12 Kedekatan Laila Dan Kakeknya

"Lebih baik, kau bawa dulu orang tuamu! Biar saya dan kedua orang tuamu mendiskusikan masalah ini!" pungkas Pramono.

"Baik, Kek. Saya akan menghubungi papa dan mamaku untuk datang menemui kakek!" Hilman berdiri, ia berniat pergi meninggalkan kediaman Pramono.

"Tunggu dulu! Saya belum selesai!" cegat Pramono. Pramono mempersilahkan Hilman untuk duduk kembali.

"Iya, Kek. Maafkan saya." Hilman kembali duduk. Ia sebenarnya sudah merasa canggung, berhadapan dengan Pramono.

"Diminum dulu kopinya!" Pramono mempersilahkan. Ia juga meminum kopi buatan Laila.

"Iya, terima kasih." Hilman menuruti permintaan Pramono. Lelaki itu sebenarnya sudah minum kopi di perkebunan. Baru saja selesai, ia berangkat ke rumah Pramono. Namun ia adalah seorang tamu, ia harus bertindak sopan. Apalagi terhadap orang tua.

Dalam kondisi ini, mungkin perut Hilman akan terasa melilit, karena kebanyakan minum kopi. Tetapi ketika ia meminum kopi itu, rasanya berbeda. Ternyata Laila menambahkan jahe pada kopi itu. Rasa kopinya berbeda dari kopi biasanya. Yah menurutnya ini adalah kopi ternikmat yang pernah ia minum. Sampai ia menghabiskan semuanya. Ia tidak peduli, jika nantinya akan sakit perut.

"Aku pasti akan datang lagi ke rumah ini, Kek. Apa Kakek bisa menungguku?"

"Iya, Nak. Pastikan kamu datang bersama kedua orang tuamu. Karena sebuah pernikahan bukanlah main-main belaka. Harus ada pertanggung jawaban dari semua pihak."

"Iya, Kek. Aku akan datang lagi. Sepertinya aku ada urusan, mohon undur diri."

"Anak muda yang terlalu terburu-buru. Baiklah, sekarang kau boleh pergi. Tapi ingat, untuk membawa orang tuamu, dua atau tiga hari lagi!"

"Baik, Kek! Kalau begitu, saya pamit dulu!" Hilman mendekati Pramono untuk menjabat tangannya.

"Iya."

"Assalamualaikum, Kakek, Laila." Hilman memandang ke arah Pramono, lalu Laila.

"Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh ..." jawab Pramono.

"Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh ..." jawab Laila.

Pramono menerima jabat tangan dari Hilman. Sebagai orang yang lebih muda, sudah sepatutnya lebih menghormati. Ia berpamitan pada Pramono dan Laila. Hilman meninggalkan rumah itu, dengan mengendarai motornya.

Laila dan Pramono melihat Hilman yang sudah menjauh dari kediaman mereka.

"Sebentar lagi kamu akan menikah, Nduk," ungkap Pramono, menggoda Laila.

"Eh, Kakek apaan? Aku belum siap nikah, Kek. Lagian aku tidak mau menjadi perusak hubungan pernikahannya. Apa jadinya kalau aku dikatain perempuan perebut suami orang?"

Rumor beredar, banyak wanita perebut suami orang. Laila tahu kabar dari media yang terpercaya. Dalam bentuk buku dan media cetak lainnya.

Gadis desa seperti Laila, tidak memiliki alat komunikasi seperti ponsel atau sejenisnya. Hanya saja, Laila mengerti penggunaanya. Ia seringkali menggunakan ponsel milik salah satu anak desanya. Kebetulan anak itu tergolong mampu membeli barang elektronik tersebut.

Apalagi Laila bisa dapat berita tentang dunia luar. Ada berita pelakor yang marak belakangan ini. Laila takut akan menjadi salah satu dari pelakor itu.

Pramono juga tahu, Laila masih belum mau menikah. Tapi ia sudah mengatakannya pada Hilman agar membawa orang tuanya datang ke rumahnya.

"Kamu jangan cemas seperti itu, Laila. Kakek sudah tua. Kalau kakek meninggal nanti, kakek tidak bisa menemanimu lagi, Nduk. Lagipula tidak baik menolak lamaran. Bagaimana nantinya, kakek serahkan keputusan padamu."

"Kek, aku belum siap nikah," kilah Laila.

"Iya, kakek tahu. Makanya kamu berpikir dulu, beberapa hari. Kalau perlu kamu sholat istikharah, meminta Allah memberikan jalan yang terbaik untukmu," usul Pramono.

"Baiklah, Kek. Insya Allah aku akan melakukannya. Oh, iya. Sini aku urut kaki dan tangan kakek," tawar Laila yang siap mengurut kakeknya.

"Sini, Nduk. Kakek sudah sangat pegal. Efek sudah tua."

"Iya, Kek."

