webnovel

1

~Enjoy it guys~

Laki-laki itu membuka kedua matanya dengan malas. Merutuk kenapa fajar datang lebih cepat dari perkiraannya. Ia masih tidur dua jam dan sekarang dirinya harus memulai harinya lagi. Benar-benar menyebalkan.

Hari Senin entah kenapa menjadi hari yang ia benci. Memulai kegiatan super sibuk setelah dua hari mendapat libur rasanya belum juga cukup.

Tok Tok

Suara ketukan pintu itu membuat kegiatan melipat selimutnya terhenti. Ia beranjak dari ranjangnya setelah melipat selimut yang tadi ia gunakan dan meletakkan di tepi ranjang. Melipatnya dengan benar-benar rapi.

Cklek

Ia membuka gagang pintu, membukanya sedikit lebar untuk melihat siapa yang datang ke kamarnya.

"Kenapa Bik?" Tanya laki-laki yang bernama Delfano dan biasa dipanggil Fano.

"Loh ternyata mas Fano sudah bangun. Saya tadi kesini buat bangunin mas, kirain belum bangun soalnya belum turun." Jawab Bik Tini selaku ART di rumahnya. Wanita berumur hampir kepala lima itu sudah ia kenal sejak kecil.

"Iya barusan bangun. Nanti kalau udah selesai pasti turun kok." Ucap Fano.

"Iya mas. Saya kebawah dulu ya." Pamitnya yang dibalas anggukan oleh Fano.

Ia membalikkan badannya, menutup pintu kayu berwarna putih itu lalu berjalan menuju kamar mandi. Tidak sampai 20 menit, Fano keluar dari kamar mandi dengan tubuh yang dibalut seragam sekolah lengkap dengan atributnya.

Fano berjalan dengan langkah ringan menuju cermin berukuran dirinya. Sekedar merapikan dasi yang melingkar pada leher, merapikan ikat pinggang yang belum terpasang dengan benar, atau yang lainnya.

Ting!

Suara dari handphone yang ia letakkan di atas meja belajar miliknya berbunyi. Fano mengulurkan tangannya ke benda persegi berlogo apple itu.

Alarm berisi note muncul pada layar setelah ia menyalakan handphone. Ini adalah satu dari sekian banyak hal yang ia benci. Pagi harinya selalu berawal dari hal yang tidak menyenangkan.

Pulang sekolah melakukan les Bahasa Belanda.

Setelahnya, pulang ke rumah melakukan les matematika.

Malam harinya melakukan Evaluasi mingguan.

Benar-benar buruk!

Seharusnya ia sudah terbiasa dengan serangkaian kegiatan dari pagi-malam yang sudah dijadwalkan dengan baik oleh kedua orang tuanya. Seharusnya begitu kan? Tapi entahlah, dari kecil hingga sekarang ia belum juga bisa menerima dengan hati lapang. Dirinya ingin berseru keras, menyuarakan jika ia muak dengan hal itu.

Handphonenya ia masukkan ke ransel warna hitam yang terletak di atas meja. Bahkan laki-laki itu tidak peduli jika daya baterai handphonenya belum terisi penuh. Ia memakai jaket berwarna navy yang tadi ia letakkan di atas ranjang. Setelahnya ia menyambar ransel miliknya.

Sial! Ranselnya sangat berat.

Ia menatap tumpukan 3 buku tebal yang masih harus ia bawa. Menimang-nimang sebentar apa dirinya harus membawa buku itu, mengingat ransel yang mengantung di bahunya sudah tidak cukup diisi oleh mereka.

"Bawa ajalah." Putusnya.

đŸŒ”đŸŒ”

Tangan kanannya membawa tumpukan buku itu, lalu keluar dari kamar miliknya. Melirik jam tangan yang melingkar di lengan kiri menunjukkan pukul 06.00, ia melanjutkan langkahnya menuruni tangga untuk ke meja makan.

