pramono pikir, Redho tidak akan benar-benar menjodohkan anaknya dengan Laila. Apalagi status Hilman yang sudah beristri.

"Saya turut berduka cita atas meninggalnya pak Fattah dan bu Maisaroh, Kek. Saya mewakili kedua orang tuaku untuk meminta maaf. Kami tidak bisa menghadiri pemakaman mereka." Hilman kembali menghirup nafas panjang. Bagaimana caranya ia menyampaikannya pada Pramono kalau saat ini Laila sudah menjadi yatim piatu?

"Nak, Hilman?" panggil Pramono. "Tidak tahu apakah Ananda mau meneruskan perjodohan ini?" lanjutnya.

"Iya, Kek. Perjodohan itu sudah ada sejak kami masih kecil. Aku bahkan tidak bisa berbuat apapun."

"Iya, tetapi apakah kau tahu, aku sangat menyayangi cucuku." Pramono memberikan pernyataan yang membuat Hilman semakin kehilangan kepercayaan dirinya.

"Iya, Kek! Maafkan saya. Tetapi-" ucapan Hilman terhenti. Ia bingung harus berkata apa. Di satu sisi, ia sangat mencintai Eva sebagai isterinya, satu sisi lain, ia terpaksa melakukan ini. Walaupun ia tidak mencintai Laila, ia tidak berharap menyakiti gadis itu.

"Tetapi apa?"

Hilman bingung harus berkata apa. Kalimat yang ia pikirkan sebelum datang ke rumah itu, mendadak hilang dari pikirannya.

Sebagaimana rasa kasih sayangnya orang tua terhadap anak-anaknya, Pramono memiliki tanggung jawab besar untuk memilihkan calon suami yang baik untuknya. Karena Laila tetaplah darah daging anaknya. Dia adalah cucu perempuan Pramono satu-satunya. Ia tidak rela jika ada seseorang yang mengambil Laila dari tangannya. Apalagi dengan adanya orang yang terlebih dahulu menikah dengan Hilman.

"Apa kau bermaksud menjadikan Laila menjadi istrimu yang ke dua?"

"Iya, Kakek. Saya akan menikahi Laila." Hilman hanya bisa pasrah. Ia tidak memiliki pilihan lainnya. Kalau ia membatalkan perjodohan ini, bagaimana nasib Hilman dan Eva nantinya?

"Lalu bagaimana dengan isteri pertamamu?" Pramono mendekatkan dirinya pada Hilman. "Laila!" panggilnya ketika ia melihat Laila membawa dua gelas kopi.

Laila baru saja datang dari dapur membawa dua gelas kopi hitam. Walaupun sudah tidak boleh minum kopi lagi, Pramono tetap menyuruh Laila untuk membuatkan kopi.

"Kakek. Maaf mari diminum kopinya!" Laila menunduk pada Pramono lalu meletakan dua gelas kopi itu di meja. "Saya permisi dulu!" ucapnya kemudian.

Laila bergegas untuk kembali ke dalam lagi. Ia merasa kedatangan Hilman tidak memerlukan kehadiran Laila. Laila tidak mau merusak apa yang Hilman akan katakan.

"Tunggu dulu!" cegat Pramono.

"Iya. Ada apa, Kek?" Laila melihat kakeknya.

"Duduk di samping kakek!" titahnya. Ia menepuk lincak di bagian samping yang ia duduki.

"Iya, Kek!" Gadis itu menurut saja. Ia melihat kakeknya yang terlihat serius dengan Hilman. Tetapi ia tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan.

Hilman pun tidak pernah menyangka ini seperti kebetulan belaka. Atau Tuhan yang merencanakan semuanya, harus menikahi gadis yang baru ia temui tadi pagi.

"Begini, Nak Hilman. Bicaralah mumpung Laila ada di sini!" perintah Pramono. Pramono menunggu keberanian Hilman untuk mengatakannya secara langsung.

"Laila–"

"Iya, apa?" Laila tidak tahu mengapa suasana sangat dingin. Ruangan ini begitu terbawa aura dingin entah dari mana.

"Katakanlah, Nak Hilman!" perintah Pramono.

Laila menghembuskan nafas pelan. Ia menatap sejenak ke arah Hilman. Kemudian ia menengok ke arah Pramono. "Apa yang terjadi?" gumamnya pelan.

Hilman hampir membuka mulutnya, tetapi ia membatalkan niatnya. Ia terlebih dahulu memikirkan matang-matang apa yang harus ia ucapkan. Ia tidak ingin salah berucap. Maka ia harus menyiapkan semuanya.

"Ini soal–" Hilman kembali menghentikan ucapannya. Dalam pikirannya terbesit, 'Mengapa harus dia? Tidak adakah gadis lain yang itu bukanlah hadis di depannya?'

Hilman takut akan menyakitinya. Ia takut karena pernikahan itu, membuatnya bersikap tidak adil. Di satu sisi, ia sudah memiliki istri yang sangat ia cintai. Di satu sisi lagi, ia tidak mau menyakiti Laila.

Hilman membetulkan duduknya. Berbicara secara langsung di depan Laila rasanya jadi semakin gugup. Padahal ia sudah mempersiapkan mentalnya dari rumah. Ia juga sudah mempersiapkan perhiasan yang akan dia berikan kepada Laila. Ia pun telah meminta doa kepada isterinya kalau dia harus berhasil menyelesaikan ini semua.

Ia memandang Pramono, meminta ijin untuk mengatakan niatnya pada Laila. Bahwa ia mau menikahi gadis itu.

"Laila," panggil Hilman lirih. "Ada yang mau kukatakan padamu." Hilman memandang Laila yang langsung menunduk.

"Iya. Sebelumya, saya minta maaf atas kesalahanku," lirih Laila. Ia menunduk mengingat kejadian tadi di perkebunan.

"Bukan itu, Laila. Bagaimana menjelaskannya?" Hilman tidak bisa mengatakannya. Ia melihat Laila adalah seorang perempuan yang baik. Apakah dia tega untuk mengatakannya? Ia malu pada dirinya sendiri.

"Langsung katakan saja, Nak Hilman!" pinta Pramono. Pria sepuh itu menatap keduanya. Tidak ingin ikut campur urusan perjodohan mereka. Tetapi ia memiliki kewajiban untuk membimbing dan mendukung setiap keputusan Laila. Ia tidak boleh mengambil keputusan sendiri. Jika nantinya Laila tidak setuju, Pramono tidak akan memaksanya. Jika Laila setuju, mungkin itu yang terbaik.

"Laila ... menikahlah denganku!" tandas Hilman. Ia sudah mengumpulkan semua keberanian untuk mengatakan itu. Soal keputusan Laila, ia tidak memikirkannya terlebih dahulu.

***

avataravatar
Next chapter