webnovel

Bab 1 Batu Keramat

"Mencintaimu merupakan awal rasa sakit yang tak berkesudahan. Mengikat dalam ketidakberdayaan. Meleburkan harapan dalam tipu fatamorgana kehidupan." 

****Prolog****

Dahulu kala, di suatu desa yang masih menganut berbagai faham Dinamisme , ada sebuah benda sakral yang sangat terkenal. Benda tersebut berupa batu seukuran dua kepalan yang memiliki kekuatan sihir yang dahsyat. Batu tersebut muncul begitu saja dan menjadi benda yang di agungkan oleh para penduduk desa. Batu itu memiliki peran penting, tidak hanya sebagai benda yang memiliki nilai jual yang tinggi namun juga mempunyai fungsi sebagai penjaga keamanan desa. Batu kristal dengan bentuk unik itu yang bernama batu Somo.

Konon, batu Somo memiliki jiwa. Merasakan apa yang dirasakan manusia pada umumnya sehingga diperlakukan lebih tinggi dari makhluk hidup lainnya. Benda itupun merupakan alat penghubung desa dengan sebuah kerajaan yang tak kasat mata bernama Swastamita. Kerajaan Swastamita merupakan kerajaan gaib yang selalu berdampingan dengan desa tersebut. Tak jarang para penghuni Swastamita akan menampakkan diri pada orang-orang desa yang beruntung. Tidak semua orang, hanya orang-orang terpilih. Bahkan tak jarang, beberapa penduduk desa setempat ada yang dibawa ke kerajaan gaib tersebut dan menjadi penghuni alam itu secara permanen.

Mereka yang tak ingin tinggal di tempat indah itu akan di kembalikan dengan membawa beberapa potongan emas seukuran ibu jari dan merekalah yang kelak akan menceritakan tentang keadaan kerajaan gaib itu pada penduduk desa lainnya. Mereka berkata bahwa kerajaan gaib itu dibatasi oleh suatu dinding yang serupa dengan riak air berwarna transparan yang terletak di tengah-tengah hutan Sri Molo. Para penduduk desa yang di pimpin oleh ketua adat di minta oleh Datok, sesepuh kerajaan Swastamita, untuk menjaga hutan dari jangkauan orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Sebagai imbalan dari kerjasama itu, pihak kerajaan akan menjaga desa dan sekitarnya, memperkaya perikanan dan pertanian mereka secara berkesinambungan. Sistem saling menjaga itu terjalin secara turun-temurun hingga sampai di suatu hari peristiwa besar terjadi tanpa bisa mereka prediksi.

***

"Lindungi batu Somo!"

Raung salah satu Bhayangkara (pelindung/penjaga) yang menjaga aula keabadian. Tawa keji terdengar bersamaan dengan kesiapan ratusan pelindung yang berdiri mengelilingi pusat penyimpanan benda keramat kerajaan Swastamita. Senyum tipis dari sosok jahat yang membawa sepenggal kepala prajurit yang berlumuran darah itu begitu terlihat menakutkan. Ia melempar potongan kepala tersebut ke arah para Bhayangkara yang tersisa dengan seringai yang lebar.

Tubuhnya yang sudah penuh dengan lumuran darah tak juga bisa memberikan rasa puas di hatinya untuk kembali membantai manusia di sana. Dengan tarikan sihir kegelapan, sosok itu mampu menggapai tubuh salah satu penjaga yang berdiri di depannya dan kembali meremukkan tulang-tulang yang masih utuh itu dalam sekali remasan.

Tak hanya itu, kegilaan manusia jahat tersebut semakin meningkat begitu melihat adanya perlawanan dari beberapa prajurit yang tersisa. Tanpa banyak bicara, sosok yang haus darah itu kembali melakukan kebrutalan dengan aksi kejamnya. Ia membelah isi perut, mengoyak jantung dan mengeluarkan semua isi organ dalam lawannya seperti sebuah mainan kemudian melemparkannya ke udara.

Wajah para Bhayangkara yang tersisa seketika berubah seputih kapas. Mereka benar-benar dibuat terkejut atas perlakuan sadis dari orang yang mereka kenal. Mereka tidak percaya bahwa musuh tersembunyi yang selama ini mereka waspadai justru adalah orang terdekat mereka.

"Kenapa kalian harus melawan seperti ini? Bukankah jika kalian membiarkanku mengambilnya dengan cara yang baik, kalian tentu tidak perlu harus mengorbankan nyawa?" para pelindung itu terlihat tidak peduli. Dedikasi yang saat ini mereka berikan merupakan bentuk loyalitas terakhir kepada kerajaan. Meski mereka tau akan berakhir dengan kematian, tetap saja mereka urung untuk bekerjasama dengan penjahat yang berdiri di tengah-tengah mereka.