Disana sudah ada Karel selaku papanya dan Anita mamanya. Memakan sarapan mereka dalam diam. Etika saat makan yang mereka terapkan.

"Pagi." Sapa Fano dengan menarik kursi meja makan di hadapan Anita. Menaruh ransel di kursi sebelahnya dan buku yang ia bawa di meja sebelah kanannya yang kosong.

"Pagi." Balas Anita setelah menelan makanannya. Menatap lurus ke arah anaknya yang mengambil beberapa lauk.

Lauk yang memuakkan. Sayur. Rasanya ia ingin memuntahkan makanan itu, tapi sialnya makanan serba hijau tersebut sudah terlanjur masuk ke mulutnya.

Bukan tidak bersyukur, tapi ketidak sukaannya pada sayur seakan sudah mendarah daging. Tapi ia bisa apa? Bukankah ia hanya sebagai boneka yang sudah diprogram untuk terus menuruti keinginan orang tuanya? Ya, begitulah kira-kira.

"Jangan lupa kegiatan kamu hari ini." Ucap Karel selaku kepala keluarga. Pria berwajah tegas dengan pembawaan wibawanya yang selalu berhasil membuat nyali Fano menciut.

"Iya pa." Kata Fano singkat.

Fano melanjutkan acara makannya, jam menunjukkan 06.10 Fano memutuskan untuk beranjak dari kursi.

"Aku berangkat." Pamit Fano kepada kedua orang tuanya.

"Ya. Hati-hati." Balas Anita dengan menatap punggung anaknya yang kian menjauh.

Memang hanya sebatas itu percakapan mereka. Menyedihkan.

đŸŒ”đŸŒ”

"Mas sudah siap?" Tanya Pak Eko, supir yang selalu mengantar jemput Fano yang baru saja keluar dari pintu utama.

"Iya pak." Jawab Fano dengan memasuki mobil BMW di bagian kursi penumpang disusul dengan langkah Pak Eko yang tergesa memasuki bagian kemudi.

"Mas pulang jam 2 kan?" Tanya Pak Eko di tengah perjalanan. Ia melihat kaca spion yang memantulkan aktivitas anak majikannya.

"Iya." Jawab Fano tanpa mengalihkan pandangannya pada kamus Bahasa Belanda.

Seingatnya, guru les yang mengajar Bahasa Belanda itu akan melakukan ulangan pada pertemuan kali ini. Ia harus mendapat nilai sempurna.

"Nanti saya jemput setengah jam sebelum bel ya." Ijin Pak Eko.

"Iya." Balas Fano dengan menutup kamusnya lalu memasukkan pada ransel saat mobil sudah mendekati kawasan sekolahnya.

"Hati-hati pak." Ucap Fano sesaat sebelum membuka pintu penumpang.

"Iya mas." Sahut Pak Eko tersenyum.

đŸŒ”đŸŒ”

Fano berjalan di koridor SMA Yolanda. Jam menunjukkan pukul 6.30. Baru menyadari jika perjalanan kesekolahnya memakan 20 menit yang biasanya 30 menit.

Ia membuka pintu bertuliskan Ruang Osis dengan pelan. Masuk kedalam dan tidak lupa menutupnya kembali.

Jika kalian berfikir Fano adalah Ketua Osis jawabannya adalah tidak. Ia hanya Wakil Ketua Osis. Terlalu banyak beban jika ia mengambil posisi itu.

"Baru dateng?" Ucap seorang laki-laki yang menatap Fano berjalan kearahnya.

Dia Abay, Ketua Osis SMA Yolanda kelas 11 yang menjadi salah satu most wanted di sekolah itu.

"Iya bang." Balas Fano dengan membuka ransel miliknya.

"Ini beberapa rencana gua kedepan. Kalau lu terima, gua bawa ini ke KepSek dua hari setelah persetujuan dari lu." Jelas Fano dengan mengambil kertas dari mapnya.

