1 Chapter 1 - muka dibalik topeng

Air mata langit memenuhi kaca mobilku. Tapi sekeras apa guyuran hujan kurasa tak ada yang bisa membandingi tangisan yang melinangi hatiku. Kalau dikeluarkan kota akan terbenam. Kalau ditelan aku akan tenggelam. Kalau dikeringkan api itu akan padam.

Jalan di depan dipenuhi oleh mobil, tetapi kedua mataku tidak bisa berpaling dari tiga kata culas itu. "Kita pisah aja." Tanpa sadar tangan kiriku yang tidak memegang setir mencengkeram iPhone putih yang terlentang di pahaku.

'Sampai dunia berakhir kuberjanji bersamamu.'

Kata - kata yang terkubur di masa lalu berbisik seakan - akan mengolok diriku. 'Berjanji bersamamu'. Kenapa? Kenapa ? Pertanyaan itu berulang berkali - kali. Seperti kawat yang melilit. Rasa sakit yang tidak dapat berhenti. Tanpa kusadari kepahitan itu berubah menjadi amarah.

Peledak yang tidak dapat ditahan. Kemana perasaan ini harus disalurkan ? Semua dinding alasan di benakku hancur satu - persatu. Hingga hanya satu hal yang dapat kuingat dalam area kecil mobil BMW itu. Aku akan membuat dia menyesal meninggalkanku.

Perjalanan ke apartemen pacar - bukan mantan pacarku Jason Cua hanya memakan 10 menit. Tetapi waktu itu terasa abadi. Hanya suara radio yang bergetar di ruangan itu menarik pikiranku dari berkelana. Atau seharusnya begitu tetapi lagu - lagu yang disiarkan hari ini hanya berbicara tentang cinta.

Pukul 17:32. Lagu "Before You Go." oleh Lewis Capaldi menyerang kupingku. Dan dalam seketika yang dapat kupikirkan hanyalah catchphrasenya. "Before you go, was there something i could have said to made your heart beat faster?"- yang berarti 'Sebelum kamu pergi apakah ada sesuatu yang dapat kukatakan untuk membuat hatimu berdetak lebih cepat?"

Eliana Whyte. Perempuan gila. Dia mencampakanmu tanpa bahkan peduli untuk menelefon dan kamu masih sebegitu bucin untuk dia ? Kumenghabiskan sisa perjalanan memaki kesetiaanku. Seperti anjing bodoh yang dibuang oleh majikanya hanya untuk kembali- tak ada yang dapat menghentikan aku muncul di depan pintunya pada hari itu. Mengemis cintanya.

Pada saat aku sampai dekat kompleks perumahan dia, [Permata berseri]- Ujung jariku yang bertengkar dengan kekerasan iPhone 10 sudah berubah warna menjadi putih dan kuku telunjukku menunjukan tanda akan patah. Menghapus tetesan air di ujung mataku, aku menghela napas dan mengeluarkan kotak makeupku. Dalam 5 menit, aku terlihat seperti bunga matahari yang ceria.

'Kau akan menyesal telah mencampakkanku.'

Dengan sentuhan yang tertahan, aku membuka pintu mobil. Memastikan setiap langkahku menuju tempat nya dengan ringan dan kepercayaan diriku memancar. Satu persatu kuhitung bangunan yang menjulang ke langit. Bangunan kaca yang memukau, bangunan hitam dengan desain elok- kulewati semua, sampai kucapai bangunan semi silinder putih seperti marshmallow yang dilubangi.

Sebelum masuk ke apartemen itu, aku yang hanya melihat lantai 17 dimana Jason tinggal . Aku menabrak seorang lelaki. Aku tidak tahu siapa yang salah. Hanya dunia berputar. Kakiku terangkat dari aspal, dan sebuah tangan hangat memegang pinggangku dengan kokoh.

'Duk duk duk'. Dua mata bertemu. Hijau pohon bambu seakan diterangi oleh sinar matahari pada jam 12 siang memenuhi mataku. Dan untuk sebentar hanya itu yang dapat kulihat. Bahkan tanpa melihat warna merah yang mulai merona ke pipiku dan kekacauan rambut hitamku.

Mataku terus meraba mukanya. Alis rapih yang terlihat seperti dibuat oleh satu tarikan kuat oleh seniman ternama. Mata kucing yang terlihat setengah malas dan setengah dingin. Hidung bangir yang terlalu sempurna untuk dideskripsikan. Bibir ranum yang menyeringai secara perlahan..

Kalau saja belum ada orang yang menempati hatiku, kurasa ku akan jatuh cinta. Baru pertama kali kulihat orang yang komposisi mukanya mengingatkanku akan karya seni. Yang bahkan akan membuat Monalisa iri dengan senyuman seksinya.