Sosok antagonis itu kembali menyeringai sambil memasang ancang-ancang. Tangannya memutar dan mengeluarkan asap hitam nan tebal. Tanpa banyak bicara, sosok jahat itu melancarkan sihir pemusnah yang menyelubungi para Bhayangkara. Perlahan tapi pasti, orang-orang yang berusaha melindungi benda sakral di aula keabadian itu merasakan efek buruknya. Mereka berteriak kesakitan dengan panca indra yang mengeluarkan darah, seolah-olah meleleh hingga ke organ dalam mereka.

"Aku akan berbaik hati mempercepat kematian kalian." Ucap sosok kejam tersebut dengan gaya arogan. Ia menutup matanya sejenak dan memainkan jari telunjuknya ke atas. Para pelindung yang tengah terluka parah itu terangkat ke udara dengan darah yang masih mengalir dari panca indra mereka. Dalam sekali entakkan, para petarung andal kerajaan itu terhempas ke lantai dan meregang nyawa seketika.

Sekali lagi ia tertawa, begitu keras dan menggema. Menikmati kematian konyol para pelindung yang berusaha menghalanginya. Sosok kejam itu tahu bahwa dirinya bukanlah tandingan para abdi bodoh itu. Kekuatannya hampir mencapai tingkat tertinggi. Dengan batu Somo, maka pencapaian akhir yang memuaskan itu akan segera ia dapatkan. Akan tetapi impiannya itu seketika lenyap ketika iris hitamnya mendapati benda yang ia cari telah hilang dalam gumpalan asap. Batu Somo mendadak lenyap dan meninggalkan jagrak yang kosong.

Sosok itu naik pitam. Matanya berubah merah dengan luapan emosi yang tak terkendalikan. Ia meraung dan mengeluarkan tenaga internal yang begitu besar hingga menciptakan gelombang angin yang dahsyat. Ia begitu kesal dan tak terima bahwa benda yang sudah hampir ia dapatkan hilang di depan matanya. Suara dentuman yang memekakkan telinga terdengar menggelegar di langit jingga. Mengubah rona cakrawala seketika dalam kepekatan merah. Darah para Bhayangkara yang tewas di aula keabadian bersimbah dan menguap, menciptakan fatamorgana dan bau amis yang tidak berkesudahan.

Para tetua aula perbintangan yang di pimpin oleh Datok bergegas memeriksa keadaan. Tak hanya orang-orang dengan kemampuan sihir hebat tersebut, bahkan Maharaja beserta rombongan militer kerajaan ambil bagian. Mereka berpindah melewati portal dan berdiri tepat di tengah aula keabadian yang sudah porak-poranda. Mereka terkejut dengan wajah yang hampir menyerupai kapas tatkala menyadari bahwa segel jiwa batu Somo telah rusak. Benda paling penting yang menjadi pondasi kestabilan kerajaan lenyap tak berbekas. Menghilang tanpa meninggalkan jejak oleh sihir hitam yang melegenda.

Suara lenguhan terdengar pelan dari mayat-mayat yang berserakan. Gerakan terhuyung dari seorang pria bersurai hitam panjang terikat itu mengalihkan fokus semua orang. "Bhirendra!" panggil Maharaja kepada pria tersebut sambil bergegas menghampiri. Pria itu berupaya bangkit untuk memberi salam namun kembali ambruk di atas lantai dengan darah yang menyembur dari kerongkongannya.

"Lakukan penyembuhan!" titah Datok pada para tetua. Seketika para ahli sihir di aula tersebut mengelilingi pria yang tengah terluka itu. Tangan mereka terhunus ke depan dan dalam sekejap mengeluarkan sinar putih yang terang.

Satu per satu tetua kehabisan tenaga dan terjatuh kelelahan. "Luka yang diderita Bhayangkara Danadyaksa begitu dalam. Kemampuan yang kami miliki hanya bisa mengobati sebagian luka dalamnya." Ucap salah satu tetua pada Datok dan Maharaja.

Kedua orang paling berpengaruh di kerajaan itu saling bertukar pandang. Seolah paham dengan perubahan rona wajah sesepuh Swastamita, sang Maharaja pun memberi perintah, "antar Bhirendra ke pusat medis kerajaan! Katakan pada seluruh tabib kerajaan untuk melakukan seluruh metode pengobatan. Aku tidak mau tau bagaimanapun caranya, Bhirendra harus kembali sehat seperti sedia kala!"

Seluruh tetua aula perbintangan patuh. Mereka menundukkan tubuh dan segera membuka portal menuju pusat medis kerajaan. Dalam sekejap orang-orang itu telah menghilang bersamaan dengan satu-satunya Bhayangkara yang tersisa.

"Apa yang harus kita lakukan selanjutnya, Datok?" tanya Maharaja yang tidak bisa menyembunyikan ketegangan dan ketakutannya di depan sesepuh kerajaan. Sang Datok terlihat lebih tenang darinya namun netra abu-abu itu tidak bisa menyembunyikan kekhawatiran yang telah menyelimuti hatinya.

