4 Jangan Naif!

Tamu spesial yang mana yang dimaksud oleh pria bertato yang mengenakan kemeja hitam itu?

Vega hanya menyesap minumannya saja. Semuanya sama saja, menurutnya. Bagi seorang Vega, asal pria itu mau mengeluarkan uangnya, dia tak masalah. Vega, wanita pekerja malam yang seharusnya menjadi pekerja seksual komersil alias PSK ternyata memiliki perundingan sendiri dengan mucikari.

"Apa Madam Siska memberimu bonus kemarin?"

Ya, nama mucikari itu adalah Siska. Dan dipastikan bukan nama yang sebenarnya.

***

Flashback on

"Apa maksudnya?! Aku tak mau dijual!" bentak Vega dengan wajah pias.

Jantungnya berdegup hebat dengan kepalanya yang sudah berdentam tak karuan setelah mendengar penjelasan wanita dewasa dengan pakaiannya yang tak senonoh itu. Bibirnya yang semerah darah menyeringai penuh remeh.

"Uangnya sudah di tangan Ibumu yang tak punya hati itu, Bitch! Aku menawarkan satu solusi, kalau kau menerimanya maka aku akan berlaku baik. Namun, jika kau menolaknya mentah-mentah, lebih baik segera aku jual kau pada pria hidung belang yang bangkotan dan berperut buncit saja."

Deg!

Vega tercenung mendengarnya. Di bayangannya, dia yang akan diraba-raba oleh pria tua dan berumur saja membuat perutnya mual. Dia tak mau!

Gadis itu masih terdiam. Dia masih merasakan shock bukan main karena sang Ibu. Bagaimana bisa, Ibunya menjualnya?! Apa wanita itu memang hanya menginginkan uang saja?! Lalu apa artinya perhatian yang diberikan kepadanya itu?!

"Kau tak perlu melakukan seks dengan pria yang akan menjadi pelangganmu. Cukup buat mereka mau membayar minuman mahal, temani mereka sampai mabuk. Oiya, kalian cukup bercumbu dan berciuman saja. Kau sudah sarjana 'kan? Maka gunakan otak cerdasmu untuk menghindari prilaku menjijikkan mereka. Itu saja. Kau berhak menghindar tapi dengan cara yang tak membuat mereka marah dan kau bisa memilih siapa pelangganmu."

Namun, tetap saja itu menjijikkan!

"Aku tak mau! Tubuhku hanya untuk orang yang kucintai saja!" pekik Vega menolak mentah-mentah ide gila itu.

Matanya menatap tajam pada wanita yang masih terduduk tenang itu.

Wanita itu berdiri, berjalan mendekat dan ...

PLAK!!!

Tangannya terangkat segera menampar pipi mulus Vega sampai wajah gadis itu terlempar ke samping. Telinganya berdenging hebat, rasa panas dan perih yang menyengat membuat Vega membelalakkan matanya karena terkejut.

"Aku sudah menawarkan kebaikan! Jangan munafik! Banyak remaja yang bahkan kehilangan keperawanannya! Kau jangan naif Vega! Aku punya hak atasmu," berang wanita itu.

Satu air mata meluncur, bibir Vega bergetar. Dia terkejut, takut, berang, marah dan ... semuanya sangat menyakitkan untuknya.

Apakah dia dilahirkan hanya untuk menjadi budak saja?

Apa gunanya dia hidup?

"Kau harus realistis, Vega. Hidup di kota ini memang keras. Kalau kau mau mempertahankan prinsipmu, maka turuti aku. Kau akan aman jika menurut." Ini adalah bentuk ancaman dibalut perlindungan.

Vega mengigit bibirnya sampai perih. Dia bahkan mengabaikan rasa sakitnya dan juga mencoba menahan tangisannya.

"Akan ada orang yang mendandanimu, sebaiknya kau jangan bertingkah. Bukan hanya keselamatanmu yang terancam, tapi juga nyawamu, jika kamu bermain-main denganku," tegas wanita itu dingin, lantas berlalu meninggalkan Vega yang masih terdiam di kamar yang pengap itu.

Tubuh Vega meluruh. Persendiannya melunak sampai tubuhnya tak mampu ditopang saat ini. Dia tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi ke depannya. Bagaimana bisa dirinya menjadi wanita malam? Pemuas nafsu pria?!

