webnovel

Merah Di Hari Yang Putih

"Tolong jangan lakukan itu please. Aku akan menikah sekarang, kumohon." Rein memohon dengan sangat. Setelah semua yang ia usahakan untuk bersama dengan Aksa, kini sirna akibat keirian Sarah. Wanita yang gagal menikah dengan Aksa karena pria itu lebih memilih bersama Rein.

"Bukankah aku sudah katakan, semua yang aku mau akan menjadi milikku, termasuk Aksa. And ya, did you know? Jika Aksa menikahimu, maka kesempatan ku akan hilang bukan ?" Sosok wanita di depan Rein ini sudah bulat tekadnya untuk menghabisi nyawa Rein sekarang juga.

"T-tapi, tolong!" Raungan Rein meminta pertolongan tampaknya sia-sia. Tidak ada seorangpun yang mendengar teriakan Rein. Siapa yang akan ke ruang gudang disaat seperti ini?

"Aku begitu senang jika berhasil mendengar kata-kata terakhirmu, namun sepertinya itu akan gagal. Berdoalah agar ini hanya kehidupan di alam mimpimu, Dear." Wanita itu langsung menodongkan sepucuk senjata di tangannya berupa pistol yang berhasil ia beli di dark web dan mengarahkannya ke arah Rein.

Door…

Peluru itu berhasil menembus dadanya sekarang. Rein tidak dapat mengelak serangan-

Kedua kalinya.

Sarah menembak lagi dan kini penglihatan Rein sudah kabur.

Sakit, hanya itu rasa yang dirasakan sekarang. "Aksa? Ayah? Ibu? Maafkan aku tidak dapat membuat kalian bahagia lebih jauh lagi, jangan lupakan aku...Aksa, aku tidak berniat untuk mengkhianati janji kita, aku akan menyusulmu dikehidupan selanjutnya. Pertama, kedua, dan seterusnya…." Rein kini merasa sesuatu dari dalam tubuhnya ditarik keluar secara halus. Dan, sekarang semuanya gelap.

"Rein!" mendengar suara tembakan itu membuat seisi gedung berlarian. Termasuk Aksa, ia mencari dimana Rein dan Sarah berada. Suasana begitu kacau hingga hanya suara teriakan yang begitu bising. Mata Aksa nalar mencari letak Rein, membuka satu persatu ruangan yang ada di gedung.

Gerakannya terhenti saat melihat Rein yang telah berlumur darah di gaun putih pernikahannya. Gerakannya menjadi lambat, di hadapan sang mempelai ada Sarah yang terduduk lemas dan lengan atas yang robek akibat tusukan. Tangan Sarah berlumur darah dari berbagai sisi, matanya terlihat begitu merah dan air matanya berderai tatkala melihat Aksa datang.

"A-apa ini?" Baju Aksa terlihat begitu kotor akibat darah yang terus menerus mengalir dari tubuh Rein. Memeluknya untuk terakhir kalinya. Aksa memegang Rein seolah tidak percaya apa yang terjadi di depannya. Tangis Sarah begitu histeris, tangannya bergetar saat melihat Aksa yang begitu marah dan kecewa. Tapi, ini akting yang sangat bagus bukan?

"Maafkan aku Aksa, aku tidak sempat menyelamatkan nya. Dia, di-dia," jerit Sarah yang belum beranjak dari posisinya. "Katakan dengan jelas, Sarah !" Aksa berteriak penuh emosi. Ia tidak percaya apa yang sedang terjadi di depannya ini.

"Rein… dia sudah tiada." Aksa kini diam, seolah Sarah meyakinkan dirinya bahwa Rein telah tiada. Pria berbadan kekar itu duduk terkulai di lantai yang penuh darah.

"Kumohon maafkan aku Aksa, aku menyesal karena tidak bisa menyelamatkannya. Aku datang saat pembunuh itu menembak nya, aku bahkan tidak sempat menghalangi peluru itu." Sarah menjelaskan apa yang terjadi sebelumnya. Aksa tidak berkutik, tangisan nya bahkan tidak terdengar sama sekali. Namun terlihat Aksa sangat terpukul dengan kejadian itu. Tangannya mengusap lembut rambut Rein yang masih basah karena darah dari tubuhnya. Sesekali memeluk Rein yang sudah tidak bernafas lagi.

