webnovel

NIAR: Pindah

NIAR: Pindah

Akhirnya kami pindah. Benar-benar yang seperti dokter Vian katakan. Seusai kami pulang dari berjaga di malam kedua. Sejenak aku dan dokter Vian kembali ke rumah orang kami dan mengemasi sebagian baju milik kami berdua. Lalu dengan begitu pasrahnya kedua orang tuaku merelakan aku untuk di bawa oleh dokter muda ini.

Hemp!

Ya walaupun ada sedikit drama dari ibuku ya.

"Nanti ibu boleh main-main ke rumah kalian, kan?" Katanya sambil menitihkan sebutir air matanya.

Astaga ibu!

"Boleh, Bu... Ibu bisa datang kapan saja. Jika ibu mau, ibu juga boleh menginap. Apa lagi nanti jika saya masuk malam, Niar sendirian dan pasti juga butuh teman" Jawab dokter Vian menenangkan drama ibuku.

"Titip Niar ya, Vian" Tambah ayah ku sembari menepuk bahu dokter Vian.

"Iya, Ayah..." Jawab dokter Vian seraya mengangguk.

Berangkat lah kami menuju rumah masa depan. Tengah kami dalam perjalanan menuju rumah dokter Vian itu. Masih dengan keadaan kami yang canggung. Juga masih dengan aku yang memiliki banyak pertanyaan dalam kepala ini.

Ingin sekali aku bertanya. Bagaimana mereka bisa dokter Vian mengenal orang tua ku? Juga bagaimana bisa diantar jutaan laki-laki, ayah dan ibu ku memilih dokter Vian?

Tapi sudahlah, sebab sepertinya, pertanyaan itu sudah sangat terlambat. Aku sudah menjadi istri dokter Vian sekarang. Jadi, terima dan nikmati saja drama yang akan terjadi kelak.

Hemp!

Ku sandarkan kepala ku di kaca jendela mobil ini. Seraya terus saja ku pandangani di luar sana. Lalu seketika ku rasa lemas dan ingin terlelap.

Sebenarnya aku masih sangat lelah. Setelah semalaman berjaga di IGD dan ya seperti biasa. IGD tak pernah ada kata damai. Lalu pagi ini aku harus pindah ke rumah suamiku yang telah lama tak ia tinggali. Terbayang sudah di kepalaku bagaimana kondisi rumah itu. Kotor, berdebu, banyak rumput tebal, gelap, bau, banyak hewan besar atau kecil. Hemp? Bak rumah hantu mungkin.

Tapi setibanya kami di rumah itu. Aku benar-benar terkejut.

"Kenapa?"

"Eee ti, tidak... Sa, saya pikir rumahnya berantakan. Tapi ini bersih, rapi, cantik juga. Tidak seperti rumah yang telah ditinggal lama" Jawabku.

"Oh... Tiga hari yang lalu, sebelum kita menikah ibuku menyuruh orang untuk membersihkan rumah ini lalu melengkapi segalanya. Awalnya aku menolak, tapi ibu memaksa... Jadi yasudah..."

Aku mengangguk. Sembari aku masih amat tercengang pada rumah baru ku ini.

"Rumahnya kecil... Tidak sebesar rumah mu. Tapi ku rasa cukup untuk kita berdua. Nanti, jika tabungan ku sudah cukup, akan ku buat yang lebih besar untukmu"

"Ahha... Tidak apa, Dokter... Ini sudah cukup bagi saya" Jawab ku yang masih merasa amat canggung.

Lantas dokter Vian mengajakku memasuki rumah ini. Rumah masa kecilnya. Rumah yang akan aku dan dokter Vian tinggali selamanya. Di rumah ini pula, kaki-kaki kecil keturunan kami akan tumbuh dan besar. Selayaknya ayahnya.

Haish! Aku melamun apa sih! Padahal baru beberapa hari yang lalu shok berat karena dokter Vian nikahi. Lha sekarang sudah mengkhayal kemana-mana. Dasar! Dasar Niar bodoh!

"Ayo masuk" Ajak dokter Vian lagi.

Aku mengangguk. Ku langkahkan kaki ku memasuki rumah ini. Tepat setelah dokter Vian memutar kunci dan membuka pintu. Makin aku tercengang melihat seluruh isi dan sudut rumah ini.

Cantik sekali. Semua perabotan rumah begitu lengkap dan baru. Bukan perabotan bekas pakai atau sisa-sisa dari kedua orang tua dokter Vian. Tapi semua perabotannya sangat baru Bahkan ibu dokter Vian, juga menata semuanya dengan begitu apik.