Datok menghela napas panjang dan bergumam, "saya akan mengunjungi alam fana terlebih dulu untuk memastikan apakah wujud batu Somo yang ada di sana masih di tempat semula atau tidak. Jika sampai benda itu pun menghilang, mau tidak mau kita harus melakukan ritual pemanggilan. Selama saya berada di sana, saya harap anda bisa mempersiapkan segala sesuatunya di sini. Entah kenapa perasaan saya kali ini benar-benar tidak nyaman." Sang Maharaja pun menganggukkan kepala tanpa memberikan sanggahan. Pemimpin kerajaan itu menurut dengan patuh apa yang di minta Datok kepadanya.

Di dunia nyata, desa Penyinggahan, beberapa fenomena aneh mulai terjadi. Tanaman para petani yang semula tumbuh begitu subur dan siap panen mendadak mati dalam kurun waktu sehari semalam. Keanehan itu membuat para penduduk terheran-heran dan menimbulkan tanda tanya besar dalam diri mereka. Tidak hanya itu, arus sungai Mahakam yang selalu tenang tiba-tiba beriak dan menyebabkan volume air meningkat secara ekstrem. Banjir melanda selama beberapa hari dan mengakibatkan aktifitas desa menjadi terhenti. Meski air sungai Mahakam kemudian surut, namun anehnya beberapa anak sungai menjadi abnormal. Air yang semula keruh kini menjadi coklat kehitaman hingga menyebabkan banyak ikan yang mati. Meski kondisi air bangar itu sering terjadi namun tidak sampai berlarut-larut seperti ini. Abnormalitas sungai terjadi lebih dari empat puluh hari dan tentu saja membuat para penduduk desa semakin merasa kewalahan.

Ketua adat desa yang di desak oleh para penduduk akhirnya pergi ke lokasi tempat batu Somo terakhir kali menampakkan diri. Tempat itu berada di dalam hutan yang cukup jauh dari pemukiman penduduk dan berjarak beberapa mil dari akses jalan utama desa. Di temani oleh beberapa para aparatur desa, sang ketua adat menyusuri jalan setapak di dalam hutan. Begitu sampai di tempat tujuan, mereka di kejutkan dengan pemandangan di depan mereka. Sebuah aktifitas penambangan batubara dari perusahaan Jaya Coal telah menggarap habis hutan tersebut tanpa pernah memberitahu kepada pihak desa Penyinggahan. Lahan yang terbuka itu tampak sangat baru dengan beberapa alat berat yang belum aktif sepenuhnya di atas tanah bebatuan yang masih basah.

Kakek Upa memejamkan mata dan berusaha mencari keberadaan batu Somo dengan mata batinnya namun eksistensi dari benda keramat itu tak kunjung terdeteksi. Tampaknya batu Somo memang telah menghilang dari tempat itu. "Pantas saja situasi dan kondisi desa kita dalam beberapa bulan terakhir ini tidak begitu baik, ternyata batu Somo memang sudah tidak ada dari tempatnya."

Dua rekan paruh baya yang ada di samping Kakek Upa pun refleks menoleh. Mereka sama-sama menelan saliva dan terlihat gugup bersamaan. "Bagaimana selanjutnya? Apa kita tanya langsung pada pihak perusahaan? Mereka tidak tahu jika yang mereka lakukan saat ini merupakan hal terlarang di desa kita." Ucap Pak Tatang selaku petinggi desa kepada Kakek Upa dan Pak Mahmud.

"Sebaiknya demikian, jika terus di biarkan saya khawatir apa yang selama ini saya duga akan menjadi kenyataan." Jawab Kakek Upa tanpa melepaskan pandangan dari lokasi yang telah rata dengan tanah.

Pak Mahmud selaku Camat desa pun angkat bicara, "keterlaluan! Bisa-bisanya mereka tidak melaporkan lokasi penambangan baru ini secara detail kepada pihak Kecamatan. Saya sungguh tidak menyangka jika lokasi yang mereka garap kali ini merupakan tempat penyimpanan batu Somo. Saya benar-benar minta maaf kepada pihak desa. Kali ini saya telah teledor."

Kakek Upa menghela napas panjang dan menanggapi permintaan maaf pak Mahmud dengan bijaksana, "bukan sepenuhnya salah anda. Entah mengapa saya merasa jika hilangnya batu Somo kali ini berkaitan dengan alam sebelah. Begini saja, Pak Mahmud dan Pak Tatang silakan mengkoordinasikan urusan penambangan ini dengan pihak terkait. Sedangkan saya akan melakukan ritual untuk menghubungi pihak kerajaan gaib Swastamita. Saya akan meminta penjelasan dan saran dari Datok terhadap masalah yang sedang kita hadapi ini."

Kedua pejabat desa itu pun setuju dan tidak menunda-nunda rencana. Mereka kembali dan melakukan apa yang menjadi tugas mereka masing-masing.

Next chapter