51 Rencana Kamal

"Haruna, kita bicara dulu," ajak Kamal.

"Iya, Pah." 

Haruna mengikuti ayahnya ke ruang tengah. Berharap bahwa sang Ayah tidak akan bertanya apa-apa tentang kehidupannya di rumah Tristan. Haruna tidak akan sanggup membohongi ayahnya.

"Duduk!" seru Kamal. Ia duduk bersandar dengan tenang. Helaan napasnya terdengar sangat berat.

"Kia, sini, Sayang! Kia sama Nenek dulu," ucap Anggi. Ia pergi menggendong Kiara ke taman belakang.

"Ada apa, Pah?"

"Papa ingin memberitahu kamu. Papa sudah menjual kedai kita," ucapnya sambil merogoh saku kemejanya. Ia menyodorkan surat perjanjian jual beli. "Pembeli ingin semua anggota keluarga menandatangani surat perjanjian itu. Katanya, untuk membuktikan kalau di kemudian hari tidak ada yang menggugat." Kamal mengembuskan napas berat, memberikan jeda di antara ucapannya. "Papa sudah menyiapkan segalanya. Dua bulan lagi, kita sekeluarga akan pindah. Papa akan menitipkan uang pembayaran hutang pada Chris," pungkas Kamal.

"Lalu, kita akan tinggal di mana, Pah?" tanya Haruna.

"Semua sudah Papa atur. Kamu siap-siap saja. Jika waktunya tiba nanti, cari alasan supaya bisa keluar dari rumah Tristan. Kamu bisa, tidak, Sayang? Kalau tidak bisa, biar Papa meminta bantuan Chris," ucap Kamal. Sebenarnya Kamal berharap Haruna bisa keluar dari rumah itu tanpa bantuan siapapun. Namun, jika memang terpaksa, Kamal akan meminta tolong pada Christian.                                                

"Haruna usahakan, Pah." Entah kenapa, hati Haruna merasa sedih. Dulu, ia sangat berharap bisa segera keluar dari cengkeraman Tristan. Namun, ia merasa berat saat jalan itu terbuka. Haruna berpamitan pada Kamal. "Haruna pergi bekerja dulu, Pah. Papa dan yang lain jaga kesehatan. Haruna mungkin tidak akan diberi kesempatan menginap lagi."

"Iya. Kamu juga, jaga diri baik-baik. Papa lihat sekilas saja sudah tahu kalau Tristan itu pemain cinta."

Deg!

Mendengar kalimat Kamal, Haruna terpaku. Tubuhnya gemetar dan mengeluarkan keringat dingin. Dengan gugup, Haruna pergi meninggalkan Kamal. Sebuah pesan masuk ke ponselnya.

'Aku mengirim Levi untuk menjemputmu. Cepat datang ke kantor!' Isi pesan itu membuat Haruna bergegas keluar dari rumah. Benar saja, Levi sudah berdiri di samping mobil di depan gerbang rumah. 

"Selamat pagi, Nona," sapa Levi.

"Selamat pagi." 

"Silakan, Nona!" Levi mempersilakan Haruna masuk ke dalam mobil setelah ia membukakan pintunya.

"Terima kasih." 

Mobil itu pergi meninggalkan halaman rumah Kamal. Sang ayah rupanya memperhatikan Haruna dari balik tirai jendela. Ia merasa sedih melihat Haruna terperangkap dan tidak memiliki kebebasan, bahkan menginap sehari saja sudah dijemput lagi.

"Papa akan membebaskanmu. Tunggu dua bulan lagi, bersabarlah," gumam Kamal. Ia mengambil surat yang sudah ditandatangani oleh Haruna. "Mama!"

"Iya, Pah," sahut Anggi dari dapur. Ia membawa sebotol susu hangat untuk Kiara. Menghampiri suaminya di ruang tamu. 

"Ada apa, Pah?"

"Papa akan pergi keluar kota selama seminggu. Mama dan anak-anak, hati-hati di rumah. Papa harus mengurus sesuatu," pamit Kamal. Tanpa memberi penjelasan pada sang istri, Kamal pergi sambil membawa surat perjanjian jual beli.

"Si Papa kenapa terburu-buru sekali? Dan tidak biasanya dia keluar kota sendirian. Ada apa sebenarnya?" Anggi hanya bisa bertanya-tanya sendiri.

"Nenek!" panggil Kiara. Ia menunggu neneknya di belakang, tapi karena tidak datang-datang, Kiara jadi mencarinya.

"Eh, Sayang. Maaf, Nenek tadi nganter Kakek dulu ke depan." Anggi mengelus rambut Kiara. "Oh, iya, ini susunya." 

