20 Menerima Lamaran

Redho hanya ingin membalas budi kepada Fattah dan keluarganya. Namun caranya yang terbilang salah. Dulu ia berpikir, menjodohkan Hilman dan Laila adalah pilihan yang tepat. Namun ia tidak pernah memikirkan apa yang terjadi di masa depan.

Sementara untuk saat ini, hasil usaha Redho selama belasan tahun ini sudah bukan miliknya lagi secara hukum. Semua harta yang dimilikinya telah dilimpahkan kepada Laila. Hanya saja mereka belum mengatakannya pada Laila atau Pramono.

Satu-satunya agar harta dan aset hasil usahanya tidak jatuh kepada orang lain adalah dengan menikahkan Hilman dengan Laila. Apapun yang terjadi, Redho harus menikahkan Hilman dengan Laila.

"Terima kasih, Pak Redho. Bagaimana dengan Kakek Pramono? Apakah Anda setuju untuk menikahkan saudari Laila dengan saudara Hilman Syahputra ini?" Pak RT mempersilahkan Pramono untuk menjawab.

Sebelum mengucapkan kalimatnya, Pramono menganggukkan kepalanya pada mereka. Ia kemudian menghela nafasnya.

Semua menanti keputusan dari Pramono selaku wali dari Laila.

"Bismillahirrahmanirrahim. Singkat saja Pak Redho dan sekeluarga. Juga Bapak Ketua RT, Pak Bashrin. Pak Ramli dan Pak Sobirin. Sebagai seorang kakek, sekaligus sebagai pengganti orang tua dari Laila. Sebenarnya berat untuk mengatakannya. Namun saya juga tidak bisa menolaknya. Kita kembali lagi pada keduanya.

Alasan saya karena Anda, Pak Redho. Sebelumnya telah membuat janji dengan anak saya, almarhum Fattah. Kalian akan menikahkan Hilman dan Laila saat mereka dewasa.

Saya hanya ingin bertanya kepada Nak Hilman. Apa kamu setuju dengan perjodohan ini? Kamu sudah memiliki seorang istri. Membimbing dan memberi perlindungan kepada seorang istri, bukan perkara mudah. Dan untuk menafkahi ... saya rasa itu tidak menjadi masalah. Tapi apa kamu bisa menafkahi batin Laila?" tandas Pramono.

Setelah mengatakan panjang lebar walau tidak sepanjang ucapan Redho, Pramono menatap Hilman untuk mencari jawaban.

"Insyaallah saya siap," jawab Hilman. Walau sebenarnya ia masih ragu.

"Baiklah. Apa kau benar-benar yakin, bersedia meluangkan waktumu untuk mendidik Laila dengan tulus hati?" Pramono menyelidik pada Hilman.

Hilman mengangguk dengan ragu. Dia sudah sampai pada titik ini. Biarpun nantinya ia menikah dengan Laila, hatinya tetap menjadi milik Eva. Satu-satunya yang dia pikirkan adalah hasil usaha orang tuanya yang telah dibilang sukses. Ia tidak menginginkan harta itu jatuh kepada orang lain.

Laila adalah kunci dari permasalahan yang dihadapi oleh keluarganya. Meskipun ia sangat membenci papanya, Redho. Ia masih memiliki hati nurani untuk berbakti padanya. Ia tidak mau mengecewakan Redho yang sudah bekerja keras untuk membesarkannya. Inilah saatnya Hilman membalas budi. Meskipun itu menyakitkan untuknya.

"Saya sudah merawatnya saat masih anak-anak. Saat ia menangis ditinggal kedua orangtuanya. Saya juga yang mengasuh dan mendidik dia, sehingga dia sebesar ini," ungkap Pramono.

"Kakek," panggil Laila.

Air mata Laila merembes keluar dari kelopak matanya. Bagaimana ia bisa hidup tanpa kakek yang berada di sisinya? Semenjak kepergian kedua orang tuanya, sang kakek yang telah menggantikan peran itu. Sekarang sang kakek sudah tidak muda lagi. Bagaimana Laila membiarkan kakek hidup sendirian?

Laila mengingat akhir-akhir ini Pramono sering mengeluh dengan pinggangnya. Diusia tuanya, fisik semakin lemah. Itu juga yang membuat Laila tidak ingin meninggalkan kakeknya demi menikah dengan Hilman.

"Kenapa kamu menangis, Nduk?" Pramono melihat Laila yang menangis dan mendekat kearahnya.

"Kakek ..." lirih Laila.

"Kamu kenapa menangis? Kamu sebentar lagi akan menikah. Kamu pasti akan bahagia dengan nak Hilman ini. Kakek sudah tua, tidak bisa menjagamu lagi. Kamu juga sudah dewasa. Jemput dan raihlah kebahagiaanmu, hem?"

"Kakek, aku nggak mau nikah. Aku mau menjaga Kakek saja!" ungkap Laila yang langsung membaringkan kepalanya di paha Pramono.

Suasana haru menyelimuti ruangan berukuran empat kali empat meter tersebut. Tidak disangka, hubungan kakek dan cucunya akan seperti itu. Walau kadang Laila sering berbuat candaan dan berbuat usil, tetapi ia sangat menyayangi kakek yang telah merawatnya sampai dewasa.