Ada beberapa kertas hvs yang hampir kusut, terdapat beberapa goresan tinta dan gambaran sekilas sebagai sketsa. Rencana untuk serangkai kegiatan di sekolahnya.

"Thanks ya." Ucap Abay dengan mengambil map yang diberikan oleh Fano.

"Kalau ada kesalahan cepet kabari gua. Biar gua bisa revisi secepatnya." Lanjut Fano dengan menutup ranselnya lalu menggendong pada kedua bahu.

"Siap." Balas Abay singkat dengan menyimpan map itu pada rak meja miliknya.

"Gua duluan bang." Pamit Fano dengan berjalan menuju pintu.

"Ya." Sahut Abay.

đŸŒ”đŸŒ”

Fano melanjutkan langkahnya untuk ke kelas. X IPA 1 menjadi tujuannya saat ini. Ia menaikkan kembali tumpukan buku yang ia bawa pada lengan kirinya. Tiga buku dengan total tebal 15 cm, sukses membuat lengannya kesemutan setelah lama membawa buku itu.

Suasana kelas yang ricuh membuat alis laki-laki itu terangkat. Ia melirik ke jam tangan miliknya menunjukkan pukul 06.40, masih ada waktu lima menit sebelum bel berbunyi. Kenapa teman-temannya sangat ribut?

"Ada apa kok ribut?" Tanya Fano kepada teman sebangkunya, Sapta.

"Lu lupa kalau tugas Fisika dikumpul hari ini?" Tanya Sapta dengan pandangan yang sibuk pada buku sedangkan tangannya tetap menulis pada buku lain.

"Tugas Bu Dini?" Tanya Fano memastikan.

"Iya." Jawab Sapta seadanya.

Tolong ingatkan Sapta untuk melakban mulut temannya yang suka bertanya itu. Ia sedang menyontek! Jika ia menanggapi pertanyaan dari Fano bisa-bisa tugas Fisikanya tidak akan selesai!

"Lu udah?" Tanya Sapta sepuluh menit setelahnya.

"Udah." Jawab Fano mengangguk.

"Seperti apa yang diharapkan oleh Delfano." Ucap Sapta dengan bibir terangkat.

Ting!

Suara notifikasi dari handphone yang beberapa saat lalu ia keluarkan dari ransel berbunyi. Ia mengulurkan tangannya untuk mengambil benda persegi itu.

Pesan pop up dari Abay menjadi urutan nomor satu dalam aplikasi chatnya.

"Pulang sekolah ada rapat Osis. Gua harap lu bisa dateng, lu udah absen tiga kali Fan."

Pesan singkat itu ia baca dengan cepat. Fano mengigit bibir merah rekahnya, tanda jika ia sedang gundah.

Tangannya mengetik pada keyboard dengan cepat. Setelahnya ia menekan tombol send setelah pesan yang ia ketik sudah benar.

"Gua usahain bang."

Seperti itu balasan yang Fano kirimkan pada Abay.

Ia segera mengetik pesan kembali pada keyboard ke orang yang berbeda.

"Pa, aku nanti ada rapat Osis sepulang sekolah. Kalau lesnya diundur sekitar satu jam, boleh?"

Pesan itu ia kirimkan kepada papanya, Karel. Jantungnya seakan sehabis diajak lari marathon, berdetak cepat tanpa sebab.

"Semoga dapet ijin." Gumam Fano dalam hati.

Ia bimbang. Satu sisi ia tidak ingin mengecewakan temannya tapi sisi lain, ia juga takut jika terkena pelampiasan amarah dari papanya.

Perlu diingat jika Karel adalah sosok perfeksionis yang menuntut kesempurnaan dan sosok yang mengatur semua anggota keluarganya dengan segala peraturan.

Lantas ia harus apa?

-

Salam RyndđŸ–€

Next chapter