2 Awal mula kesepakatan

  Pertemuan kami dengan wanita bernama Yuli yang tak lain adalah sahabat masa lalu ibuku

membuahkan satu kesepakatan di luar nalarku. Bagaimana mungkin aku setuju begitu saja ketika tante Yuli menawariku sesuatu yang tidak aku inginkan.

Menikah? Dengan laki-laki yang belum pernah aku temui sebelumnya. Entah dia seperti apa. Ibunya memang baik akan tetapi yang kudengar kemarin anak pertamanya itu susah di atur. Atau Anak keduanya, tidak mungkin juga aku menikahi seorang duda, meski dia masih muda sekalipun. Lintasan pemikiran merecoki setiap sudut kepalaku. Rasanya aku mulai pening memikirkan semua kemungkinan yang akan terjadi.

Aku harus apa sekarang? Dokter mengatakan jika ayahku harus segera di operasi. Secepatnya! Atau kalau tidak nyawanya tidak akan tertolong.

250 juta uang yang harus aku bayar demi menyelamatkannya.

Darimana uang sebanyak itu sedangkan satu persennya pun aku tidak punya.

Kulihat kembali selembar kertas kecil di genggaman tanganku .

Kertas yang sedikit tebal menyerupai Kartu Tanda Pengenal atau biasa disebut KTP.

Tertera nama, alamat serta nomor ponsel di sana. Sebuah kartu nama berwarna putih dengan logo bintang berwarna merah blur di sudut kanan atasnya.Kartu yang menampilkan satu nama yaitu nama Nyonya Yuli Mahardika Wijaya.

Istri pengusaha kaya raya sekelas Mahardika Wijaya.

   "Simpan ini, hubungi Tante jika kau berubah pikiran. Ingat ayahmu menunggu keputusanmu, Nak!" Itu yang beliau katakan kemarin sebelum pulang.

Apa itu? Membantu tetapi tidak ikhlas, mengharap imbalan dariku, begitukah?

Ya memang, mana ada orang baik di dunia ini yang mau memberi uang sebesar itu secara cuma-cuma.

Kalaupun ada, tidak lebih mengharapkan timbal baliknya, benarkan?

Imbalan.

   "Aku tidak mau bu!" sentakku pada ibu ketika ibu lagi-lagi menanyakan apa keputusanku.

   "Tapi aku tidak akan bahagia, apa ibu mau melihatku menderita di sana?"

   "Ayahmu." Ibu hanya mampu mengeluarkan suara lirihnya tanpa menjawab pertanyaanku.

Bagaimanapun ia tahu itu hak ku, aku mau atau tidak itu keputusanku. Walaupun saat melihat ayah yang sekarang harus berjuang melawan kesakitan aku juga merasa bingung.

***

Entah sudah berapa kali aku bolak balik menengok keadaan ayah dari balik pintu kaca. Aku tidak bisa masuk karena dokter masih terus berusaha mendeteksi detak jantung ayah.

Berkali-kali kulihat dokter perempuan itu melirik jam tangan lalu menatap layar kotak di samping ayah bergantian. Memperhitungkan denyut jantung ayah permenitnya.

Masih normal kah?

Ya Allah haruskah aku rela menyerahkan diriku sebagai penebus demi mendapatkan uang. Serendah itukah harga diriku?

Belum habis pikiranku tentang kondisi ayah, dokter keluar bersamaan dengan datangnya tante Yuli. Dokter itu mengatakan jika ayah sudah benar-benar harus mendapatkan tindakan.

Aku memutuskan menyetujui bantuan dari kesepakatan yang ditawarkan tante Yuli. Karena itulah dia datang. Aku memutuskan menelponnya tadi.

   "Sayang tante bukannya pamrih loh, tapi melihatmu tante yakin seratus persen kamu pilihan terbaik untuk Rendra anak tante," katanya sembari mengusap lembut puncak kepalaku.

    "Tante sudah bicarakan ini dengan anak tante?" tanyaku memastikan terlebih dahulu mengenai rencana ini pada putra tante Yuli yang nantinya akan menjadi suamiku.

   "Belum tapi segera. Tenang saja Rendra pasti setuju. Satu lagi kau tidak perlu terburu-buru,biarkan ayahmu pulih dulu. Tante tidak akan mendesakmu. Temuilah Rendra dulu baru setelah itu kita bicarakan masalah lamaran kalian." Selanjutnya tante Yuli nampak berbincang serius dengan ibu. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan, bagiku kini hanya fokus demi kesembuhan ayah. Soal kesepakatan ini biarlah aku yang menanggung resikonya kelak. Semoga saja laki-laki yang akan menikahi-ku itu sebaik dan selembut ibunya.

"Sudahlah mungkin ini yang terbaik, semoga saja.

Yang terpenting ayahku sembuh dulu.Toh sepertinya aku bakal mendapatkan ibu mertua yang baik hati,itukan yang diimpikan para gadis lajang seperti ku, kan.

Mengingat banyak rumor mengatakan jika ibu mertua itu seperti ibu tiri yang kejam," batinku.