Ya Tuhan. Baiknya ibu mertua ku itu. Baru beberapa kali aku bertemu dengannya. Tapi ia sudah memberi ku semua kesempurnaan ini. Bahkan juga ibu berikan padaku putranya yang luar biasa ini untuk menjadi suami ku. Sedang aku, agh... Sudahlah... Kalian tahu sendiri. Mengapa akhirnya aku mau menikah dengan dokter Vian.

"Kamu suka?" Tanya dokter Vian.

"I, iya... Suka, Dokter" Jawabku.

"Hemp... Sebenarnya aku tidak terlalu suka sih"

Lha...

Aku terkejut.

"Inikan rumah dokter Vian sendiri. Kenapa tidak suka?" Tanyaku yang terkejut.

"Karena ini warisan. Yaa sebagai laki-laki aku juga ingin memberi rumah untuk istri ku dari hasil keringat ku sendiri. Bukan warisan"

"Oh... Tidak apa, Dokter. Saya sudah sangat bersyukur dengan rumah ini. Tinggal pakai, semua perabotan juga bagus. Sempurna!" Jawab ku mencoba membuat dokter Vian tenang.

Lantas dokter Vian melangkah maju. Mendekati suatu tempat yang seperti ya itu adalah kamarnya. Sementara aku masih tetap terdiam dan seolah masih enggan untuk bergerak.

"Huh... Kamar ku juga ibu bersihkan ternyata. Bahkan ibu mengganti semua banyak barang" Ucap dokter Vian sembari kembali ke arah ku.

"Itu kamar dokter Vian?"

"Iya... Itu kamarku" Jawabnya sembari menunjuk kamarnya.

"Ooo berarti kamar saya yang ini ya?" Tanya ku dengan lugunya. Sembari ku tunjuk salah satu ruangan yang tak jauh dari ruang tamu. Bahkan aku hendak berjalan mendekati ruangan itu.

"Hey! Hey! Hey! Ya tidak donk... Kamar ku juga kamar mu sekarang. Haduh... Ada-ada saja" Jawabnya lagi sembari meraih dan menggenggam pergelangan tangan kananku."egh... Ma, maaf... Heeee... Reflek" Tambah dokter Vian sembari melepas genggamannya.

"Iya.. Tidak apa, Dokter!"

Padahal aku sudah jadi istrinya. Ternyata, bukan hanya aku yang merasa canggung di sini. Dibalik sikap santai dan tenangnya, rupanya dokter Vian juga menahan banyak malu.

"Mau lihat... Kamar... Kita tidak?" Tanya dokter Vian terbata.

"Mau..." Jawab ku seraya sekali mengangguk.

Kembali dokter Vian melangkah mendekati kamarnya. Atau, seperti katanya tadi. Kamar kita. Kamar kami. Kamar ku dan dokter Vian.

Dan makin aku terpukau. Kamar ini sungguh besar sekali. Dengan sebuah ranjang besar. Beberapa almari baru yang siap untuk aku gunakan. Juga ada meja di sana. Meja yang pasti hanya untuk diriku. Bahkan lengkap pula dengan semua alat riasnya.

"Dulu di kamar ku tidak ada meja ini. Dan sepertinya, ibu juga memperluas kamar ku" Tambah dokter Vian. "Eee kamar kita maksud ku. Hehehe"

Seketika keadaan menjadi berbalik. Jadilah saat ini dokter Vian yang banyak salah tingkah. Bahkan ia keluar masuk kamar ini. Mundar mandir tidak jelas apa yang ingin ia lakukan. Sementara aku berusaha dengan tenang menata baju yang tadi sempat ku bawa dari rumah. Dan tentu saja, juga baju milik dokter Vian.

"Kamu belum selesai, Niar?" Tanya dokter Vian yang baru kembali lagi memasuki kamar ini.

"Belum... Tinggal sedikit sih" Jawab ku.

Lagi dokter Vian keluar dari kamar ini. Untuk kemudian ia segera kembali lagi. Sekedar menanyakan hal yang sebenarnya bisa langsung ia tanyakan tadi.

"Kamu tidak lelah? Kan baru berjaga malam?" Katanya.

"Lelah..." Jawab ku lagi.

"Kalau begitu, letakkan saja dulu. Istirahat" Tambahnya.

Aku menurut.

Beranjak aku dari hadapan almari ini. Setelah sejenak aku meletakkan ransel ku dan dokter Vian di sudut almari. Lalu aku mendekati suami ku yang kemudian menawarkan aku satu hal yang membuat ku terkejut.

"Tidur ya! Ayo!"

Next chapter