1 Apa? Menikah dengan pria cacat?

Terlihat dari kejauhan, seorang wanita memakai pakaian yang selalu menarik perhatian, dan ia berjalan masuk ke halaman rumahnya. Dengan gaun simpel yang anggun dan glamor. Terlihat jelas jika wanita itu baru saja pulang dari sebuah tempat latihan dansa.

Bella Ozawa Adistia, berumur 23 tahun, dan sedang menjadi target dari dua orang pria memakai jas serta kacamata hitam, kini sedang berjalan kearah kediamannya. Diam-diam mereka mencoba mengintai, bahkan sudah dilakukan sejak sebulan yang lalu.

"Target sudah masuk ke dalam rumahnya, Tuan Saga," lapor salah seorang pria kepada atasannya.

"Bagus, sekarang lakukan sesuai rencana yang sudah aku jelaskan," perintah seorang pria yang duduk santai di dalam mobilnya, tanpa berniat untuk mengotori sepatu mahalnya di atas halaman rumah yang sederhana.

Tersenyum dengan penuh kemenangan sembari memegang sebuah salinan surat yang akan menjadi alat balas dendamnya kali ini. Selama lima tahun terakhir, Saga Leandra Graham, pria berumur 27 tahun selalu menantikan momen hari ini. Di mana ia bisa membuat keluarga dari pihak Bella Ozawa Adistia diam tidak berkutik dengan semua peraturannya.

Walaupun ia sudah merasakan pahitnya kehidupan dengan tidak bisa berjalan, namun sekarang, ia telah bangkit dari keterpurukan setelah lima tahun terakhir mencoba menghabiskan masa kelamnya dengan mengurung diri dalam kesepian dan penyesalan.

Namun kini, Saga telah berjanji pada dirinya sendiri bahwa semua keterpurukan itu tidak akan pernah lagi ia temui dalam kamus hidupnya, meski kursi roda masih menjadi teman setia sepanjang harinya.

Dari dalam mobil Saga melihat melalui rekaman tersembunyi yang disematkan pada jas hitam milik salah seorang tangan kanannya. Mereka segera memberikan sebuah surat kepada pihak keluarga Bella, dan tanpa banyak tindakan membuat mereka segera pergi dari tempat itu.

Lelahnya latihan dansa yang hari ini Bella lakukan membuat dia segera melangkah masuk ke dalam kamarnya tanpa mempedulikan di saat keluarganya sedang berkumpul. Akan tetapi, baru saja ia membuka pintu kamar, sang ayah memanggilnya.

Dengan selalu menjadi anak penurut, apalagi ia adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Membuat Bella tidak membantah ketika sang ayah memanggilnya, meskipun rasa lelah membuat langkahnya terasa begitu berat.

"Apa ada sebuah kabar baik untukku, Ayah? Ini tentang tarian dansa ku, bukan? Ayah akan memberikan aku biaya kan?" tanya Bella dengan penuh harapan besar di dalam hatinya. Sebab, ia selalu berharap keluarganya memberikan support agar bisa mengikuti sebuah lomba dansa yang akan diselenggarakan awal tahun.

"Nak, kabar ini lebih berharga untukmu daripada tarian mu itu. Bacalah surat ini terlebih dahulu," sahut Ayah Freedy dengan sikapnya yang terlihat meremehkan impian dari anaknya itu sembari memberikan selembar kertas.

"Aku rasa impianku yang paling berharga, Ayah," bantah Bella, namun tetap mengambil surat tersebut karena ia sangat menghormati ayah satu-satunya yang ia punya, terlebih ia sudah kehilangan ibunya.

Masih berusaha untuk berpikir positif, dan membuat Bella dengan perlahan membuka surat tersebut. Namun, betapa tidak ia pahami bahwa isi di dalam surat itu tertuju kepada dirinya.

"Putri dari Freedy Ozawa harus mau menikah dengan Tuan Saga Leandra Graham. Bersiaplah untuk malam ini supaya menghadiri sebuah jamuan makan malam, dan akan dijemput." Bella yang sedang membacakan isi surat itu.

Masih membuat Bella tidak paham dengan maksud dari isi surat yang menurutnya adalah sebuah kebodohan yang sama sekali belum pernah ia bayangkan. Menatap kearah ayahnya dengan tatapan yang penuh pertanyaan.