"Siapa yang melakukan ini Sarah? Katakan siapa yang kamu lihat?" Aksa masih bertanya kepada Sarah siapa yang melakukan perbuatan ini. Emosinya masih belum stabil, ia akan membalasnya 10 kali lebih kejam dari apa yang di perbuatanya.

"Tuan Raka, anak buah Tuan Raka. Ketika aku masuk dia menodongkan pistolnya padaku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa." jelas Sarah. Sarah memegang lengan atasnya yang berdarah dan duduk di sudut ruangan tersebut. Dia benar-benar lemas dan sakit, namun dengan menjadi seorang korban sekaligus saksi mata. Siapa yang bisa mengetahui itu?

Aksa hanya diam dan Sarah tetap menangis. Sampai akhirnya Alan menyusul bersama polisi yang bertugas.

___

Suasana begitu hening, hanya ada suara tangisan Sarah dan Aksa yang terdengar sayup-sayup. Ayah dan ibu Rein sudah tidak berdaya di depan pintu. Mereka menelepon ambulans untuk mengevakuasi jasad Rein yang sudah terbujur kaku. Tubuh Rein kemudian dibaringkan di atas tempat tidur jenazah. Aksa menatapnya nanar, ia menciumi tangan kekasihnya yang tertidur dan masih terlihat begitu cantik. Dijemarinya terdapat sebuah cincin berlian yang begitu cantik dan juga sebuah benang merah. Itulah sebuah janji mereka yang mereka ikrarkan. Sebuah arti kesetiaan.

Peti akhirnya tertutup meninggalkan Aksa dan keluarganya dalam keadaan berduka. "Rein sudah tiada, siapa yang dapat menemaniku lagi? Siapa yang akan memberi perhatian lebih dari dia?" lirih Aksa yang tidak percaya calon istrinya, sang belahan jiwanya kini… meninggalkan dirinya untuk selamanya

~

Rein menatap kembali wajah Aksa. Wajah tampannya yang tidak akan pernah Rein lihat lagi. Air matanya terus mengalir dan tidak berhenti. Rein tahu dia sangat sedih karena kehilangan dirinya.

Nasibnya sekarang ini menjadi seorang 'hantu.' Dia bisa melihat namun tidak dapat bertindak apapun. Dia tahu jika aku tidak nyata sekarang. Dia sangat ingin memeluknya dan mengusap air mata yang membasahi pipinya itu.

Rein kembali meninggalkannya, menuju ke tempat dimana aku dirawat penuh kasih sayang oleh orang tuaku. Ayah, ibu, dan adikku, Noah. Semua menangis tersedu-sedu sembari menatap fotoku. Menatap wajah yang tersenyum riang dibalik kaca. Ingin sekali ia mengatakan jika dirinya juga begitu sakit disini.

"Tolong berhentilah menangis, aku tidak akan pergi jika kalian belum mengikhlaskan aku pergi." ucap Rein yang tentu saja tidak bisa didengar oleh kedua orang tuanya dan juga sang adik.

Rein naik ke atas lalu memandangi seluruh kamarku. Kamar ini cukup kotor dan begitu acak acakan di setiap sudutnya. Rein orang yang begitu kotor dan terlalu manja hingga wajar rasanya jika dirinya dibenci oleh banyak orang. Ia menyusuri kamarnya dan menghampiri lemari yang terletak di pojok kamar.

Dulu Rein sangat takut dengan hantu. Namun sekarang ia tidak takut hantu lagi karena dia adalah hantu sekarang. Lemari ini tiba-tiba mengeluarkan cahaya yang sangat terang. Hingga dirinya tidak bisa melihat apapun karena cahaya itu. Cahaya ini memenuhi ruangan kamar.

Cahaya terang benderang itu menghampirinya. Rein hanya bisa melihatnya sekilas dengan mata yang silau. Ia bahkan tidak bisa membedakan yang mana dirinya. Ia bingung dimana dirinya sekarang ini.

"Bukankah aku sudah tiada? Apa ini kehidupan setelah mati? Atau apa ini akhirat?"