"Apakah tanganku sebegitu nyaman ? Sudah 2 menit aku memegangmu."

Ah.. bahkan suaranya membuat kupingku terasa panas. Dengan kelembutan kain sutera dan kekerasan suara ombak. Sekitar 10 detik lagi berlalu seperti itu sebelum kepalaku mencerna perkataan lelaki itu yang terlihat di akhir 20.

Jika tadi pipiku terlihat sedikit merah, sekarang kuyakin lebih merah dari tomat. Tanpa membuang langkah lagi, aku keluar dari dekapannya secepat kilat sambil memastikan sepatu hak ku tidak membuat kujatuh.

"Maaf, tadi aku sedang memikirkan sesuatu. Pikiranku aku sedikit buyar mungkin karena kurang tidur."

Aku berbohong untuk menyelamatkan harga diriku yang tersisa. Hanya saja kemampuan berbohongku sehebat kucing Persia aku di latar hitam. Tetapi entah kenapa alasan itu keluar dengan halus dari mulutku. Mungkin karena terasa terancam.

"Perlukah kuantar ke rumah sakit?"

Seringai lelaki itu bertambah lebar. Dan itu memakan semua akalku untuk tidak memikirkan otot di tangannya.

"Tidak perlu, aku akan beristirahat di rumah pacarku." Seketika kata menyedihkan itu keluar dari mulutku, musim semi yang membanjirinya terhapus tanpa sisa. Ternyata aku masih belum bisa menerima realitas.

Tanganku yang tadinya melambai di udara berhenti. Dan lelaki misterius itu berpura - pura tidak menyadari keanehan itu serta kekakuan mukaku. Setelah memastikan aku tidak terluka, ia melenggang dengan tenang. Meninggalkan hebusan angin di langkahnya.

______

Untungnya setelah itu tidak ada kejadian lagi. Dari memasukkan password apartemen, naik elevator dan jalan ke kamar dia 171. Waktu aku sampai ke apartemennya sudah pukul 17:47. Matahari sudah lama terbenam, dan meskipun lampu menerangi lorong disitu, tetap terasa gelap.

'Apakah ia akan marah kalau aku tiba - tiba datang ?'

Keraguan itu sempat menggerogoti hati nuraniku sebelum memutuskan tidak ada salahnya. Lagipula, dia sudah mencampakanku. Apalagi yang akan terjadi ? Berpikir seperti itu, aku mengeluarkan kartu apartmennya dan memasuki tempat itu.

'Menyesallah kamu tidak meminta balik kartu ini.'

Tidak seperti biasanya, ruangan itu gelap. Hanya suara romansa kuno menunjukan ruangan itu tidak kosong. Saat melepaskan sepatu di depan ruangan apartemen itu, mataku terkejut saat melihat hak stilleto merah di dekat karpet. Edisi terbatas yang aku berikan ke sahabat aku, Susana Pie.

Apakah Susana datang menjenguk Jason ? Mengingat berapa dekat mereka setelah aku memperkenalkan keduanya empat tahun lalu, aku tidak meragukannya. Tapi kenapa ruangannya gelap sekali ? Mereka dimana?

Pikiran buruk melintasi kepalaku. . Gandengan tangan mereka pada pertemuan tiga bulan lalu menghantuiku. Susana berkata dia sedang menarik Jason karena pria tak sensitif itu meledek dia. Apakah dia berbohong? Perasaan merinding mengkelitiki kulitku. Dengan helaan tertahan, aku membuka pintu tidur dia.

Diluar dugaanku, kamar itu kosong. Bagus pertanda yang baik. Sebagian dari diriku merasa bersalah karena mencurigai dua orang paling terpenting di hidupku. Tapi masih ada kegelisahaan yang tidak dapat menyerah.

Di manakah mereka ? Dapur kosong. Tempat mesin cuci kosong. Jangan - jangan- kamar mandi ? Dengan firasat buruk aku menuju kamar mandi dan dibuktikan benar oleh suara gemericik air. Menutup mataku, aku mengintip, memastikan untuk mendorong pintu selembut mungkin.

Pada hari itu duniaku berakhir. Bunyi ciuman yang tidak dapat disembunyikan oleh pancuran air. Tubuh yang terlilit satu sama lain. Tak sampai semenit, perutku terasa bergejolak, kuingin muntah.

Sekarang kumengerti alasannya. Kenapa dia memutuskan aku dengan hati dingin seakan aku sampah . Kenapa akhir - akhir ini kami terasa jauh .

Jason berselingkuh sengan Susana.

Dengan langkah terburu - buru dan teriakan terpendam- kumeninggalkan apartemen itu. Tidak peduli hujan kembali turun dan membuatku basah kuyup.

______________________________________________________

avataravatar
Next chapter