"Ayah, apa maksudnya ini? Memangnya siapa yang akan menikah?" tanya Bella dengan menginginkan sebuah jawaban yang lebih masuk akal.

Dengan perlahan sang ayah menggenggam tangan anaknya, dan mencoba menahan air mata yang sedikit lagi akan menetes. Kelemahan hati seorang ayah yang hanya ingin memberikan yang terbaik kepada anaknya, namun kini impian itu telah berubah.

Menarik nafasnya dengan berat ketika ia harus menyampaikan sebuah pesan singkat, tapi penuh dengan tekanan kepada putrinya sendiri. "Bella, kamu telah tumbuh dewasa, dan aku tahu bahwa kamu pasti mengerti dengan isi surat itu."

"Tapi, bagaimana caranya aku bisa mengerti jika Ayah tidak memberikan penjelasan yang jelas kepadaku? Bisakah aku tahu, sebenarnya siapa yang akan menikah dan untuk apa?" Bella semakin memaksa dengan sebuah harapan bahwa kebenarannya ini tidak nyata.

"Yang jelas malam ini kamu harus bersiap-siap untuk datang ke acara makan malam. Dengan begitu bisa membuat Tuan Saga senang, dan pernikahan kalian akan segera terlaksana meskipun dia cacat, tapi aku yakin kamu akan bahagia dengannya, Bella," jawab Ayah Freedy dengan penuh ketegasan.

"Apa? Menikah dengan pria cacat? Candaan macam apa ini, Ayah?" Sontak membuat Bella terkejut dengan semua permintaan itu.

Membuat sang Ayah memalingkan wajahnya untuk tidak memperlihatkan kesedihan kepada putrinya, lalu Ayah Freedy berkata. "Ini bukan sebuah candaan, Nak."

"Tapi, Ayah, kenapa harus aku? Ayah tahu kan kalau impianku hanya untuk bisa menjadi seorang penari sukses? Aku tidak mau untuk menikah apalagi dengan pria cacat seperti Tuan Saga." Bella menolak dengan tegas, meskipun ia tahu jika semua itu akan membuat dirinya menjadi anak yang tidak lagi penurut.

"Karena hanya kamu putri pertamaku, dan tidak mungkin adik-adikmu yang harus menikah. Mereka masih dalam pendidikan. Jadi, aku mohon agar kamu bisa menerima pernikahan ini kecuali jika memang kamu ingin Ayah pergi dari sini," sahut Ayah Freedy dengan keputusan sepihak, lalu melangkah pergi meninggalkan Bella yang masih dalam kebingungan hatinya.

Membuat Bella terdiam di tempat, dan tidak bisa berkata-kata. Ia sama sekali tidak pernah berpikir untuk harus menerima pernikahan yang menurutnya konyol, ditambah menjadi seorang istri dari pria yang cacat. Walaupun dirinya tahu jika pria itu memiliki kekayaan yang berlimpah, tapi tidak membuatnya serakah.

Kakinya terasa lemah, dan rasa lelah membuatnya semakin bertambah. Dengan tiba-tiba Bella terduduk, di saat ia semakin keras mencoba untuk mengingat kehidupan di masa depan yang sebelumnya tidak pernah ia harapkan harus terjadi seperti ini.

"Bahkan aku tidak bisa mengejar impianku, tapi kenapa harus aku?" lirihnya dengan perlahan.

Semakin ia berpikir keras, semakin berat pula rasa sakit di kepalanya yang harus ia hadapi, dan dengan terpaksa harus mengalah. Hingga akhirnya, Bella memutuskan untuk masuk ke dalam kamarnya, dan menumpahkan segala kesedihan dengan air mata yang terus membasahi kedua pipinya.

Dalam tangisnya itu hanya seorang wanita yang paling ia rindukan, namun rasa rindunya itu hanya bisa ia lampiaskan kepada sebuah foto kenangan bersama dengan ibunya.

"Andaikan Mama di sisiku pasti semua ini tidak akan terjadi, tapi sebenarnya apa yang sedang Ayah sembunyikan dariku?" batinnya Bella dengan pertanyaan yang membuatnya dalam kegelisahan.

avataravatar
Next chapter