Flashback off

***

"Sudahlah, wanita tua itu terlalu pelit untuk memberikan bonus walau hanya satu juta," timpal Vega kembali.

Gadis itu membenarkan tatanan rambutnya. Kali ini rambutnya diwarnai lilac, sungguh indah dengan kilauannya. Bagi beberapa pengunjung Club malam ini sudah hapal dengan sosoknya yang jual mahal dan tak tersentuh. Dia wanita malam yang sudah berharga sangat mahal ditambah dengan keadaannya yang benar-benar elegan dan juga tak mudah didapatkan membuat para pria berdompet tipis menjadi angkat tangan. Namun, berbeda dengan pria yang memiliki ambisi, berdompet tebal, mapan, butuh penghibur dan juga kesepian. Mereka akan menjadi orang yang pertama menawar dengan harga tinggi.

Valexio Jevan Normandy. Salah satu pengusaha yang terlahir campuran dua negara, Melayu dan Eropa. Ditambah dia adalah pria yang dihormati karena nama keluarganya, Normandy. Sebelumnya, Jevan hanyalah anak yang terlahir hasil dari perselingkuhan dan ayahnya mengakuinya di mata publik saat dirinya berusia 17 tahun.

Pria tampan yang sudah berusia matang itu kini menatap tajam sekelilingnya. Dia baru saja menginjakkan kakinya di Exodus Night Club, Klub malam yang menjadi paling mahal di Ibu kota, pria itu tak masalah jika membayar tiket masuk sebesar tiga juta, itu hanyalah uang yang bisa dia kumpulkan dalam waktu satu jam, barangkali.

"Kau serius kemari, Jevan?" Salah satu pria menepuk pundaknya pelan.

Jevan menoleh, mata coklat pria itu menatap pria berambut kriting yang berdiri di sampingnya. Dia berdecih saja.

"Cih! Bukan berarti aku pria polos yang tak memiliki kebutuhan bukan?" timpalnya dingin.

"Oke, you will get it in here," balas pria berambut kriting itu.

Pria itu adalah William, teman masa kecil Jevan yang baru pulang dari Prancis. Keduanya merupakan pria campuran yang begitu tampan dan mempesona. Sama-sama memiliki pesona yang mematikan bagi para wanita dan juga mereka adalah sang Cassanova yang tak punya hati.

Mereka berdua diarahkan di lantai dua, ruangan VVIP yang sudah disediakan khusus untuk mereka. Beberapa wanita malam sudah ditugaskan untuk mendampinginya. Bahkan tanpa ragu mereka dengan senang hati merangkul lengan kekar kedua pria itu.

"Hai, Ladies," sapa William sambil mengecupi pipi mulus wanita-wanita itu bergantian. Tangannya terentang menyambut tubuh yang siap menempel padanya.

Berbeda dengan William, Jevan hanya duduk dengan wajah datarnya yang tanpa ekspresi itu lalu menatap dingin pada wanita yang berjalan ke arahnya. Jevan tak tertarik. Dia sudah bosan, tentu saja. Seolah-olah tak mendapatkan wanita yang membuatnya bisa merasa tertantang.

Jevan hanya duduk, menatap lantai satu yang dipenuhi lautan manusia tengah bergoyang, mengikuti alunan musik dan saling bergerombol. Ruangan VVIP itu bahkan berdinding kaca, kalau ingin privasi maka gorden akan menutupinya. Namun, jika memang mereka ingin menonton, maka dinding kaca itu dibiarkan transparan.

Plak! Jevan menepis lengan yang menyentuh bahunya. "Dont. Touch. Me. Bitch!" desisnya merasa marah.

"Hey Dude, kau berada di sini karena memang ingin melampiaskan keinginan 'tongkatmu' itu! Kenapa kau malah menolak?" William keheranan dengan penolakan Jevan pada wanita cantik itu.

Bahkan William sengaja meminta Siska untuk menyediakan wanita yang cantik, lihai bermain dan juga ... buas di ranjang.

"Aku bosan. Tak adakah yang berbeda di sini?"

Baru saja pertanyaannya meluncur, matanya kini memandang ke arah meja bar. Lebih tepatnya menangkap sosok Vega.

avataravatar
Next chapter