1 Prolog

Hembusan asap nikotin mengepul dari mulut seorang lelaki yang tengah duduk manis di sofa nyaman yang terletak dalam sebuah bangunan terbengkalai tak jauh dari SMA Caius Ballad, SMA swasta favorit di bilangan Jakarta Timur.

Ia bersenandung kecil, melantunkan lagu Lily dari Alan Walker sambil terus menghembuskan asap kenikmatan dari saluran pernapasannya. Suasana khidmat yang menenangkan itu tak berlangsung begitu lama hingga getaran beruntun dari ponsel yang ia taruh di atas meja kecil menghancurkannya.

Lelaki itu mengangkat panggilan telepon dan menekan ikon speaker, masih bersandar pada sofa nyaman yang ia duduki.

"Gimana?" tanya Aldy, lelaki yang sudah hampir empat puluh menit itu duduk dengan nyaman di singgasananya.

Suara gemetar bercampur panik menyaut dari seberang saluran telepon. "So-sory Al, kita kalah."

Aldy kembali menghembuskan asap nikotinnya dengan perlahan. "Hmm ... Oke."

Tanpa basa-basi Aldy memutuskan sambungan dan membuang batang rokoknya ke sembarang arah. Ia bangkit, meregangkan sedikit tubuh kakunya dan mengambil pipa besi yang berada tak jauh dari tempatnya berada. Berjalan keluar dari bangunan terbengkalai yang penuh dengan coretan pylox itu dan langsung menuju TKPm; tempat kejadian perkelahian-massal.

Tidak sampai sepuluh menit Aldy berjalan kaki, terlihat belasan siswa Caius Ballad yang sudah terkapar di tanah lapang tak berrumput, dengan belasan siswa lainnya dengan seragam berbeda memasang ekspresi penuh kegembiraan.

Aldy mendekati mereka--belasan siswa dengan seragam berbeda--sendirian dan tanpa aba-aba maupun peringatan sedikitpun, lelaki itu menghantamkan pipa besi yang sedari tadi ia bawa tepat di kepala tiga orang pertama.

Seakan badai yang datang entah dari mana, Aldy menerjang belasan siswa berseragam berbeda itu tanpa ampun sendirian. Mematahkan tulang demi tulang, menyicil sedikit demi sedikit darah dari para siswa tersebut, hingga akhirnya hanya seorang lelaki yang berdiri dengan belasan siswa tak sadarkan diri di sekelilingnya.

Lelaki yang bahkan tak tersenyum atas kemenangan yang ia raih dengan tangannya sendiri, hanya menatap kosong ke arah langit setelah menjatuhkan pipa besi yang penuh dengan lumuran darah dari tangannya.

Aldy terus saja menatap hamparan langit biru yang pada saat itu tak terhalang awan sedikitpun. Sinar tajam sang mentari tak mengusik pandangannya sedikitpun.

Aldy menghela nafas panjang, dalam benaknya hanya satu yang ia pikirkan. "Reen, kapan lo bisa lihat cuaca secerah ini."

Reen adalah panggilan untuk adiknya sendiri, Maureen Gabriella. Ia membuat panggilan itu secara sepihak. Sebenarnya Maureen bukanlah adik kandung Aldy. Aldy awalnya hanya seorang yatim-piatu yang tumbuh besar di jalanan. Kedua orangtuanya harus merenggut nyawa akibat disiksa oleh para debt-collector berkat kebiasaan ayahnya dulu yang suka berjudi, membuat mereka memiliki hutang yang menggunung.

Aldy juga bergabung dalam geng preman di wilayah sekitar tempat tinggalnya, hingga ia dijebak oleh orang-orang yang ia percayai sehingga membuat Aldy harus mendekam di penjara khusus remaja. Hari-hari yang keras ia lalui di dalam tempat yang berisikan anak-anak berandalan seusianya itu, sampai akhirnya seseorang datang dan menjamin kebebasannya dengan syarat bahwa Aldy harus tinggal dan hidup bersamanya.

Orang itu adalah Heri Wijaya, seseorang yang mengaku sebagai sahabat lama ayahnya dan sekaligus ayah kandung dari Maureen Gabriella, gadis yang sudah setahun ini terbaring koma di rumah sakit akibat kecelakaan yang menimpanya. Meski nasibnya tak senaas ibunya yang harus kehilangan nyawa atas kecelakaan tersebut.

Sebenarnya orangtua Maureen sudah lama bercerai, sekitar empat tahun dan Maureen memilih untuk tinggal bersama ibunya. Dan setahun lalu, saat mendengar kabar bahwa Maureen dirawat di rumah sakit, itu adalah pertama kalinya ia kembali melihat putri satu-satunya itu. Dan kini, berkat diadopsinya Aldy oleh Heri, sekarang Aldy adalah kakak dari Maureen.

Ponsel Aldy kembali bergetar.

Ayah calling...

Aldy mengangkat panggilan itu dan menaruh layar ponsel di telinganya.

"Halo Aldy, kamu di mana?"

"Di bangunan deket sekolah. Kenapa, Yah?"

"Kamu tawuran lagi?" tanya Heri, dengan nada sedikit terkejut karena sudah lama sekali sejak Heri mendengar Aldy ikut tawuran.

"Iya, Yah. Baru kali ini geng sekolahnya Aldy kalah, jadi Aldy harus ngurusin sendiri."

"Tapi Kamu gapapa kan?" Meskipun bukan anak kandung, namun Heri sudah menganggap Aldy yang notabene adalah anak adopsinya seperti anak kandungnya sendiri. Jadi wajar kalau dia merasa khawatir dengan Aldy, karena memang sudah lama Aldy melaporkan bahwa dirinya terlibat hal-hal yang berbahaya seperti tawuran itu.

"Gapapa kok, emang ada apa?"

"Adikmu, Dy."

"Maureen?" tanya Aldy penasaran. "Maureen kenapa?"

"Dia udah sadar. Sekarang dia lagi nyari suara siapa yang selama ini dia dengar selama dia koma. Dia nyari kamu, Dy. Kamu kesini sekarang ya, Nak."

Sebuah senyuman mengembang dari bibir Aldy. Ya, sebuah senyuman yang sangat langka terlukis di wajah seorang Rizaldy Pradipta, siswa tingkat akhir SMA Caius Ballad yang dijuluki sebagai Caius Ballad Untouchable-Men, by-stander dari geng sekolah gahar di antara sekolah-sekolah swasta lainnya.

Aldy pun kembali mengadah ke langit setelah memutuskan sambungan telepon.

"Reen, kayaknya lo bakal bisa lihat apa yang gua lihat sekarang."

avataravatar
Next chapter