webnovel

Pengorbanan

"Allea, kondisi kesehatan Ibumu semakin hari semakin memburuk, harus segera dilakukan operasi transplantasi jantung," kata seorang Dokter yang hampir dua tahun ini merawat ibu gadis itu. "Kalau tidak..."

Allea menatap Dokter Sean dengan mata berkaca-kaca. "Ka.. kalau tidak kenapa, Dok?"

"Maaf aku harus mengatakan kenyataan pahit ini padamu tetapi kau memang harus mengetahuinya, Lea." ujar Dokter Sean sendu.

"Sebenarnya kenapa dengan Ibu saya Dok?"

Dokter Sean mengambil napas sejenak. "Kemungkinan terburuk, Ibumu tidak akan bisa bertahan lebih lama lagi."

Tubuh Allea bergetar, ia tertunduk kaku menatap lututnya sendiri. Jari-jemarinya meremas sebagian rok panjang yang dipakainya saat ini, mata yang tadinya jernih berubah memerah dan dalam hitungan detik air bening terus mengalir membasahi pipinya.

Leher Allea seperti tercekik bahkan ia susah sekali untuk menghirup oksigen, Allea merasa dunianya akan hancur berkeping-keping.

"To.. tolong selamatkan Ibu saya, Dok."

Dokter Sean memberikan sebuah sapu tangan miliknya kepada Allea. "Maaf Lea, aku tidak bisa menjamin kehidupan orang tapi aku akan berusaha semampuku. "

"Terima kasih Dok." jawab Allea sesenggukan. "Ja.. Jadi berapa total biaya operasi untuk Ibu saya?"

Dokter Sean menggeleng kecil. "Aku tidak mengetahuinya, tapi aku pernah mendengar dari perbincangan para perawat, sepertinya sekitar 19,96 miliar," jawabnya ragu-ragu.

Tubuh Allea mendadak lemas, otot dan persendiannya seakan mati rasa. Harus dapat uang sebanyak itu dari mana? Ia tidak bisa berpikir logis, yang ada di otak Allea sekarang hanya mendapatkan uang sebanyak-banyaknya untuk kesembuhan sang Ibu.

"Sa.. saya akan berusaha dan sesegera mungkin mengumpulkan biayanya Dok, jadi... jadi tolong jaga dan perhatikan ibu saya lebih ekstra lagi," pinta Allea memohon.

"Baiklah Allea, pihak rumah sakit juga akan mencarikan pendonor yang benar-benar cocok untuk jantung Ibumu."

"Terima kasih, Dok. Terima kasih banyak sudah merawat Ibu saya."

Dokter Sean hanya mengangguk dengan senyum miris, sebenarnya ia sangat kasihan kepada Allea. Kebanyakan gadis seumurannya masih bersenang-senang dan bermain bersama teman-temannya di mall atau nongkrong di tempat-tempat favorite tetapi gadis itu justru harus banting tulang demi kesehatan Ibunya.

"Kau harus kuat Lea," ucap Dokter Sean menyemangati.

"Iya Dok, sekali lagi terima kasih," balas Allea sambil berdiri dari tempat duduknya. "Kalau begitu saya permisi."

"Hati-hati, Lea."

Allea berjalan gontai melewati koridor rumah sakit, ia bahkan tak memedulikan orang-orang yang sedari tadi memperhatikan dirinya. Tatapan mata Allea kosong, ia berusaha menahan lelehan air matanya agar tidak keluar lagi.

"Jangan cuma nangis Allea, carilah cara mendapatkan uang sebanyak itu. Menangis tidak akan menyelesaikan masalah!" batin Allea berkecamuk.

"Iya, aku tidak boleh menyerah."

-------------------------------------------

Allea masih mematung di depan kaca, menatap pantulan dirinya yang sangat menjijikkan.

Apakah ia harus seperti ini, dengan pakaian mini berwarna merah darah yang memperlihatkan lekuk tubuhnya, rambut lurus yang dibiarkan terurai, ditambah riasan wajah yang terlihat sexy serta mempertontonkan bagian asetnya yang sangat menggoda.

Dapat dipastikan mata kaum adam manapun akan berfokus pada kecantikan dan kemolekan tubuh Allea.

"Bun, maafin Lea." kata Allea lirih sambil membayangkan Ibunya yang sedang terbaring di rumah sakit. "Aku tidak punya pilihan lain."

