webnovel

Tangisan

Tristan duduk dengan menumpangkan kaki kiri di kaki kanannya. Ia menatap lurus ke arah Haruna dengan sebuah isyarat mata, Tristan menanyakan jawaban Haruna atas tawaran Tristan tadi siang.

Haruna hanya memalingkan muka, ia merasa marah, jijik dan muak melihat wajah Tristan.

"Tuan, tolong berikan kami waktu untuk membayar hutang kami kepada Anda," ucap Kamal memohon. Ia berharap Tristan memberikan mereka waktu sedikit lebih lama.

"Aku bisa memberikan waktu pada keluargamu, tapi … aku adalah seorang pebisnis. Aku tidak akan melakukan sesuatu yang tidak menguntungkan. Apa yang bisa menjadi jaminan jika kalian pasti akan membayar hutang-hutang kalian sesuai perjanjian?"

"Kami akan menggadaikan surat-surat rumah dan kedai kami. Asalkan kami tetap diizinkan berjualan di sana." Kamal mencoba bernegosiasi dengan Tristan.

"Rumah dan kedaimu tidak ada seperempat dari hutangmu padaku. Ada dua pilihan untukmu dan keluargamu. Pertama, kalian tinggalkan rumah dan kedai kalian untukku, lalu pergi dari rumah ini. Itu pun baru seperempat yang kalian bayar, dan kalian harus melunasinya dalam waktu sebulan. Pilihan kedua, kalian bisa membayarnya kapan saja dengan batas waktu yang tidak aku batasi, asalkan …."

"Asalkan apa, Tuan?" tanya Kamal. Ia seakan memiliki harapan dengan penawaran kedua dari Tristan. Namun, Kamal bagaikan diajak terbang ke langit ke tujuh dan dijatuhkan seketika saat mendengar ucapan Tristan.

"Kau bisa menjadikan putrimu sebagai jaminan. Gadaikan saja salah satu putrimu padaku, mereka akan aku lepaskan saat kau sudah melunasi hutangmu," ucap Tristan. Dengan tatapan mengarah kepada Haruna yang masih belum mengeluarkan suara sejak Tristan datang.

"Tidak! Lebih baik Anda membunuh saya. Saya tidak akan melakukan hal itu," ucap Kamal dengan tegas.

"Tidak masalah. Berarti pilihan Anda adalah pilihan pertama. Silakan Anda keluar tanpa membawa apapun dari sini, sekarang juga!" bentak Tristan. 

"Apa kau bisa pegang janjimu?" tanya Haruna.

"Haruna!" ucap Anggi dan Kamal bersamaan.

"Jangan, Nak!" ucap Anggi menahan tangan Haruna yang sedang melangkah menghampiri Tristan. 

Haruna berdiri tiga langkah di depan Tristan. Terbersit senyuman kemenangan di unung bibir Tristan. Tristan yakin Haruna tidak akan membiarkan keluarganya menderita. Tidak mungkin jika Haruna mendorong adiknya untuk menjadi jaminan, Tristan yakin perkiraannya tidak akan meleset. Terbukti, Haruna maju dan menawarkan diri.

"Tidak! Papa tidak mengizinkan salah satu anak-anak Papa untuk berkorban. Tuan, jika Anda ingin salah satu dari kami untuk menjadi jaminan, biar saya saja."

"Sayangnya, aku lebih suka pada kedua anak gadismu. Pilih salah satu dari mereka!"

"Tidak perlu. Aku sudah bilang, aku bersedia menjadi jaminan. Asalkan kau lepaskan keluargaku."

"Tentu, aku pegang janjiku. Mulai malam ini dan seterusnya sampai ayahmu bosa melunasi hutangnya, kau … akan menjadi pelayan di rumahku." Tristan berdiri dan melangkah mendekati Haruna. "Tawaran naik ke ranjangku juga tetap berlaku sampai kapanpun. Jika kau ingin bebas dan tidak menjadi jaminan hutang ayahmu," bisik Tristan. 

Haruna mengepalkan kedua telapak tangannya dengan emosi yang memuncak. Namun, Haruna tidak bisa menjawab perkataan Tristan. Kamal menarik tangan Haruna, tetapi Haruna menepisnya dengan perlahan. Baik Kamal, Anggi dan Vivi, mereka sama sekali tidak menyetujui syarat yang Tristan berikan. Meskipun Tristan mengatakan bahwa Haruna akan menjadi pelayan di rumahnya, tetapi Kamal meragukan hal itu. Bagaimana mungkin jika dia hanya menjadikan Haruna seorang pelayan. Kamal khawatir dengan maksud dari pelayan ini adalah melayani Tristan di atas ranjang.

