16 Berpikir Tentang Esok

Laila tidak pernah berpikir untuk menjadi isteri yang ke dua buat Hilman. Hilman memang memiliki wajah yang tampan. Bukan tidak mungkin, jika ia memiliki isteri lebih dari satu. Ditambah lagi dengan kekayaan yang dimilikinya. Di desanya, Laila sudah dapat dikategorikan sebagai seorang perempuan, yang tiba saatnya untuk menikah. Perempuan seusia Laila, bahkan ada yang sudah memiliki momongan.

Tidak seperti orang kota yang fokus ke karir, perempuan di desa kebanyakan sudah mengerti urusan rumah tangga. Membuat perempuan desa lebih dewasa secara mental jasmani maupun rohani.

"Kek, apa benar yang dikatakan mas Hilman? Apa aku tidak akan dicap sebagai pengganggu suami orang?" tanya Laila pada kakeknya.

"Enggak, Nduk. Dia sebenarnya terlebih dahulu dijodohkan denganmu. Kamu tidak perlu khawatir tentang itu," jawab Pramono dengan tenang.

Pramono tahu, sulit bagi Laila untuk menerima perjodohan ini. Pramono tidak memaksa Laila. Hanya saja ini adalah kesempatan bagus untuk Laila agar hidupnya tercukupi. Cukup sudah Laila selama ini banting tulang mencari rezeki bersamanya. Harusnya setelah menikah, Laila memiliki masa depan yang bagus.

"Tapi dia sudah menikah duluan, Kek." Tak mau kalah, ia sebenarnya tidak minat untuk menikah. Ia masih ingin bermain dengan tiga kurcacinya.

"Iya, Kakek tahu, Nduk. Kakek tidak bermaksud memaksamu. Itu semua ada di dalam keputusan kamu. Kalau kamu tidak terima perjodohan ini, Kakek akan membicarakan lagi dengan Redho."

Sebagai seorang kakek, yang berperan sebagai orang tua, Pramono telah mencoba memberikan pendidikan yang baik. Baik ilmu pengetahuan, ataupun tentang akhlak.

Laila yang mendengar sang kakek, hanya menunduk. Ia duduk di sebelah kakeknya yang sedang duduk sambil bertasbih. Bibirnya terus mengucap kalimat-kalimat yang mengagungkan kekuasaan Allah.

"Iya, Kek. Sekarang aku harus berbuat apa, Kek? Aku bingung, apa yang harus Laila lakukan?"

"Coba kamu minta petunjuk dari Allah. Kamu berdoa malam ini. Semoga Allah memberi jalan yang terbaik. Sehingga kamu bisa memantapkan dirimu. Apapun keputusanmu, Kakek akan mendukungmu," janji Pramono pada Laila.

"Subhanallah ... Subhanallah ... Subhanallah ...."

Pramono menatap Laila yang juga menatapnya. Ia tahu cucu perempuannya sudah beranjak dewasa. Walau masih perlu bimbingan lagi agar tidak tersesat jalannya. Apalagi sudah saatnya Laila melepas status gadisnya. Setelah menikah dengan Hilman, Laila harus patuh dan berhak mendapatkan bimbingan darinya.

"Kek, aku ke dapur dulu, ya. Sudah sore. Tapi Laila lupa belum masak," ungkap Laila. Ia menunduk lalu berjalan menuju dapur.

Laila memikirkan ungkapan Hilman, saat melamarnya. Besok pagi, Hilman akan datang bersama kedua orang tuanya. Sebenarnya ia tidak menolak jika ia dijodohkan dengan Hilman. Hanya saja, dirinya masih belum menerima dengan seutuhnya.

Laila masih perlu menimbang-nimbang tentang perjodohan itu. Jangan sampai karenanya, akan ada pihak yang tersakiti. Ia seorang wanita yang memiliki perasaan. Bagaimana perasaan wanita lainnya jika ia akan dimadu? Laila berfikir, isteri Hilman mungkin akan merasa sakit batinnya.

Timbul rasa cemburu, itu normal-normal saja. Apalagi itu adalah rasa cemburu karena sang suami menikah lagi. Laila memang tidak pernah mengalami rasa itu. Tetapi ia juga tidak sekolot itu. Ia banyak berkumpul dengan ibu-ibu yang kadang mengeluh padanya. Bahwa sang suami berniat menikah lagi.

'Mungkin perasaannya akan sakit. Atau sudah sakit,' batin Laila.

Laila mencuci sayur bayam dan wortel yang baru dipetik dari pekarangan rumahnya. Tangan terampilnya, mengolah sayuran-sayuran tersebut dengan lihai. Bak koki terkenal, ia kadang beratraksi dengan melemparkan sayuran-sayuran itu dalam baskom.

