7 Gadis Lumpur

Hilman mengendarai sepeda motornya menuju tempat yang sudah lama tidak ia datangi. Ia teringat kejadian dua belas tahun yang lalu. Saat itu, usianya masih lima belas tahun.

*Flashback*

Lima belas tahun lalu, Hilman dan keluarganya baru saja pulang dari liburan. Ia tinggal tidak jauh dari desa Wanadadi. Setelah pulang, mereka tidak menyangka bahwa rumah mereka adalah salah satu rumah yang terkena dampak tanah longsor.

Desa itu awalnya merupakan desa yang sangat indah. Desa yang dipenuhi oleh pohon jati dan beberapa hasil hutan. Saat itu sedang maraknya penebangan hutan yang membuat hutan itu gundul. Beberapa pihak penebang yang menggunduli dan menyelundupkan kayu-kayu lewat jalur sungai.

Sejumlah perusahaan industri pengolahan kayu, memerlukan banyak kayu. Sehingga para penebang liar pun memanfaatkan kesempatan ini. Mereka mengirimkan kayu-kayu yang telah ditebang ke luar kota yang terdapat perusahaan industri tersebut.

Selama tiga hari tiga malam, gerimis tidak kunjung berhenti di desa Wanadadi dan sekitarnya. Sekali hujan lebat, membuat air melimpah. Karena kurangnya pepohonan yang berada di hutan, akar-akar dari pohon yang telah tumbang tidak bisa menyerap air. Ini menjadikan tanah menjadi mudah terbawa arus air. Akibatnya adalah tanah longsor.

Hari libur sekolah, dimanfaatkan oleh Redho beserta anak dan isterinya, untuk berlibur ke kota. Mereka menghabiskan waktu, dan biaya besar. Redho yang tidak berpikir nasibnya akan buruk, mengalami perampokan saat perjalanan pulang. Karena itu, mereka harus pulang jalan kaki. Mereka yang sudah tidak memiliki uang lagi, hanya bisa meratapi nasib mereka.

Untuk mencapai desa, Redho mengajak Seruni (isterinya), dan Hilman berjalan kaki. Mereka harus berjalan seharian untuk mencapai desanya. Tidak disangka, saat mereka hampir tiba di rumah mereka, mereka mendapati pemandangan yang tidak mengenakan. Tanah longsor telah terjadi di desanya.

"Bagaimana ini, Pah? Rumah kita kena longsor!" Seruni merasa sedih karena mereka bahkan tidak memiliki harta tersisa. Harapannya ingin segera ke rumah, memasak masakan yang enak, dan tidur nyenyak telah sirna.

Tentu mereka melewati hujan dan gerimis. Mereka tidak membawa apapun untuk mereka bisa menikmati hidup mewah. Redho pun berpikir keras untuk bisa menghidupi istri dan anaknya. Hingga ia mengingat sahabat seperjuangan saat sama-sama sekolah di suatu tempat. Ia tahu temannya sangat baik, mungkin dengan meminta bantuan temannya, ia tidak akan kesulitan lagi.

"Tenang, Ma. Kita bisa meminta bantuan teman papa." Redho berusaha menenangkan istri dan anaknya.

"Gimana, Pa? Mama ikut Papa aja." Seruni memasrahkan diri pada suaminya. Ke manapun suaminya pergi, ia akan ikut serta. Yang paling penting saat ini adalah kehidupan yang layak.

"Hilman ... maafkan papa dan mamamu ini, Nak. Kita terpaksa harus menginap di rumah teman papa." Redho sebagai seorang kepala rumah tangga, tidak bisa berbuat apapun. Apalagi semua harta benda tersisa, ada di rumahnya.

Redho membawa keluarga kecilnya untuk menemui temannya yang ia tahu hanya seorang petani biasa. Walau demikian, Redho yakin temannya itu dapat membantunya. Setidaknya untuk urusan makan dan tempat tinggal.

"Assalamualaikum ...." Redho memberi salam saat mereka sampai di rumah sederhana, yang bahkan jauh berbeda dengan rumahnya yang berlantai dua. Tetapi rumah sahabatnya ini, lantainya pun masih tanah.

Hilman tidak tahu mengapa papanya memiliki teman yang hidup seperti ini. Apalagi Seruni yang merasa kehidupan teman suaminya itu hidupnya tidak lebih baik dari mereka.

"Waalaikumsalam ..." jawab seorang wanita. Dia ibunya Laila yang bernama Maisaroh. Maisaroh yang melihat mereka langsung menyuruh untuk masuk ke dalam.