Dengan berat hati Allea keluar dari kontrakan kecilnya, tak lupa mengenakan long Coat untuk menutupi tubuhnya terlebih dahulu sebelum sampai ke tempat yang akan ia tujuh.

Allea memperhentikan taksi, tak butuh waktu lama ia sampai di tempat kerjanya karena jalan memang terbilang cukup sepi. Jelas saja, untuk orang normal jam 23:00 adalah waktu yang tepat untuk menjelajah alam mimpi tetapi tidak untuk dirinya. Allea justru akan mulai bekerja jam segini.

"Terimakasih pak."

Allea turun dari taksi, hils dengan ketinggian 5 cm membuatnya terlihat sangat anggun namun karena ia tidak terbiasa menggunakannya, kakinya terasa sakit.

Allea menarik nafas panjang lalu membuangnya kasar, ia kembali memantapkan dirinya sebelum melangkahkan kaki masuk ke sebuah clup malam.

Skyhouse

Gedung yang dari luar kelihatan biasa saja tetapi jika sudah masuk ke dalam, mata siapa pun akan langsung terpukau dan termanjakan oleh interior yang sangat mewah serta para penghuni di dalamnya juga tidak main-main.

Sebenarnya Allea sudah terbiasa dengan tempat ini karena dirinya memang sudah bekerja hampir satu tahun sebagai pelayan tetapi kali ini berbeda, Allea akan menemani para pemuda-pemuda yang sedang minum.

"Alle," panggil Claudia sambil menghampiri Allea. Perempuan itu mengamati Allea dari ujung kaki sampai ujung kepala lalu tersenyum tipis. "Aku tidak menyangka kau punya tubuh seindah ini, kenapa tidak dari dulu kau meminta padaku. Kau tidak akan kesusahan dan kecapaian dengan hanya menjadi pengantar minuman."

Allea hanya tersenyum dipaksakan mendengar pernyataan Claudia, manager yang mengelola tempat ini.

"Kita ke lantai dua saja, aku akan memperkenalkanmu pada kalangan atas," ajak Claudia.

Allea masih enggan tetapi Claudia berhasil menyeretnya ke sebuah ruangan yang dia tahu adalah ruangan paling istimewa karena tak semua orang bisa memasukinya.

Ruangan itu dikhususkan untuk para pemuda yang mempunyai kartu hitam yang artinya khusus tamu VVIP dan hanya pelayan-pelayan terpilihlah yang dapat bekerja di tempat itu serta ada banyak perempuan penggoda yang siap menemani Tuannya.

"Permisi Tuan-Tuan, aku membawa teman baru," ujar Claudia sambil mendorong tubuh Allea.

Semua mata tertuju pada Allea.

"Ternyata kau cukup berbakat untuk menyenangkan kami Clau," kata seorang pemuda yang sedang duduk ditemani perempuan berpakaian tak kalah seksi dari Allea. "Siapa namanya?"

Claudia menyenggol lengan Allea untuk memberikan isyarat agar dirinya memperkenalkan diri. "Na.. Nama saya All..Allea, Tuan?"

"Kau gagu?" timpal pemuda lain.

"Hahahahha..."

Gelak tawa pun terdengar bersahut-sahutan. Semua yang berada di ruangan itu tertawa terbahak-bahak menertawakan Allea. Ia ingin menangis dan kabur dari ruangan ini tetapi jika Allea teringat biaya rumah sakit ia kembali mengurungkan niatnya.

Ini adalah jalan satu-satunya untuk mendapatkan uang dengan cepat, Allea hanya akan duduk di samping pemuda kaya untuk menemaninya minum. Iya, tidak apa-apa Allea.

"Apa mungkin ini pertama kalinya untukmu?"

Allea masih menutup mulutnya rapat-rapat, hingga Claudia lah yang mengambil inisiatif untuk menjawab pertanyaan itu. "Benar Tuan, ini pertama kali untuk Allea."

Senyum evil pun bermunculan, dapat ditebak apa yang sedang dipikirkan para pemuda itu. Pasti mereka menginginkan Allea untuk menemaninya, tetapi mereka tidak akan berani mengambil langkah awal sebelum Galang, calon pewaris perusahaan Draga tidak menginginkan gadis itu.

Sayang seribu sayang harapan para pemuda pun luntur karena Galang mengulurkan tangannya sebagai tanda agar Allea datang mendekat.

