webnovel

Bab 1

Bab 1 

         "Kepompong itu telah menjelma menjadi kupu-kupu cantik, mutiara itu telah terbentuk anggun kilauannya, dan dia telah bermefosis menjadi dia sekarang yang selalu memikat dalam pesonanya."

       Anonim-- Martha Samantha 

 

***

 

Semalam suntuk hampir mata Martha tak bisa tertutup, tidak ada pikiran apapun yang menindih kepalanya, tetapi tetap saja keengganan terlelap membuat Martha terjaga, akhirnya dia memutuskan untuk mencari tahu siapa Tander Alfenzo yang sebenarnya. Sedikit demi sedikit, satu artikel ke artikel yang lain, memang semua tidak ada yang membahas seorang Tander Alfenzo sebagai buronan atau semacamnya, semua mengisahkan tentang kesuksesannya yang membuat Martha bertanya lebih dalam, dari mana saja pendapatan Tander sehingga bisa mencapai keuntungan dalam sekian bulan sekian Triliun. Jika dari bisnis properti yang orang-orang sebut itu, nampaknya ada sedikit ke tidak mungkinan, lalu kehidupan pribadi Tander yang belum memiliki seorang istri, tetapi dalam beberapa artikel menjelaskan alasannya, seperti menyudutkan salah satu pihak. Martha berpikir kembali, apakah semua wanita yang pernah dikencaninya memang akan lari dari dia jika dia memang benar-benar mencintainya. Martha merasa tidak. Jam yang menggantung di dinding kamarnya menunjukkan pukul dua dini hari, Martha tak menyadari sudah hampir lima jam dia berdiam diri di depan laptopnya, tulisan yang telah dia catatan sejak terbuka laptopnya pun sudah beberapa lembar terpenuhi. Sedetik kemudian menghela, menghirup udara yang kedap akan suara dan terlihat temaram. Martha memijat pelipisnya pelan-pelan, tampak raut wajah kelelahan tanpa polesan apapun yang lebih natural, hidung yang memang mancung dan dahi yang tirus serta bibirnya yang tipis tapi bergelombang, alisnya sedikit tebal dan hitam. Martha beranjak, tetapi sebelum pergi sepenuhnya mata dia melirik buku yang tergeletak di bawah nakas meja, dia pun membawanya dengan sedikit berjongkok.

 

"Buku Harian Martha… " Martha membaca sampul buku tersebut menyunggingkan senyum. "Ini kan buku yang saya cari kemarin sore, nampaknya jatuh ternyata," ucap Martha sembari melemparkan bukunya ke arah kasur dan dia bergegas ke kamar mandi terlebih dulu.

 

Tidak lama, tidak sampai satu jam Martha berada di kamar mandi. Dia sudah berada di atas kasurnya, sembari membolak-balik buku itu. Martha dengan sangat berperasaan membuka halaman pertama. Tulisan pertama memang belum serapi tulisannya yang sekarang, malahan cendrung acak-acakan, tapi coretan gambarnya berhasil membuat Martha tersenyum sendirian. Gambar tersebut tampak seorang gadis kecil yang tengah memangku boneka, lalu ada gambar lain yang ditulisnya bernamakan ayah yang sedang menggandeng perempuan dewasa yang Martha tulis ibu. Martha memang tak paham mengapa dia saat itu menggambar hal seperti itu, tapi untuk sampai pada detik ini justru hal itu selalu berhasil menjadi penguat kala ratap hadir mulai tak tentu.

 

Halaman selanjutnya, Martha membaca kisah yang dia tulis sendiri. "Aku mampu menjadi pengacara rupanya memang bakat, usiaku masih belia seperti ini sudah pandai berkata."

 

Aku adalah gadis yang beruntung, begitu katanya dalam paragraf pertama pembuka yang Martha baca seketika merasa berdosa. Keberuntungan yang justru ternyata kata lain dari sengsara yang begitu lama. Martha mengingat kembali di mana saat itu.

 

"Anak ibu kuat, pasti tidak sakit. Iyakan yah?" tanyanya pada seseorang yang Martha kenal saat itu, seorang ayah yang hatinya bagaikan es batu. Entah ada apa, ketika lontaran tanya itu terucap, tidak seperti biasa, ayahnya mengangguk lalu sedikit mengulas senyum dan menautkan tangannya terhadap tangan Martha.