"Apa Pak Hilman mau makan masakanku, yah?" gumamnya lirih. "Apa yang dia suka?" Laila membayangkan kalau Hilman duduk di depannya, sedang makan masakannya dengan lahap.

Laila sampai lupa, jika ia sedang mencuci sayuran. Karena lamunannya, ia sampai memasukan air ke baskom kebanyakan. Alhasil, bajunya pun basah karena tersiram air.

"Astaghfirullah ... Ya Allah." Laila baru menyadarinya. Ia menutup matanya karena malu sendiri. Padahal tidak ada orang di sampingnya.

"Kamu kenapa, Nduk?" tanya Pramono yang sedang duduk di ruang tengah dan mendengar Laila mengucap istighfar.

"Enggak, Kek," sahut Laila sekenanya.

Laila melanjutkan pekerjaannya. Ia terus mengucap istighfar. Ia tidak ingin melamun lagi. Lagi pula, ia juga akan menikah dengan Hilman. Tidak tahu nanti apa yang akan terjadi setelah pernikahan itu dilangsungkan.

"Bismillahirrahmanirrahim, mau memotong sayuran, semoga sayuran ini tidak mengandung sesuatu yang membahayakan, Ya Allah."

Gadis itu memotong-motong sayuran. Ia meletakan sayuran yang sudah dipotong di dalam baskom kecil. Laila meneruskan dengan memotong bawang merah, bawang putih, cabe dan bumbu lainnya.

"Mana koreknya?" Laila mencari korek dan menemukannya di tanah. Hampir terkubur oleh abu.

Laila menatap tungku api yang digunakannya untuk memasak. Di desa Wanadadi tempat Laila tinggal, kebanyakan warganya masih menggunakan tungku atau mereka biasa menyebut pawon.

Mungkin bagi kebanyakan orang, memasak menggunakan pawon, terbilang kampungan. Di jaman sekarang, rata-rata masih menggunakan pawon sebagai untuk memasak.

Salah satu pawon yang masih ada, di rumah Laila saat ini. Dalam kesehariannya, Laila selalu menggunakan pawon untuk memasak. Yang diperlukan adalah kayu bakar kering dan daun kelapa yang sudah kering.

Laila biasa mengambil ranting-ranting pohon yang kering dan jatuh. Ia juga mengambil pelepah daun kelapa yang kering juga. Daun kelapa digunakan untuk mempermudah membuat api besar. Kalau mengandalkan kayu bakar, akan lebih lama terbakar. Dengan adanya daun kelapa kering inilah yang mempermudah membuat api besar.

"Bismillahirrahmanirrahim," ucap Rehana ketika akan menyalakan api.

Laila menyalakan korek api dan mengarahkan api ke daun kelapa yang sudah kering. Ia kemudian membuat api di daun kelapa kering itu membesar. Dengan cepat, api itu sudah membesar.

"Alhamdulillah, apinya sudah jadi," kata mengucap syukur karena merasa sangat senang.

Tidak lupa, Laila terlebih dahulu menaruh wajan di atas pawon. Ia juga menuang sedikit minyak di wajan tersebut. Dengan terampil, Laila memasukan kayu bakar ke dalam pawon. Menyalakan api agar lebih besar lagi.

Setelah api menyala, Laila mengucap syukur, "Alhamdulillah. Akhirnya nyala juga." Laila masak dengan sesekali membaca sholawat. Dia biasa bersholawat dalam setiap pekerjaannya. Membuat dia selalu ceria dan menikmati apapun yang dikerjakannya.

Laila memasukan bumbu-bumbu ke dalam minyak. Membiarkan bumbu itu kering dan dimasukannya sayuran yang baru dipotong. Laila memasukan sedikit air. Tak seberapa lama kemudian, ia masukkan garam ke dalam masakan itu.

"Alhamdulillah, sudah matang." Laila tidak lupa bersyukur. Ia memasukan lauk itu ke dalam piring. Hari ini Laila tidak perlu memasak nasi lagi. Masih ada nasi yang belum dimakan.

Laila membawa lauk dan nasi ke luar dapur. Menuju ruang tengah setelah dapur. Ia meletakan semua di atas meja.

"Kek, lauknya sudah matang. Mau makan, enggak?" tanya Laila.

"Baiklah, Nduk. Apapun yang kamu masak, kakek mau makannya." Pramono menghampiri Laila. Mereka pun menikmati makan berdua.

***

avataravatar
Next chapter