"Kau jangan sampai mempermalukanku, aku sudah berbaik hati menaikkan gajimu tiga kali lipat dari sebelumnya," bisik Claudia memperingati.

"Aku hanya akan menemaninya duduk, bukan?" tanya Allea takut.

Claudia tersenyum kecut. "Mungkin. Kau bahkan sudah berhasil menangkap mangsa besar Allea, jangan sampai kau membuangnya. Apa yang kau inginkan bisa kau dapatkan dengan mudah kalau kau membuat tuan Galang senang. Cepat ke sana, jangan membuatnya menunggumu terlalu lama."

Allea berjalan mendekat, melewati jejeran orang-orang yang terus memperhatikannya. Allea menerima uluran tangan Galang lantas duduk di samping pemuda itu dengan sangat menempel.

"Tuangkan lah minuman untukku, sayang," pinta Galang pada Allea.

"Baik Tuan," jawab Allea lantas mengambil sebotol wine yang bertuliskan chateau lafite kemudian dituangkan dengan sangat angun pada gelas khusus.

Allea menyerahkan minuman itu pada Galang dan sebaliknya Galang juga menyerahkan segelas cocktail pada Allea.

"Mari semua bersulam untuk menyambut bergabungnya Allea," ujar Galang sambil mengangkat gelasnya tinggi-tinggi.

"Chers," jawab mereka serempak.

Allea masih memperhatikan gelasnya, selama ini meskipun ia bekerja di clup malam tetapi dirinya belum pernah meminum alkohol meskipun hanya setetes.

Mata Allea menjelajah semua orang yang sedang memperhatikannya termasuk Galang, sorot matanya menunjukkan kalau Allea harus meminumnya segera.

"Untuk biaya pengobatan Ibu, apapun akan kulakukan!"

Glek.. Glek.. Glek..

Minuman itu berhasil masuk melewati tenggorokan Allea sekali teguk, rasanya pahit. Allea ingin muntah.

"Bagaimana rasanya?" tanya Galang sambil memeluk pinggang ramping milik Allea.

"Alkoholnya terlalu kuat, kepalaku pusing."

"Sabar sayang, sebentar lagi kau akan menikmati permainannya."

Perut Allea seperti diaduk-aduk, kepalanya berputar-putar seperti habis naik roller coester. Allea benar-benar tidak bisa menahannya lagi, ia ingin mengeluarkan isi perutnya.

"Mohon maaf Tuan," seru Allea sambil berdiri kemudian berlari dengan tubuh sempoyongan menuju pintu keluar tanpa Galang sempat mencegahnya.

"Cepat kejar, jangan biarkan dia sampai lolos!" perintah Galang emosi.

Allea masih bisa berlari walaupun kepalanya terasa sangat berat.

Sebentar lagi...

Sebentar lagi Allea bisa kabur. Dua meter lagi ada pintu yang terbuka sedikit, Allea akan bersembunyi disana.

Brak...

"Untunglah aku tidak tertangkap!" ujar Allea lega.

Sedangkan pengawal di luar ruangan tengah kalang kabut.

"Brengs*k, kita bisa babak belur sama Tuan Galang!"

"Kita bahkan bakal mati kalau sampai berani masuk ke ruangan itu demi menangkapnya!"

"Sudahlah, kita terima nasib saja. Ayo pergi, sebelum pemilik kamar datang."

Ruangan yang menjadi tempat persembunyian Allea begitu gelap, ia berjalan sambil meraba-raba. Tangannya tanpa sengaja memegang sesuatu yang sangat lembut dan empuk. Ranjang, pikir Allea.

"Aku akan beristirahat di sini sebentar,"

Tak butuh waktu lama Allea sudah terbang ke alam mimpi sedangkan di luar ruangan, seorang pemuda telah berjalan menuju kamar yang memang dikhususkan untuk dirinya karena malam ini ia tidak berkeinginan pulang ke rumah.

"Tuan, kamarnya sudah kami bersihkan. Silakan ditempati dengan nyaman. Jika butuh sesuatu tinggal bunyikan saja bel seperti bisa, kami akan segera melayani Anda."

Tanpa menjawab pemuda itu melangkahkan kaki panjangnya masuk ke ruangan tersebut.

"Selamat beristirahat, Tuan Fredo."