18 Kedatangan Keluarga Redho

Sudah tiga hari berlalu, semenjak kedatangan Hilman ke rumah Laila. Hari ini, Hilman membawa serta Redho dan Seruni ke rumah kecil di desa itu. Ia juga membawa adiknya yang belum pernah ke desa itu.

Hilman mengendarai mobil di sepanjang jalan desa Wanadadi. Jalan yang tidak rata, membuat mobilnya berguncang saat melaju. Di depan, ia bersama dengan Raisya, adiknya. Sementara di belakang ada Redho dan Seruni.

"Uuh ... jalannya gini banget, sih," keluh Raisya. Gadis berumur enam belas tahun itu terus mengoceh di sepanjang perjalanan.

Raisya baru pertama kali diajak ke rumah Laila. Waktu masih kecil, Raisya tinggal di rumah neneknya di kota. Membuat Raisya tidak tahu kalau jalan yang mereka tuju, terlihat terjal dan tidak nyaman dalam perjalanan.

"Diem, Sayang." Seruni yang dibelakang, memegang pundak Raisya.

"Tuh, Mah. Kenapa kita harus melewati jalan ini, sih?" keluh Raisya lagi.

"Sayang," panggil Seruni.

Sebagai seorang ibu, Seruni harus bersabar menghadapi anak gadisnya yang belum dewasa. Gadis enam belas tahun itu terus mengeluh karena jalanan yang mereka lalui tidak rata. Membuat mobil itu sering berguncang.

"Lagian Kakak, sudah menikah masa mau nikah lagi." Raisya menatap Hilman yang diam saja mendengar ocehannya.

Karena sang kakak tidak menanggapi, wajah gadis itu berubah menjadi cemberut. Tidak tahu apa yang di pikirkan kakaknya itu. Saat berada tidak jauh dari papanya, Hilman tidak banyak bicara. Begitupun ayah mereka, mereka lebih banyak diam ketika ayah dan anak lelaki itu saling berjumpa.

Hubungan antara ayah dan anak itu, sudah tidak harmonis. Apalagi ketika Hilman lebih memilih untuk menikahi Eva. Tentu mendengar itu semua, Redho menjadi sangat marah dan kecewa pada Hilman. Hingga saat ini, Redho masih menyimpan kebencian pada anak lelakinya itu.

"Pah ..." panggil Seruni pada Redho. Seruni menyentuh tangan suaminya yang terlihat tegang.

Semenjak pernikahannya dengan wanita di sampingnya, Redho memiliki hidup yang baik untuk membangun usahanya. Namun entah mengapa, ada batu besar mengganjal di hatinya. Yaitu anak mereka yang lebih mementingkan diri sendiri. Hingga Redho menjadi pusing karena merasa tidak dihormati terkait keputusan yang ia buat.

Redho teringat dulu waktu dirinya mengatakan, Hilman telah dijodohkan waktu kecil. Tak terduga, Hilman akan menolak semua yang telah diucapkan Redho.

"Kalau mau menikahi Laila, Mengapa bukan Papah saja yang menikahinya?" gertak Hilman pada Redho sebelum Hilman menikahi Eva.

"Anak durhaka! Kamu yang harus menikah dengan gadis itu, titik!" pekik Redho membalas ungkapan kasar Hilman.

Semenjak saat itu, pertengkaran di antara keduanya pun terjadi. Di antara mereka, tidak ada lagi keharmonisan dalam hubungan ayah dan anak.

Sebenarnya Hilman mewarisi watak Redho sendiri. Redho saat muda dulu pun memiliki sifat keras kepala. Tidak ada yang menentangnya, termasuk orang tuanya. Tidak heran, jika Hilman mewarisi keras kepalanya itu.

"Pah, sebentar lagi, kita akan melamarkan Laila untuk Hilman. Kenapa Papah masih saja mengingat masa lalu? Bukankah kita akan melaksanakan janji kita untuk menikahkan anak kita dengan putri mas Fattah dan mba Maisaroh?" ungkap Seruni mengingatkan. Ia tidak ingin kedua lelaki di kelurganya tidak akur dan tidak mau saling berbicara.

Apa kata orang-orang nanti saat pernikahan Laila dan Hilman? Mungkin mereka akan menjadi bahan gunjingan orang-orang.

"Cukup, Mah!" bentak Redho pada istrinya. Sebenarnya ia tidak mau seperti ini. Keegoisannya tidak bisa lagi ia ambil kembali.

"Pah?" lirih Seruni.

