8 Siasat Rendra

Alfarendra POV

Hari ini aku mencoba berbaik hati pada gadis itu, aku ingin melihat sejauh mana sikap polosnya akan bertahan. Kata orang mereka yang bermuka dua akan menunjukkan sikap aslinya ketika kita memberi celah. Sedikit saja ia merasa di atas angin pasti topengnya akan terbuka.

Sialnya baru aku memulai rencanaku, Mama datang ke apartemen kami. Pagi tadi kuantarkan sarapan untuknya, dia lucu sekali dengan wajah terkejut dan bingung, sampai menepuk pipi saking tidak percayanya dengan tindakan yang aku lakukan. Saat Naura pergi ke kamar mandi, aku melangkah keluar dan saat itulah Mama datang, dengan terpaksa aku masuk lagi ke kamar karena Mama memintaku menunjukkan bahwa kami memang tidur di kamar yang sama. Dia melongok isi lemari dan syukurlah karena semalam aku menyimpan sebagian baju-bajuku di lemari miliknya. Setelah Mama keluar kamar dia justru memintaku tetap menunggu Naura di sana.

Ah benar-benar sial karena lagi-lagi aku harus mendapatinya berpakaian minim, jika kemarin memakai baju tidur kali ini lebih parah.

"Bathrobe!!" pekikku hanya bisa dalam hati.

Kebayang kan gimana seksinya tuh cewek.

Aku sampai buru-buru keluar sebelum khilaf. Apalagi saat dia membuka handuk di kepalanya, rambut basahnya yang terekspos membuat Naura semakin terlihat cantik.

Alfarendra sadar! Sisi hatiku mengingatkan. Dia di beli jadi dia cuma mainan. Cuma mainan!

***

Kami sudah berada di dalam satu mobil, Mama memintaku mengantarnya belanja kebutuhan rumah. Aku terpaksa mengiyakan sebelum Mama menceramahiku atau lebih parah lagi jika dia memukulku. Kita lihat apa saja yang akan dia beli di sana. Bayanganku dia hanya akan membeli kebutuhan pribadinya saja.

Dengan yakin dan semangat gadis itu melangkah masuk ke sebuah mall. Aku mengikutinya dari belakang. Aku lihat dia mengambil troli, mendorongnya lincah ke sana kemari. Dia mulai memilah-milah bahan makanan, dari mulai berbagai bahan masakan, bumbu, hingga sayuran. Inisiatifku membantunya mendorong troli yang hampir setengah penuh itu.

Dia langsung membeli semua ini? Tidak mengajakku naik ke lantai atas, ada banyak pakaian, tas dan sepatu mahal di sana. Biasanya Aleta selalu memintaku membelikan semua itu, setiap datang ke tempat ini. Tapi, dia tidak? Mungkin belum. Batinku.

Kembali aku mendorong troli itu mengikutinya.

"Kau suka ini?" tunjuknya menawariku sayuran yang entah apa namanya aku tidak tahu. Yang pasti aku hanya mengangguk.

Dia membeli semua ini seperti hendak membuka sebuah restoran.

"Naura," panggilku sebelum gadis itu bergerak lagi.

"Ya!" Dia menoleh.

"Kau, mau buka warung makan, ya? Belanja sayuran sebanyak ini." Mataku mengedar melihat banyaknya barang belanjaan kami.

"Lho, uangnya kurang, ya? Aku kebanyakan, ya, belanjanya? Kalo gitu harus ada yang di cancel."

Respon dia tidak sesuai dengan apa yang kupikirkan. Aku kira dia hanya akan tertawa. Dia malah panik takut tidak terbayar.

"Bukan! Ya kali gak kebayar, kalo kamu mau sama gedung-gedungnya aku bayarin." Tantang-ku mengentengkan.

Dia tersenyum,"Kirain, takut gak ke bayar. Ini bahan makanan kira-kira seminggu lah, eum ... biar kita gak usah sering-sering ke mall nya, ngirit ongkos plus takut kamunya sibuk gak bisa anter aku, iya kan?"

Dia mengatakan itu, sumpah demi apa pun ucapannya jauh dari apa yang aku perkirakan.

Apa gue beneran udah salah nilai nih cewek, ya? Atau bener apa yang dibilang Bima kalau ini cewek baik banget. Ah gue gak boleh terkecoh.

"Oh gitu, ya? Tapi, kamu kan bisa ke tempat ini sendiri, gak jauh dari apartemen juga 'kan?"

Aku mengikutinya lagi, dia sedang memilah-milah buah segar.

"Aku mana berani ke mall sendiri. Tempat ini terlalu gede takut nyasar," kekehnya pelan.

Ya, aku baru lihat dia tertawa, tadi dia tersenyum manis dan sekarang tertawa. Tanpa sadar aku pun ikut terkekeh bersamanya.

"Kau suka?" Lagi dia menawariku, kali ini buah apel merah, aku menggelengkan kepala, "Terus apa?"

"Itu aja," tunjukku meminta buah pir hijau.

"Ini?" Aku mengangguk.

