webnovel

Dinner

Langkah panjangnya membuat Kenric langsung berada didalam ruangan hanya dengan sekali melangkah.

"Maaf, atas keterlambatan ku," ucap Kenric, sambil menunduk.

Maria meghentikan pergerakan pisau dan garpunya saat dia mendengar suara Kenric. Dia menatap dingin tanpa mengalihkan pandangannya ke arah Kenric yang baru saja datang. Seolah dia tidak menyukainya. Namun, bukan Maria namanya kalau dia tidak pandai mengendalikan suasana.

Mungkinkah Maria menyangka bahwa Kenric tidak akan datang?

Shone melirik ke tangan Maria lalu melihat Kenric. Disaat yang lain tak menyadari ketidaksukaan Maria atas kedatangan Kenric, Shone tetap menyadarinya.

Kenric tak mengubah posisi tubuhnya sampai Diego berucap, " tidak apa-apa Kenric, ayo duduklah. Aku mengerti, pasti ada hal yang sangat mendesak atas keterlambatan mu."

Bruno tersenyum dan bernapas lega. Melihat Kenric akhirnya tiba. Karena beberapa menit sebelumnya, kecemasan menyelimuti pikirannya. Menerka-nerka, apakah anaknya itu akan membuat malu dirinya dengan tidak datang ke acara diner ini.

Kenric yang sudah dipersilahkan langsung melangkah menuju tempat duduk yang memang telah disiapkan untuknya. Dia duduk disebelah Bruno dengan posisi yang pasti akan langsung berhadapan pada Maria dan Shone.

Pelayan menarik kursi, mempersilahkan Kenric untuk duduk. Kenric melihat Maria tajam tanpa balasan dari Maria. Maria hanya terlihat asyik dengan mengunyah makanannya tanpa memperdulikan kedatangan Kenric.

Sampai Kenric menjatuhkan tatapannya pada Shone yang juga menatapnya, tidak ramah, tapi juga tidak acuh.

'Inikah Shone?' gumamnya.

Shone menundukkan kepala sebagai tanda hormat atau santun kepada orang yang lebih tua darinya, yang tentu saja dibalas oleh Kenric. Dia menarik ujung jas hitam yang dikenakannya sebelum dia memutuskan untuk duduk. Pelayan menunduk dan langsung melangkah mundur.

Diego memberi kode kepada pelayan kalau mereka membutuhkan privacy. Pelayan keluar secara beraturan. Tidak memakan waktu lima menit, ruang vviv itu hanya diisi oleh dua keluarga yang mengenakan dress cord hitam. Tidak lagi tersisia satu orang pun pelayan.

"Kau menyukai menu ini Kenric?" Tanya Sorenda

"Oh. Tentu saja Nyonya,"

"Kalau begitu, makanlah yang banyak." Tawar Sorenda sambil tersenyum lebar. Kenric membalas dengan senyum tipisnya kemudian menunduk (mengisyaratkan rasa terimakasih).

Meski Sorenda tidak menyukai kebiasaan Kenric dengan desas-desus pribadinya. Tapi, dia tetaplah seorang ibu yang mudah luluh. Apalagi, melihat sikap Kenric yang santun.

Bola mata coklat itu perlahan melirik kearah Maria. Melihat Maria yang begitu acuh dan dingin terhadap kedatangannya. Dia menarik sebelah ujung bibir. Setengah tersenyum. Pandangannya seolah merencanakan sesuatau.

"Tuan Diego, Nyonya Sorenda dan juga Ayah. Aku ingin menyampaikan hal yang memang harus ku sampaikan malam ini." Ucap Kenric disela-sela heningnya suara gesekan pisau dan piring yang sesekali terdengar.

Pergerakan semua orang terhenti dan menatap Kenric. Termasuk Maria. Maria menarik ujung bibirnya (tersenyum sinis) sambil menatap dingin. Seolah dia sudah tahu apa yang akan Kenric katakan.

"Wah, kau tak sabar menunggu makanan ini habis?" Celoteh Bruno.

Karena seharusnya mereka akan berbincang setelah selesai makan sambil menikmati makanan penutup.

"Bruno, kau sudah terlalu banyak makan dari tadi. Apa kau belum merasa kenyang?" Canda Diego.

Diego dan Bruno tertawa.

"Ketika kau ingin menikahi Adora, kau juga tak sabar sampai menculiknya dimalam pesta lajang." Timpal Diego meledek Bruno. Mereka kembali tertawa.

'Manis sekali kedengarannya, tapi maaf Ayah ini tak semanis dengan apa yang kalian pikirkan' gumam Maria dalam hati. Sambil tetap menatap dingin pada Kenric.

"Aku ingin mempercepat tanggal pernikahan." Tegas Kenric sambil memandang Maria tajam dan lekat.

