1 Kepingan Perjuangan

Pagi cerah menyambut penglihatan ku yang kian hari makin memburuk. Walaupun hanya setitik cahaya dan embun dari balik jendela rumah sakit yang menyapaku, itu tetap membuatku bersemangat untuk menjalani hidup ini.

"Mas Dimas, ayo dimakan sarapannya." seorang perawat cantik bernada manis masuk ke ruangan ku dengan anggun. Aku sangat menghormatinya karena ialah yang menyemangati ku untuk hidup.

"Baik mbak." Aku menerima ajakan perawat  dengan mengambil makanan tersebut dan makan cukup lahap, walaupun sebenarnya aku sudah tidak mampu merasakan apapun dengan lidahku.

Ah, sebelum aku membahas penyakit ku, kenalkan namaku adalah Dimas Saputra, lahir di Jakarta dengan keluarga yang bahagia dan penuh impian. Hingga penyakit ini menghancurkan semuanya. Aku tak tahu pasti sebenarnya penyakit apa yang menyerang tubuhku ini. Yang kutahu, ini terkait kanker dan sisa hidup ku yang kurang dari seminggu lagi.

Jujur aku takut mati, namun aku tahu takdir tidak semudah itu untuk dirubah. Oleh karena itu, kuputuskan untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat dan sangat kuinginkan semasa hidup. Tentunya dengan keterbatasan fisik ku yang makin hari kian kurus.

"Mbak ini, oh! tolong ambilkan juga buku paket bahasa Indonesia di kardus itu." Aku menyodorkan mangkuk makanan yang isinya sudah kuhabiskan dan menunjukan jariku ke arah kardus ukuran sedang yang dipenuhi tumpukan buku kelas 11 semester II.

Yap, aku sedang mempelajari buku tersebut untuk mengahadapi Ulangan Akhir Semester yang besok akan datang. Paling tidak, aku ingin menjalani sepotong dari kehidupan normal yang dulunya selalu kuanggap sepele sebelum kematian mendekapkan pelukannya kepadaku.

"Nak, kau sudah bangun?" seorang lelaki paruh baya yang memiliki ekspresi tua masuk ke kamarku dan duduk dikursi terdekat. Nadanya yang asing entah kenapa membuatku merasa sakit.

"Iya, Ayah." Aku mencoba memaksakan diri untuk tersenyum hangat kepada lelaki asing yang aslinya ialah ayah kandung ku. Namun, aku masih bersyukur ia mengunjungimu setiap bulan, walau dengan membawa raut muka penuh keputusasaan dan kesedihan.

Kami hanya sekedar berbasa basi sebelum ia pamit untuk Pulang, tapi aku sedikit melihat ekspresi kelegaan atas beban yang sebentar lagi akan hilang. Sekali lagi, dadaku serasa ditusuk oleh pisau tajam tak terlihat. Mengabaikan kejadian tersebut, aku mencoba untuk fokus ke dalam buku pelajaran. Dan sekali lagi, tanpa sadar aku melakukan hal yang kubenci. Melarikan diri dari kenyataan.

Tiba pada waktunya ujian telah dimulai. Karena kondisi, aku melakukan ujian di Rumah sakit ditemani dengan perawat dan perwakilan dari sekolah ku. Aku berjuang dengan sungguh-sungguh. Entah berapa kali aku  memakan Pill pahit dan pereda rasa sakit agar tidak menganggu ujian ku. Pihak rumah sakit juga mendukungku diam-diam, mereka tahu aku tidak memiliki waktu yang tersisa, mungkin inilah yang mereka lakukan demi menghormati perjuangan terakhirku. Tentunya, pihak sekolah dan Rumah sakit tersentuh dengan perjuangan yang patut ku banggakan.

Namun, kian hari keadaan ku semakin memburuk. Sudah hampir satu Minggu sejak tanggal kematian yang diperkirakan oleh dokter untuk ku. Ini semua hanya karena keinginan untuk melihat hasil dari usahaku untuk terakhir kalinya. Jika tidak, sudah lama aku akan pergi  ke sisinya.

"Dimas! Rangking kelas 11 sudah dibagikan oleh pihak sekolah! Dan Peringkat yang kau dapatkan adalah.. nomor 1 seangkatan!!" Teriak Perawat yang tak pernah ku ketahui namanya itu menyodorkan sebuah kertas berisi peringkat ujian  ke hadapanku.

Aku ingin bersujud syukur atas Rahmat kasih Tuhan Yang Maha Esa.namun, apa daya, penglihatan ku mulai menggelap dan kekuatan kecil yang tersisa ditubuhku menghilang tanpa jejak. Aku tahu, ajal kemari untuk menjemputku. Tetapi, sekali lagi aku mencoba untuk memeras jejak jejak kekuatan ku yang tersisa. Ada banyak hal yang ingin kukatakan untuk semua orang. Entah itu kepada perawat cantik yang selalu menyemangati ku, atau kepada ayahku yang selalu membiayai semua kebutuhan ku tanpa berkeluh kesah, dan tentunya juga kepada kematian yang mau menunggu ku. Satu satunya hal yang mampu kukatakan hanyalah satu.

"Terima kasih"

Tubuhku terjatuh dan jiwa ku telah dipanggil ke sisinya. Meninggalkan seorang wanita yang menangisi kematian ku dan seorang pria yang terjatuh menatap sebuah bingkisan kado berpita ditangannya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

avataravatar