Aku memerhatikannya, semua tingkahnya, tanpa berpikir ulang aku merogoh saku celanaku. Kuraih benda pipih itu dan kuarahkan pada Naura, kamera belakang dari ponselku sangat jernih. Ditambah pula menangkap objek yang luar biasa indah.

Indah? Apa aku baru saja mengakui sesuatu. Naura yang mamakai kaos pendek berwarna putih dan rok warna cream sebatas lutut itu nampak seksi. Dengan bokong padat berisi. Bagian dadanya apalagi, menonjol ke depan. Pikiran liarku berlarian hanya dengan melihatnya seperti itu.

Semakin terlihat seksi lagi ketika dia berjinjit hendak mengambil buah anggur yang diletakkan di bagian atas rak buah-buahan itu.

Aku sempat mengabadikan momen itu sebelum membantunya mengambilkan buah apa saja yang ada di atas.

"Makanya tumbuh tuh ke atas," ledekku sambil tertawa. Dia yang tadi berjinjit tersentak kaget saat tiba-tiba aku berdiri di sampingnya. Dia hampir terjengkang ke belakang untung saja aku sigap menahan pinggangnya.

Dan, ya, kecanggungan di antara kami pun tercipta. Cukup lama aku menahan tubuhnya dengan sebelah tanganku, berlama-lama saling menatap. Tangan Naura berada tepat di dadaku. Mungkin jika dia peka, dia bisa merasakan detak jantungku yang memacu lebih cepat. Sampai akhirnya suara deheman menyadarkan kami.

Aku dan Naura sama-sama menoleh ke arah sumber suara itu. Ada seorang ibu-ibu di samping kami dialah yang berdehem tadi.

"Maaf ya, Ibu ganggu," cengirnya. "Ibu mau ambil itu." Telunjuknya terangkat mengarah pada buah kiwi yang berada tepat di samping buah anggur.

Akhirnya aku pun berinisiatif mengambilkannya.

Setelah ibu itu pergi, Naura nampak gugup dan salah tingkah. Beberapa kali ia membenarkan posisi anak rambutnya yang berantakan sambil tersenyum kikuk.

"Kita udah kan belanjanya, apa masih ada yang kurang? Kau tidak mau sesuatu?" tanyanya membuka kembali pembicaraan.

"Tidak, eh sebentar aku mau ini." Aku pun mengambil buah yang aku inginkan, sama seperti si ibu tadi, kiwi. Naura menerimanya dan memasukan itu ke dalam troli.

Kami pun berjalan berdampingan menuju kasir. Aneka macam buah dan sayur. Bahan makanan lain sampai daging dan telur, juga roti dan selainya lengkap Naura beli hari ini. Tidak ada kebutuhan pribadinya di sana. Dia tidak membutuhkan apa pun atau ....

Setelah semua terbayar dan tiga kantong besar memenuhi troli, Naura mengajakku pulang.

Dia langsung mengajak pulang?

"Ra."

"Ya!" Dia menoleh.

"Yakin mau langsung pulang?" tanyaku.

"Iya, memangnya?" Gadis itu balik bertanya.

"Gak mau jalan-jalan dulu gituh, mumpung di sini. Kamu gak mau naik ke atas?" Aku menunjuk lantai bagian atas dari mall  besar ini.

"Eum ... enggak ah, ngapain?"

Ngapain dia bilang?

"Ke sana sebentar, yuk!" Sengaja aku mengajaknya, ingin lihat bagaimana reaksinya ketika melihat barang-barang mahal berjejer di sana. Tidak mungkin dia tidak tertarik barang satu benda pun.

"Belanjaannya bagaimana?" Dia malah memikirkan barang belanjaan.

"Kita titip di sini." Aku mendorong troli menuju tempat penitipan barang, lalu kembali ke tempat di mana Naura menungguku, setelah sebelumnya aku menerima kartu dari petugas mall yang akan menjaga barang belanjaannya.

"Ayo!" Aku sudah meraih jemari lentiknya, dia sempat melirik tanganku seakan tidak percaya aku menyentuhnya.

Aku tidak melepaskan genggaman tanganku meski Naura terlihat canggung. Kuajak dia berkeliling tempat itu, melihat-lihat baju dan tas. Namun, dia tak mengambil satu pun. Kuusak rambutku dengan sedikit gemas, kapan dia akan menghilangkan semua kepura-puraannya.

"Kau suka? Ambillah!" Baru saja Naura menyentuh sesuatu.

"Ini?" Dia menggeleng cepat, "Tidak!"

Aku tergelak, apa yamg dia sentuh sambil bergidik dan dahi mengkerut itu sebuah lingerie.

"Kain tipis seperti ini saja harganya mahal sekali, mending aku beli kaos sama celana trening bisa dapet dua pasang, atau aku beli daster emak-emak biar bisa dapet empat sampe lima," gerutuannya semakin membuatku tergelak.

Sudah cukup, dia memang polos. Benar-benar polos. Aku harus pikirkan siasat lain agar dia bisa menunjukkan sikap aslinya.

Tapi, siasat apa yang tepat?

***

Berikan cinta kalian untuk Author, dengan klik bintang agar tetap bersinar.

Terima kasih 🙏

avataravatar