Maria terbelalak. Shock, terkejut. Bercampur aduk. Emosinya memuncak, terlihat dari pergerakan tangan yang mengepal dan bergetar. Matanya juga memerah. Kalau tatapan sebelumnya adalah tatapan dinginnya ujung es yang mematikan. Saat ini tatapan itu seperti api yang membara siap membakar siapa saja yang dihadapannya.

Kenric menikmati tatapan itu, tatapan yang seolah ingin membunuhnya saat itu juga. Dia menawarkan senyum sinisnya dan menaikkan kedua alisnya. Mengisyratkan 'kau puas Maria?'

Bukan hanya Maria, Bruno pun terkejut. Bukankah baru kemarin rasanya Kenric tak menerima pernikahan ini dan memutuskan untuk membatalkannya. Sekarang, mengapa rasanya seolah menggebu, ya, walaupun memang itu yang diharapkannya.

"Bruno. Ku rasa, dia benar-benar seperti mu." Celetuk Diego lagi.

"Tentu saja, kami setuju dengan permintaan mu. Tapi, hal ini juga harus kau bicarakan pada Maria." Timpal Diego.

"Kami sudah membicarakan hal ini Tuan. Beberapa hari yang lalu, Maria datang ke perusahaan ku untuk membicarakan tentang pernikahan kami." Ucap Kenric, menatap Maria lembut (dalam sandiwaranya).

Mendengar pengakuan Kenric, Maria serasa mau muntah. Jika bisa, ingin sekali dia merobek mulut laki-laki yang dihadapannya saat ini.

"Aku terlalu keras berpikir untuk pernikahan kalian. Ternyata kalian sudah jauh satu langkah dari ku. Ha ha ha ha ha ha," kata Bruno.

Shone menyadari ini adalah permainan. Permainan yang membuat dia tak bisa terlibat terlalu jauh. Dia yakin, ini adalah permainan yang terlebihdulu diciptakan oleh kakaknya.

'Apakah Maria bertemu dengan lawan yang seimbang?' Pikir Shone.

Shone hanya menjadi penonton, membaca situasi keadaan saat ini.

"Sayang, sepertinya tengkuk ku mulai tersa sakit." Sandiwara Sorenda sambil memijit pundaknya.

"Kau belum meminum obat colestrol mu? Aduh…, Sayang, bagaimana bisa kau ceroboh dengan dirimu dan selalu ingat mengurusku." Jawab Diego yang langsung memahami maksud Sorenda.

"Mari kita pulang." Lanjut Diego.

"Kau harus merawatnya dengan baik Diego." Senda Bruno.

Mereka hanya ingin memberi waktu untuk Kenric dan Maria saling bicara. Sorenda bangkit dari duduknya, mendatangi Maria. Mencium pipi kiri-kanan Maria.

"Nikmati waktu mu nak." Ucap teduh Sorenda pada Maria sambil mengelus bahu Maria.

Diego datang menghampiri, memeluk Maria. "Maria, sekarang kau tak bisa menyeka. Bukankah ini janji mu." Bisik Diego pada anak gadisnya itu.

Janji? Apa maksud dari perkataan Diego. Apakah Maria sudah membuat perjanjian padanya.

Shone juga memeluk kakaknya, dia hanya mengelus hangat punggung Maria. Atas tatapan mereka, hanya mereka yang bisa memahami. Maria dan Shone terkadang bisa saling mengerti hanya dari sebuah tatapan. Mereka seperti terlahir sebagai saudara kembar yang memilki ikatan batin yang kuat.

'Orang akan salah paham jika tidak mengetahui hubungan mereka' gumam Kenric melihat Maria dan Shone.

"Aku bangga padamu, tapi urusan kita belum selesai." Ucap Bruno. Memeluk Kenric sambil mengingatkan keterlambatannya. Meski sudah dimaklumkan, keterlambatan tetap sebuah kesalahan.

"Maria, aku akan mengundang mu untuk minum teh bersama." Timpal Bruno.

Maria tersenyum dan sedikit menunduk, tentu saja senyuman itu tak tulus dari hatinya. Bukan karena dia tak suka pada paman Bruno. Tak ada alasan untuk tidak menyukainya. Bruno adalah sahabat terbaik Ayahnya.

Dia hanya tidak menyukai keadaan ini, keadaan yang sama sekali tidak diharapkannya. Bahkan, keadaan yang seharusnya sudah berada dibawah kendalinya. Tapi, kenapa semua berbalik? Apakah ada hal yang dilewatinya? Tidak, bukankah Maria orang yang sangat jeli?

Saat ini didalam ruangan itu benar-benar hanya mereka berdua. Manusia yang saling menatap dengan isyarat kematian. Mereka mematung dan menatap, masing-masing seolah sedang menyiapkan tajinya.

Siapa yang akan menyerang lebih dulu? Sebenarnya, Ini permainan atau peperangan?

"Ini baru permulaan, aku akan membuat setiap malam mu menjadi malam yang tak akan pernah kau lupakan seumur hidup mu."

Next chapter