Namun, rumor itu hanya ada dalam sinetron, kenyataannya mungkin tidak ada.

Usia ku sekarang 24 tahun. Sementara Rendra, kudengar dia sudah berusia 28 tahun pantas saja jika ibunya itu ngebet pengen cepet-cepet anak sulungnya itu menikah. Sudah dilangkahi oleh adiknya yang menikah muda pasca lulus kuliah. Namun, kudengar pernikahannya gagal.

***

  Hari ini jadwal operasi ayah, aku sudah duduk bersama ibuku sebelum ayah masuk ruang operasi.

Tak henti memanjatkan do'a terbaik untuk kelancaran operasi jantung yang akan ayahku jalani.

Sudah 3 tahun dia menderita penyakit itu, berbagai penyakit lainnya pun berdatangan. Lambung dan darah tinggi. Mungkin semua itu karena ayah terus memikirkan keberadaan kak Rama dan kak Raditya.

Mereka itu benar-benar tidak bisa di andalkan sebagai anak. Sekedar menengok ayah saja tidak ada waktu.

Sepenting apa pekerjaannya.

Dasar kakak kurang ajar!

Bukannya melindungi adik perempuannya malah membiarkan aku dibeli orang kaya untuk dijadikan menantu.

Aneh-aneh saja,bukan. Menantu dibeli.

Sebentar lagi ngebet pengen punya cucu juga bisa beli di toko sebelah.

Aku mulai tidak sabar menunggu jalannya operasi. Aku sudah berapa kali ke toilet demi mengusir kegelisahan.

Aku sudah ke mushola, sholat dan berdo'a di sana.

Yang tidak aku lakukan hanya makan, entahlah nafsu makan ku hilang .

Hanya ibuku saja yang kupaksa untuk menyuapkan sesendok bubur, sesendok yang hampir tandas separuh mangkok. Kalau sudah aku yang memaksa, beliau tidak pernah bisa menolak.

   "Aku tidak mau ibu sakit. Kalau ibu tidak makan nanti ibu masuk angin. Siapa yang sedih? Siapa yang repot? Naura juga, kan? Ayah saja masih belom pulih. Memangnya ibu mau menambah rasa khawatir dan bebanku, tidak kan? Aku sudah menuruti ibu. Aku mau menikah dengan anak Tante Yuli. Jadi ibu makan ya.Please!" Hanya sekedar bujukan, tidak ada yang serius di balik ucapanku.

Aku tidak pernah merasa direpotkan sama sekali. Tidak.

Alhamdulillah setelah selang 5 jam lamanya operasi berlangsung akhirnya dokter pun keluar ruangan. Menyatakan jika operasinya berjalan dengan lancar. Bersyukur ayah sudah berhasil melewati masa kritisnya.

Aku pun bisa bernafas lega, ibu juga, ia tak henti mengucap syukur. Senyum tante Yuli juga berkembang di bibirnya terlihat amat tulus.

    "Syukurlah semuanya lancar." Tante Yuli mengusap pundak dokter yang menangani operasi ayah.

Hah siapa dia, siapa dokter itu? Apa tante Yuli mengenalnya?

   "Tante pulang dulu ya sayang. Kamu baik-baik di sini. Jaga ayahmu!" ucapnya kembali mengusap puncak kepalaku.

   "Aku pamit Anita. Berdo'a saja semoga kita secepatnya jadi besanan." Tante Yuli tersenyum menggoda, disambut kekehan ibu yang juga menyikut lengan. Menggoda-ku.

Sedangkan aku, aku hanya bisa memaksakan senyumku. Aku menghembuskan nafas berat seiring kepergian tante Yuli yang meninggakan kami berdua di ruang ICU rumah sakit xx.

***

Dua minggu kemudian ayahku pulih. Beliau pun sudah diperbolehkan pulang oleh dokter sore ini.

Kami tidak punya tempat tinggal di kota ini hingga aku berencana menyewa rumah sampai hari pertunanganku resmi ditentukan.

Namun, nasib berkata lain. Semuanya batal lantaran seminggu lalu Rendra kabur keluar negri menyusul kekasihnya, begitu ibunya memberitahukan rencananya menjodohkan dia denganku.

Aku merasa sedikit lega, ternyata Tuhan masih menyayangi ku dari kesepakatan bodoh ini.

Walaupun di sisi lain aku juga harus mulai berfikir bagaimana caranya mengembalikan uang tante Yuli yang aku pakai untuk biaya operasi jantung ayah.

Uang yang jumlahnya tak main -main itu, bagaimana mengembalikannya? Mungkin butuh waktu seumur hidupku untuk bisa melunasi semuanya.

Belum rencanaku terealisasi, tante Yuli sudah kembali memberi kabar jika tiba-tiba saja Rendra kembali dan setuju dengan rencananya.

Hah kenapa ini, kenapa dia setuju?

Harusnya dia tetap di luar negri saja jangan pulang-pulang, kalau perlu menikah dengan kekasihnya itu.

avataravatar
Next chapter