Seketika matanya terbelalak kaget. Rein Melihat gadis yang sangat mirip dengan dirinya. No, ini bukan mirip. Ini adalah dirinya. Iya dirinya disaat hari pernikahan itu. Melihat gaun yang begitu kotor akan darah. Ingatan itu kembali dimana itu bertepatan dengan peristiwa dirinya dibunuh.

Tiba-tiba terdengar suara yang muncul dari balik cahaya. "Bersiaplah membalas dendammu dan bersiaplah untuk mengambil kembali apa yang sudah direbut. Aksa, Rein, Ayah ibu, dan Noah, semuanya adalah apa yang sudah direbut darimu. Maka rebutlah kembali, jangan mengulang keadaan saat kamu dulu. Maka semua nya akan kembali seperti dimana kamu mati. Kamu Akan dilahirkan kembali."

Setelah suara itu, tubuhnya pun terhenyang kedepan, menatap kembali ke arah tubuhnya. Meraba-raba semuanya tanpa terkecuali. Tidak ada yang berubah. Tidak ada yang kurang sedikit pun. Rein masih berada di dalam kamar sakralku. Kamar yang bernuansa putih ini masih begitu rapi dan apik. Sesaat yang lalu ia melihat kamar ini begitu kotor, namun sekarang?

__

Aku menuju kearah lemariku, kubuka kembali semuanya berharap ada kejelasan disini, namun nihil hanya ada susunan baju dan gaun-gaun disini. Perlahan kutatap wajahku di balik cermin, tidak ada yang berubah. Meskipun aku dilahirkan kembali, aku pasti akan dilahirkan seperti dimana aku pertama kali terlahir. Namun, kini aku terlahir sebagai diriku yang lalu. Diriku yang sama saat aku terbunuh di hari pernikahan sekaligus ulang tahunku yang ke 22 tahun.

Ayah? Ibu? Aku berlari tunggang langgang membuka pintu kamarku. Kondisi rumah ini juga tidak berbeda. Sama sekali tidak. Letak tangga, posisi dapur, dan juga kamar Noa masih sama persis di samping kamarku. Apa aku sedang berkhayal ? Aku bisa saja masih seonggok hanya yang gila, begitu gila hingga dapat memikirkan jika aku dapat dilahirkan kembali.

"Rein? Tumben banget bangun pagi, ada kelas pagi?" Suara ibuku tiba-tiba mengagetkanku. Ibuku seperti biasa bangun begitu pagi. Dan rasanya ini seperti ilusi. Dia dapat melihatku. Apa benar aku dilahirkan kembali? Tidak, tidak mungkin.

Aku tidak begitu percaya dengan pemikiran diluar nalar ini. It's impossible.

"Rein? Are you okay honey?" Aku hanya bisa menggeleng. Ibuku hanya menatap heran. Aku juga bertanya tanya, apa yang aku lakukan sekarang?

"Ibu… bisa melihatku?" tanya ku kepada mama.

"Bahkan ayah pun bisa melihatmu. Apa kamu sedang sakit sayang?" ayah menyahut yang kembali mengagetkanku tiba-tiba.

No.

Aku gak gila 'kan? Aku tidak mungkin bermimpi jika aku dibunuh 'kan ?

"Ayah, ibu, bukankah aku sudah meninggal? Kemarin… kemarin aku dibunuh, bukan? Aku meninggal di hari pernikahanku 'kan?" monolog ku, mencoba membuat kebingunganku hilang.

"Aish Rein, please don't talk that, ayah dan ibu tidak suka dengan ucapan itu. Kamu hanya berhalusinasi dan mimpi buruk. Hentikan kebiasaanmu untuk menonton drama Korea sebelum tidur." jawab ibu yang tidak ingin kata-kata buruk itu keluar dari aku.

Aku menggeleng-gelengkan kepala keras, aku yakin jika aku tidak gila.

Meninggal dihari pernikahan, lalu menyusuri kamar dan bercermin di lemari yang terdapat cermin dan melihat cahaya putih. Lalu, hidup kembali?

Mungkin aku harus bertanya kepada seseorang?

Next chapter