 

"Sebentar lagi kamu akan masuk ruangannya, tapi kamu harus sendirian tidak boleh bersama ibu. Bisakan?" Sungguh demi apapun, tak ada yang bisa menjelaskan lebih lanjut perasaan Martha kecil, terharu bahagia.

 

Martha mengangguk antusias dan diapun mengeratkan pegangan ayahnya, padahal di satu sisi lain, perasaan ibunya tengah was-was, Martha tak mengetahui hal itu.

 

Kondisi Martha memang sudah terlihat membaik, tapi karena tubuhnya yang mungil dan sulit memakan nutrisi yang kadang susah payah ibunya siapkan membuat Martha jatuh sakit lagi, dia sudah dinyatakan memiliki kelainan sejak lahir dan harus menjalani serangkaian pengobatan agar tetap bisa hidup bahkan menjadi manusia normal sepenuhnya. Kelainan tersebut menyebabkan Martha harus menerima cuci darah tiga bulan sekali paling tepat. Usianya yang menginjak tahun ketiga dan sudah sangat pandai bercoletah, jalan dan sangat menggemaskan itu belum paham ada apa dengan kehidupannya. Sehingga ketika selesai menjalani pengobatan, dia selalu menulis sebuah cerita, berawal dari hari itu juga. Tentang judulnya, aku adalah gadis yang beruntung. Martha menulis hal itu, tepat ketika dia selesai mendapat transfusi darah ayahnya, seulas senyuman ayahmya mengembang dan kondisinya pun terasa membaik. Martha menuliskan bagaimana suasana hatinya.

 

"Hari ini aku bahagia sekali, ayah banyak tersenyum kepadaku ketimbang tak berekspresinya. Jika memang begini bisa membuat ayah selalu senyum padaku, aku ingin selamanya seperti ini. Tuhan, bahkan ibu tak berhenti mengucapkan terima kasih dan matanya berurai, aku gadis yang malang tapi penuh dengan kasih sayang."

 

Martha memperlihatkan tulisannya kepada ibu dia, Angelica pun membacanya. Satu tatapan lain menatap nanar sang putri yang tengah terduduk di bangsal itu.

 

"Sayang, kamu bisa menulis apa saja, tapi kamu harus ingat. Bahwa keinginan yang kuat adalah do'a yang bisa saja Tuhan aminkan dan kabulkan. Kamu ingin seperti ini terus, lalu nanti melihat ibu nangis dan berterima kasih lagi tapi kamu kesakitankan. Kamu akan paham nanti, jika ingin membuat ayahmu selalu tersenyum." Angelica menekan agar perkataannya tak terbata setelah kata ayah itu, ada ulu hati yang terasa nyeri tanpa disadari, tapi dia sadar ini untuk putrinya juga. Di satu sisi, dia merasa bangga memiliki putri yang pandai dengan kecerdasan di atas rata-rata, mampu menulis dan dapat dipahami diusia yang tak lazim, tapi di sisi lain dia selalu merasa terbohongi dan sakit hati sendirian menyimpan beberapa hal yang seharusnya Martha ketahui.

 

"Hhee… Yaudah bu, Martha ganti. Nanti Martha hapus harapannya, yaudah yuk pulang," ajak Martha, Angelica mengangguk kemudian mengusap kepala Martha penuh cinta.

 

"Nahh gitu dong… "

 

Siapa sangka derap langkah yang Angelica paksakan maju menyimpan ketakutan yang sebenarnya Martha sudah rasakan, dia selintas menatap mata ibunya yang sejurus menatap ke depan dengan tatapan kehampaan, kerlingan mata Martha yang menyadari hal itu segera memalingkan ke arah lain sembari menundukan pandangannya. Satu pertanyaan kala itu, kenapa ayahnya tak ikut pulang bersama hari ini. Entahlah, Martha terlalu dini untuk memikirkan yang Martha sebut tak pantas, dia masih merasa bersyukur dapat merasakan udara segar kota yang penuh dengan cerita ini kembali.

 

Tak ada tangisan, atau jejak air mata yang telah terhapus, bahkan sesak pun tak dirasakan. Martha menutup buku itu, baru sampai judul pertama yang Martha baca. Selanjutnya, keheningan seakan memaksa Martha untuk membisu, tatapannya nanar. Dia ingin sekali menagis tapi entah kenapa rasanya sulit. Dentuman jarum jam terdengar menggema perdetiknya, sampai Martha tak sadar dia terlelap ketika jam sudah menunjukkan pukul empat pagi.

 

***

Next chapter