"Terima kasih, Nek," ucap Kiara sambil tersenyum riang.

"Sama-sama, Sayang. Kia, jangan keluar, ya! Nenek mau cuci piring."

"Iya, Nek. Kia main di belakang." Kiara berlari membawa botol susunya ke taman belakang. Anggi tersenyum lalu pergi ke dapur.

Kiara bermain boneka beruang besar yang Christian berikan pada Haruna. Ia sangat menyukai boneka itu. Rasanya seperti bermain dengan teman sebayanya. Kiara sangat tertutup semenjak ditinggal ibunya, Mila. Meskipun, Vivi mengajaknya bermain di taman komplek, Kiara tidak mau bergaul dengan anak-anak yang lain.

Ting! Tong!

"Sebentar!" Anggi berlari membuka pintu.

"Selamat pagi, Tante," sapa Christian.

"Eh, Nak Chris. Mari masuk!" Anggi mempersilakan. 

"Terima kasih, Tante."

"Nak Chris, sudah sarapan?" tanya Anggi sambil menutup pintu.

"Sudah, Tante. Kia mana, Tan?"

"Di belakang. Dia sedang bermain boneka. Dia pasti sangat senang kalau melihat Nak Chris."

"Kalau gitu, Chris boleh ke belakang?"

"Tentu. Tante ke dapur dulu. Nak Chris pergi temui Kiara," ucap Anggi. Christian pergi setelah mendapat izin dari Anggi. Sementara Anggi pergi ke dapur untuk membuatkan minuman.

Christian melangkah dengan senyum bahagia. Ia masih mengingat ciumannya dengan Haruna kemarin. Di taman belakang rumah Kamal adalah tempat yang bersejarah bagi Christian. Meskipun Haruna belum memberikan jawaban atas pernyataan cintanya. Namun, Christian merasa bahagia karena Haruna akan mempertimbangkannya.

"Kia!"

"Om Ganteng!" seru Kiara. Ia berlari meninggalkan bonekanya dan menghampiri Christian.

Christian berjongkok dan membuka lebar tangannya. Kiara menghambur ke dalam pelukan Christian. Ia sangat senang melihat Christian datang, tetapi kebahagiaannya sedikit berkurang saat mengingat Haruna. Wajah Kiara menjadi suram seperti awan mendung yang siap menumpahkan air hujan. Perubahan sikap Kiara menjadi perhatian Christian.

"Lho, tadi senyum, kok, sekarang sedih?" tanya Christian sambil mengangkat Kiara dan menggendongnya.

"Coba kalau Mama sama Om bisa main barengan sama Kiara," celoteh gadis kecil itu.

"Mama kemana memangnya?"

"Mama kerja di kantor Om Ganteng yang satu lagi," jawab Kiara polos.

Alisnya bertaut. Om Ganteng yang satunya, siapa? tanya Christian dalam hati. Kemudian ia bertanya lagi pada Kiara. "Om Ganteng yang mana, Sayang?"

"Itu, Om yang datang sama Mama ke cafe Tante Vivi," jawab Kiara.

"Oh, Om Tristan." Christian baru sadar kenapa kemarin Levi menambah satu set meja dan kursi di ruangan Tristan. Jadi, Haruna akan bekerja di kantor IZHAM Corporation, batin Chris. "Oh, iya. Hampir saja Om lupa, ini coklat buat Kiara. Om juga harus pergi bekerja. Om pergi dulu, ya," ucap Christian.

"Terima kasih, Om." Kiara mengambil coklat premium yang diberikan Christian. 

Christian berdiri dan berpamitan pada Kiara. Di dalam, ia berpapasan dengan Anggi yang membawa teh hangat untuknya. Christian menyapa dan berpamitan.

"Lho, kok, buru-buru? Tante sudah bawakan teh dan kue," ucap Anggi.

"Maaf, Tante, jadi merepotkan."Christian menyesap tehnya sedikit lalu berpamitan. "Chris ada meeting di kantor. Terima kasih atas tehnya. Chris pamit dulu, Tan," ucap Christian.

"Oh. Ya, sudah. Hati-hati di jalan," sahut Anggi. Ia mengantar Christian sampai di depan gerbang. Ia melambai sampai mobil Christian menghilang di tikungan jalan. "Hah, seandainya saja kamu bukan kakaknya Tristan … mungkin … Haruna akan sangat bahagia menikah denganmu." Anggi menutup pintu gerbang dan berbalik masuk ke dalam rumah.                   

avataravatar
Next chapter