Laila mengambil balsem yang baru ia beli di kamar kakeknya. Ia kembali dan mengoleskan balsem ke telapak tangannya. Dengan pelan, Laila mengurut tangan Pramono.

"Kamu enak ngurutnya, Nduk. Kalau suamimu nanti tahu, kamu pandai ngurut, suamimu pasti senang." Pramono menikmati urutan Laila pada tangannya.

Setelah tangan satu selesai, tinggal tangan satunya. Laila dengan telaten melakukan tugasnya sebagai seorang cucu.

"Tangannya selesai, punggungnya sekalian, Kek. Buka bajunya, Kek!" pinta Laila. Agar mudah memijat Pramono.

"Iya, Laila." Pramono menuruti permintaan Laila. Ia melepas bajunya dan terlihat otot-ototnya yang sudah mengendur. Kulitnya pun tidak sekencang saat masih muda. Banyak keriput di sana-sini.

Beruntungnya Pramono memiliki cucu perempuan yang menemani sepinya. Walau hanya hidup berdua, Pramono cukup bahagia, telah merawat seorang cucu perempuan yang baik dan hormat orang tua.

"Kakek sudah tua, Nduk. Sering sakit-sakitan begini. Kakek hanya khawatir–"

"Tidak apa, Kek. Jangan diteruskan. Laila akan nurut semua permintaan Kakek. Tapi jangan katakan kakek sudah tua dan mau mati!"

"Siapa yang mau bilang kakek mau mati? Kamu pengin kakek mati, hah?"

"Eh, maaf, Kek. Astaghfirullah ... maafkan aku, Kek. Kakek umurnya masih panjang. Pasti kakek bisa melihat Laila menikah dan Laila akan memberikan cucu untuk Kakek."

"Nah, ini baru cucu kakek. Eh, kamu kan cucu kakek. Bukan cucu, tapi buyut."

"Eh, iya, yah. Hehehe. Ini udahan, ya, Kek?"

"Iya, terima kasih, Nduk."

"Sama-sama, Kek."

Tiba-tiba Laila mengingat sesuatu. Ia lupa kalau ia ada janji dengan ketiga Kurcaci. Namun ia bingung, setelah Hilman datang dan melamarnya, rasanya ia tidak enak untuk mengambil buah jambu yang ada di kebunnya. Walau bagaimanapun juga, setelah mereka menikah, bukankah Laila bebas keluar masuk kebun itu.

"Kamu kenapa, Nduk?" tanya Pramono yang melihat gelagat Laila.

"Tidak, Kek. Sebenarnya aku ada janji pada Ayub, Wawan, dan Diyon, memetik buah jambu di kebun milik pak Redho!"

"Oh ... apakah itu sisa dari penjualan? Yah tidak apa kalau kamu kesana. Lagian pemiliknya sudah memperbolehkannya. Tetapi sebaiknya kau tidak ikut-ikutan anak-anak itu." Pramono menggeleng pelan.

"Iya, Kek. Daripada main sama orang yang lebih dewasa, mereka terus godain terus. Bukan mahramnya juga, kan," elak Laila.

"Tapi ... ya sudahlah ... kamu juga selama ini mainnya sama anak-anak itu. Kamu pergilah! Kakek tidak mau membuatmu kehilangan masa mudamu." Pramono mengizinkan Laila. Bagaimanapun yang dikatakan Laila ada benarnya.

"Baiklah, Laila pamit dulu, Kek." Laila menyalami dan mencium tangan kakeknya. "Assalamualaikum ...." Laila pergi dengan menaiki sepedanya.

"Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh ...." Pramono melihat Laila yang sudah mengayuh sepedanya. Ia tersenyum melihat Laila yang sudah tumbuh dewasa. Usia sembilan belas tahun, sebagai pembatas antara seorang remaja dan dewasa.

Laila terlihat seperti masih anak-anak, ketika ia bermain dengan mereka. Tetapi ia memiliki pemikiran orang dewasa pada saat serius. Laila bisa menempatkan diri pada berbagai situasi. Walau kadang, anak perempuan itu bertingkah seperti anak kecil. Suka ngebut ketika membawa sepeda. Masih suka main hujan-hujanan kayak anak kecil, dan suka naik pohon. Tetapi ia tidak berani sembarang naik pohon. Apalagi pohon yang telah berbuah. Ia memastikan pemiliknya mengijinkan atau memang diperintah oleh pemilik kebun.

Tidak seperti remaja perempuan lainnya, Laila adalah sosok yang langka. Ia bisa melakukan apapun dengan usahanya. Selain bisa melakukan pekerjaan perempuan, ia suka membantu kakeknya di kebun. Namun saat ini, ia sedang tidak berkebun. Mereka tinggal menunggu panen. Karena memang tidak ada pekerjaan yang harus ia lakukan.

***

avataravatar
Next chapter