"Sudah, Nduk. Apa kamu nggak malu? Kamu sudah dewasa, bukan anak kecil lagi," elak Pramono.

"Aku ingin jadi anak kecil saja," putus Laila.

Pramono mengangkat kepala Laila. Dilihat wajah yang sudah tertutup air mata itu. Pramono mengangguk. Ia setuju dengan Laila, jika ia seperti anak kecil. Bagaimanapun juga, Laila akan selamanya menjadi cucu kecilnya. Itu tidak akan berubah sampai kapanpun.

"Laila, apa kau mengingat tante?" panggil Seruni. Seruni mendekati Laila.

"Ayo, Nduk. Itu calon ibu mertuamu. Beliau yang akan menggantikan peran ibu untukmu. Bukankah kamu ingin memiliki ibu? Kakek tidak bisa memberikan kasih sayang sebagai seorang ibu." Pramono mengalihkan pandangannya kepada Seruni.

Pramono tidak ingin terlihat kalau ia sudah meneteskan airmatanya. Ia duduk mengusap air matanya dengan kedua tangan.

"Eh, mari minum tehnya," tunjuk Pramono pada para tamu. Ia sedari tadi disibukkan dengan menyembunyikan air matanya dari semua orang.

"Oh iya, Kek. Mari," jawab mereka serempak.

"Laila, apa kamu masih ingat dengan tante? Waktu kamu kecil, tante ingat kamu senang main lumpur dan main hujan-hujanan, bukan?" tukas Seruni.

"Tante? Maaf saya tidak tahu," jawab Laila. Tentu saja ia tidak mengingat. Waktu itu, ia masih berusia lima tahun. Mana mungkin ia masih mengingat masa kanak-kanaknya.

"Ooh ...." Seruni kecewa karena Laila bahkan tidak mengingatnya.

"Dia masih kecil. Mana bisa mengingat, Mah," terang Redho.

"Heem ... Mamah sampai lupa, Pah. Hehehe. Mungkin mama yang sudah tua," kata Seruni.

Seruni memperhatikan Laila dengan seksama. Wajahnya putih mulus tanpa riasan apapun di wajahnya. Terlihat cantik dan teduh saat orang memandang.

'Sungguh cantik wajahmu, Laila,' pikir Seruni. Ia tersenyum memandang ke arah Laila.

"Tante?" panggil Laila.

"Hem ... Kamu mau nikah sama Hilman, kan? Nanti apapun yang kamu mau, pasti akan kami berikan. Iya kan, Pah?" Seruni menatap suaminya, Redho.

"Oh, iya," jawab Redho sekenanya. Tentu apa saja akan diberi.

Tapi Laila sudah terlanjur menerima uang dari Redho. Laila belum memikirkan ini lebih jauh. Apalagi Laila sudah berjanji akan membuatkan tempat untuk belajar anak-anak di desanya. Dengan menikahi Hilman, ia bisa mendapatkan semua yang ia impikan. Tapi bagaimanapun juga, jika ia menikah, bukanlah demi uang itu. Melainkan karena mengharapkan ridho Allah Subhana Wa Ta'ala.

"Dia nggak mau, Mah, Pah," sela Raisya.

"Raisya!" bentak Redho.

"Pah!" sergah Seruni.

Suasana menjadi tegang, saat keluarga Redho membuat kacau acara lamaran ini. Untung hanya beberapa orang yang hadir. Tetapi tetap saja, itu menunjukan ketidakharmonisan keluarga Redho.

Sebenarnya Laila juga bingung. Di satu sisi, ia tidak ingin tinggal jauh dengan kakeknya. Setelah ia menikah, tentu ia akan mengikuti kemana Hilman pergi? Lalu bagaimana dengan kakeknya? Pramono sudah tua. diusianya itu, seharusnya keluarga yang mengurusnya. Bagaimana jika ia sakit? Siapa yang akan merawatnya? Lagipula tempat mereka tinggal saat ini jauh dari pemukiman. Jika Pramono tinggal sendirian, maka Laila khawatir terjadi apa-apa dengannya.

"Eh ... ayo, Pak, Bu. Mari minum dulu." Pramono tidak ingin terjadi pertengkaran diantara keluarga itu.

"Bagaimana, Laila? Apa kamu sudah memutuskan?" tanya Bashrin, selaku ketua rukun tetangga.

"Bismillahirrahmanirrahim. Baiklah, aku mau menikah dengan Pak Hilman," putus Laila akhirnya.

"Alhamdulillah," syukur mereka serentak.

"Pak?" ucap Redho dan Seruni berbarengan. Mereka tidak menyangka dengan panggilan itu.

"Hahaha! Kamu sudah tua, Kak," ejek Raisya kepada Hilman.

"Sssttt ... bisa diam?" tekan Hilman pada Raisya.

"Weeek," ledek Raisya menjulurkan lidahnya.

Raisya masih menahan tawa, ketika mengingat Laila memanggil kakaknya dengan sebutan 'Pak'.

***

avataravatar
Next chapter