Tidak hanya Kamal yang memiliki pikiran seperti itu, Anggi juga sedang panik. Bagaimana bisa ia melepas Haruna untuk perhi dengan Tristan. Haruna dan Vivi adalah harta berharga mereka. Namun, Haruna sudah memutuskan untuk mengikuti Tristan. Haruna pergi ke kamarnya untuk merapikan baju-baju seragam kerjanya. Saat Haruna masuk ke dalam kamar, Kiara sudah tertidur karena bosan dan akhirnya mengantuk. Haruna menyelimuti tubuh mungil Kiara lalu mengecup keningnya. Ia memasukkan beberapa setel pakaiannya ke dalam koper.

Haruna melangkah ke ruang tamu dengan menarik koper merah besar di tangannya.

"Bawakan kopernya!" ucap Tristan pada anak buahnya.

"Tuan, saya mohon, jangan bawa Haruna." Kamal berlutut memegangi kaki Tristan. 

"Apa yang kalian lakukan?! Singkirkan dia dariku!" Tristan memberi perintah pada anak buahnya. 

Para preman itu menahan Anggi, Kamal dan Vivi yang mencoba menghalangi Tristan membawa Haruna pergi. Tristan menarik pergelangan tangan Haruna dan membawanya masuk ke dalam mobil. Tristan segera melaju dengan kecepatan tinggi meninggalkan rumah Haruna. Haruna tidak tahu dirinya akan dibawa kemana oleh Tristan.

"Sudah aku katakan bukan, kau tidak akan bisa lari dariku." Tristan tersenyum sambil mengemudikan mobil.

"Sejak awal, tujuanmu bukan untuk uang, tapi untuk menindasku. Jika aku memiliki uang 2 Milyar itu pun, kau akan mencari alasan lain untuk menindasku." Haruna menjawab tanpa melihat wajah Tristan. 

"Pintar. Aku sangat suka kepintaranmu," ucap Tristan.

***

Setelah mobil Tristan melju pergi, para preman itu melepaskan mereka dan merekapun menyusul Tristan dengan tawa yang saling bersahutan. Ke lima orang preman itu membawa serta koper Haruna di bagasi.

Kamal dan Vivi segera menahan tubuh Anggi yang terkulai tidak sadarkan diri. Angginpingsan saat melihat Haruna dibawa pergi. Kamal segera mengangkat tubuh Anggi dan membaringkannya di ranjang dalam kamar mereka. Vivi pergi ke ruang keluarga dan mengambil minyak angin di dalam kotak P3K. Kamal mengoleskan sedikit minyak itu di hidung Anggi dan Anggi pun tersadar. Saat tersadar, ia hanya bisa terisak pilu dalam pelukan Kamal.

Vivi keluar dari kamar Kamal dan Anggi. Ia berdiri di depan kamar dengan air mata yang mengalir di kedua pipinya. Vivi melangkah lesu dan duduk di sofa ruang tamu. Ia tidak bisa berbuat apapun saat melihat Haruna mengorbankan dirinya menjadi jaminan. Vivi mengingat betapa Haruna memanjakan dirinya. Selama ini, mereka selalu hidup bahagia dan damai. Entah apa salah keluarganya hingga harus mengalami hal seperti ini.

Ikhsan baru saja pulang bekerja. Ia melihat pintu rumah Kamal yang terbuka lebar. Ikhsan merasa sedikit heran karena tidak biasanya pintu rumah itu terbuka lebar saat malam. Selain pintu rumah yang terbuka, Ikhsan juga mendengar tangis histeris Anggi yang terus memanggil nama Haruna. Ikhsan yakin ada yang tidak beres. Ia segera berlari masuk ke dalam rumah Kamal dan melihat Vivi yang berbaring di sofa panjang sambil terisak pelan. Vivi tidak mau kedua orang tuanya mendengar tangisannya atau mereka berdua bisa semakin sedih.

Ikhsan membuka jaketnya dan menutupi paha mulus Vivi yang terbuka. Vivi hanya memakai celana hotpants saat di dalam rumah. Ia tidak tahu jika Ikhsan akan masuk ke dalam rumah. Terlihat menyedihkan di depan Ikhsan membuat Vivi merasa malu. Wajahnya yang memerah karena menangis pasti terlihat sangat jelek di mata Ikhsan, itulah yang ada di dalam pikiran Vivi.

Next chapter