"Terima kasih, Maisaroh. Fattah ada?" tanya Redho yang baru masuk ke dalam rumah untuk berteduh.

Karena hujan gerimis masih turun, membuat tubuh mereka basah oleh guyuran hujan. Apalagi Hilman yang sudah kedinginan membuat Maisaroh merasa iba.

"Dia lagi mengaji di dalam. Ayo kalian duduk sebentar! Aku panggilkan Mas Fattah." Maisaroh menuju ke kamarnya, tapi sebelum sampai, Fattah telah keluar karena mendengar suara sahabatnya.

Fattah keluar dari kamarnya. Ia memakai baju koko dan sarung, juga menggunakan peci hitam. Ia melihat Redho yang lama tidak bertemu. Ada perasaan rindu pada sahabatnya itu.

"Fattah ... mohon maaf sebelumnya-" ucapnya terhenti. Ia berpikir, apakah sahabatnya akan membantu? Sedangkan dirinya saja sudah terlihat tidak sedang dalam keadaan baik.

Apalagi Redho tidak pernah bertemu atau membantu Fattah selama ini. Yang ada malah Fattah yang seringkali membantunya. Walau Fattah bukan orang berpunya, jiwa kemanusiaannya begitu tinggi. Ia senang sekali menolong orang yang membutuhkan.

"Saya turut berduka cita dengan kejadian tanah longsor. Syukurlah kamu masih bisa selamat!" Fattah menyalami Redho dan memeluknya. "Lama tidak bertemu teman!" sambungnya menepuk pundak Redho.

"Terima kasih banyak, Fattah. Maafkan sahabatmu yang sombong ini. Disaat aku sedang di atas, saya melupakanmu. Tetapi disaat di bawah, saya malah datang kepadamu. Saya sungguh menyesal. Andaikan ada kesempatan kedua, aku tidak akan melupakan budi baikmu!" Redho tidak tahu harus berbuat apa. Fattah adalah satu-satunya orang yang dia kenal memiliki kebaikan melebihi teman-teman lainnya. Tetapi ia malah melupakannya.

"Sudahlah, Redho. Sebagai seorang sahabat, aku akan membantu sebisaku. Kau tinggallah di sini! Kamu bisa membantuku mengurus ladang, kan?" Fattah tidak marah karena teman-temannya melupakannya. Tetapi disaat orang lain membutuhkan pertolongannya, ia tidak segan untuk membantu sebisanya.

Redho tersenyum merekah karena memang benar dugaannya. Fattah adalah sahabat terbaik yang ia miliki. Pada akhirnya Redho memutuskan untuk tinggal seminggu di rumah Fattah. Ia membantu Fattah di ladang milik Fattah. Sedangkan Hilman bermain dengan Laila. Laila kecil sangat senang bermain dengan tanah liat. Hal itu membuat Hilman tidak suka gadis itu. Hilman pun tidak mau bermain dengan Laila karena ia pikir gadis kecil itu jorok.

Pernah suatu kali, Laila bermain lumpur, bajunya kotor dan kadang pula, Hilman melihat Laila bermain hujan. Yang paling aneh menurut Hilman, Laila tidak pernah dimarahi oleh Maisaroh. Wanita itu malah senang, melihat puterinya main hujan-hujanan dan main lumpur.

Bukan hanya Hilman saja, ibunya Hilman pun merasa Maisaroh memperlakukan anaknya dengan buruk. Ia tidak mengerti cara Maisaroh mendidik anak. Membiarkan anak kecil bermain dengan bebas. Walau diawasi tapi Maisaroh cenderung membiarkan Laila bermain dengan bebas.

"Itu anak kok dibiarkan main lumpur, sih?" tanya Seruni, sedikit menyinggung Maisaroh.

"Tidak apa, kok. Dia biasa bermain lumpur dan main hujan," jawab Maisaroh santai. Maisaroh tersenyum melihat Laila yang juga tersenyum padanya.

Mendengar jawaban itu, Seruni hanya menggelengkan kepalanya. Dalam ilmu agama, mereka terlihat baik tetapi untuk merawat anak, mereka terlihat tidak memperdulikannya. Ia pun mendekat ke arah Laila.

"Anak cantik, kok main lumpur, Nduk" tanya Seruni pelan. Ia menyunggingkan senyumnya.

"Asik, Tante mau main? Sini sama Laila!" jawab Laila polos.

Seruni menggelengkan kepalanya. Gadis seperti Laila hanya tahu bermain. Namun cara Maisaroh membiarkan Laila bermain lumpur, membuat Seruni geram.

***

avataravatar
Next chapter