Redho memalingkan wajahnya dari Seruni. Tidak mengerti pemikiran sang istri yang selalu membujuknya untuk berbaikan dengan Hilman. Sebagai seorang Istri dari Redho, juga seorang ibu dari Hilman, ia tidak menginginkan hubungan ayah dan anak menjadi semakin tidak harmonis dan rumit.

"Tuh, gara-gara Kakak! Mama dan Papa jadi berantem, kan?" cibir Raisya.

"Diam!" bentak Hilman. Dia sudah kepalang emosi. Tanpa berpikir panjang ia membentak adiknya sendiri.

"Kamu yang diam! Kamu membentak adikmu sendiri!" kecam Redho dengan suara tinggi.

"Silan!" umpat Hilman. Ia memukul setir mobilnya.

Seruni dan Raisya yang mendengar ayah dan anak itu berkata dengan keras, hanya bisa diam. Mereka lebih takut jika keduanya saling beradu pukulan. Padahal mereka berniat untuk melamar Laila untuk Hilman.

Suasana hening terjadi begitu lama. Hingga mereka sampai di depan rumah milik Pramono. Redho sebelumnya tidak tahu di mana rumah orang tua itu. Redho hanya menyuruh Seruni untuk membujuk Hilman mencari tahu rumah Pramono berada.

Mereka tiba di sebuah rumah sederhana yang letaknya berada di kaki bukit. Rumah sederhana itu terlihat cukup rapi sebagai rumah desa. Walau tembok rumah itu hanya terbuat dari anyaman bambu, rumah itu terlihat nyaman dan rapi. Tidak ada kerusakan atau lubang-lubang besar seperti kebanyakan rumah di desa.

Redho seperti teringat masa muda dulu. Saat Redho membawa Seruni dan Hilman menginap di rumah sahabatnya, Fattah. Kini ia akan dipertemukan kembali dengan gadis kecil yang dulu telah dijodohkan dengan Hilman.

Mereka penasaran seperti apa wajah gadis itu sekarang. Apakah masih seperti dulu, atau sudah beranjak dewasa.

"Wah. Rumahnya unik dan bagus. Tidak seperti yang ada di sinetron-sinetron." Bahkan Raisya pun takjub dengan keberadaan rumah yang saat ini ada di hadapannya.

Terlihat seorang lelaki paruh baya menyunggingkan senyum dan menganggukkan kepala. Ia segera memberitahukan kehadiran mereka kepada pemilik rumah.

Redho dan keluarganya turun dari mobil, mereka disambut baik oleh beberapa warga dan seorang yang merupakan ketua RT setempat.

"Assalamualaikum ..." ucap Redho memberi salam.

"Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh ..." jawab mereka serentak.

Tidak lama kemudian, muncullah Pramono yang baru keluar dari rumah. Redho melihat seorang lelaki tua yang memakai baju koko dan sarung. Ia juga memakai peci berwarna hitam. Sementara Redho dan Hilman sama-sama memakai jas berwarna hitam. Itu terlihat kontras dengan warga sekitar yang memakai busana muslimnya.

"Maaf, ini dengan Bapak Pramono?" tanya Redho menyalami Pramono.

"Benar sekali. Pak Redho dan keluarga, mari masuk ke dalam. Maafkan rumahku yang sederhana ini." Pramono menyalami Redho dan yang lainnya. Ia juga mempersilahkan mereka masuk.

"Heemm ... Bapak jangan merendah begitu. Rumah ini cukup baik menurutku," puji Redho, lalu melangkahkan kakinya ke rumah Pramono.

Redho juga menyalami tiga orang lelaki. Satu seorang ketua RT, dan dua lainnya merupakan tetangga terdekat. Pramono hanya mengundang dua tetangga terdekat, karena hanya mereka yang rumahnya tidak terlalu jauh. Rumah Pramono letaknya jauh dari rumah warga lainnya. Kebanyakan warga lainnya juga sibuk bekerja di ladang atau kebun, sehingga tidak banyak yang bisa datang.

"Kamu Laila?" tanya Redho yang melihat perempuan muda yang terlihat cantik memakai hijab.

Sementara Laila mengangguk. Laila dulunya pernah bertemu dengan keluarga itu. Hanya Raisya yang tidak karena dia ada di rumah kakek dan neneknya waktu itu. Laila bahkan tidak ingat bahwa Redho dan keluarga pernah bertemu dengannya. Waktu itu Laila masih terlalu belia. Anak diusia lima tahun waktu itu, tidak bisa diingat oleh Laila.

***

avataravatar
Next chapter