15 The Guilt

Rei mendengus tak percaya dengan ancaman yang baru saja dilontarkan oleh Christina untuknya. Wanita itu malah membawa rumor sebagai gay untuk mengancamnya hanya demi sebuah kontrak pekerjaan yang akan menjamin kehidupan hedonisme Christina hingga ia pensiun nanti.

"Huh ... kamu pikir publik akan percaya?" tantang Rei sambil melipat kedua lengannya di dada. Christina dengan percaya dirinya menertawakan Rei dengan suara yang ingin sekali dicekik oleh Rei. Tapi Rei memang pintar menahan diri dan mengintimidasi orang lain. Ia membiarkan Christina merasa lebih tinggi darinya.

"Aku bisa melakukan wawancara. Lagi pula pembahasan tentangmu kan sudah beredar dimana pun!" Rei tersenyum lebih jahat dan mengangguk.

"Kamu benar. Aku pikir aku memang sudah melakukan kesalahan!" ucap Rei dengan nada mengejek seolah-olah ia memang ketakutan. Tapi wajahnya mendengus dan tersenyum mengejek. Christina yang menyadari jika Rei tengah mengejeknya lantas mulai berubah ekspresi.

"Oh, Christina. Kamu benar-benar harus mengenali pria yang sudah tidur denganmu selama ini!" ucap Rei mulai kembali pada sosok dominannya. Ia berdiri lebih tegak dengan tinggi tubuhnya yang gagah dan tersenyum lebih licik.

"Aku punya segala rahasia terkelammu. Termasuk kasus aborsimu, jangan lupa jika kamu juga memiliki seorang anak laki-laki. Apa menurutmu publik tahu soal itu? Aku tidak keberatan membukanya. Banyak orang yang sangat suka dengan gosip bukan?" Christina hanya terpaku menatap Rei yang sepertinya memiliki peluru untuk bisa melumpuhkannya.

"Wanita sepertimu, hanya peduli pada reputasi yang sudah kamu bangun selama bertahun-tahun. Kamu pikir jika aku tidak berbaik hati menjadikanmu sebagai penyanyi maka ada perusahaan rekaman yang mau menerimamu? Kamu tidak seberkilau itu Sayang. Suaramu bukan suara emas!" ejek Rei dengan sedikit terkekeh.

Christina mengepalkan tangan dan menahan amarah dengan mengeraskan rahang. Lalu wajah Rei yang awalnya tersenyum mengejek berubah menjadi dingin dan menakutkan.

"Aku tidak akan menyentuhmu. Jika kamu berharap aku akan melakukan kekerasan fisik padamu, kamu tidak akan mendapatkan apa pun. Sekarang pergi dari sini. Anggap sebagai rasa belas kasihanku pada putramu yang tidak bersalah sehingga media tidak akan menemukan dimana kamu menyembunyikan dia dan menghancurkan kariermu selamanya!" geram Rei menusuk untuk yang terakhir kali.

Christina kehilangan kata untuk bisa mengancam Rei. Ia menatap Rei dengan tajam dan penuh kebencian lalu berjalan melewatinya.

"Travis akan mengurus sisa royaltimu. Setelah itu ... aku bahkan tak mau melihat albummu ada di dinding pertunjukan Skylar sama sekali!" sambung Rei lagi membuat Christina sejenak berhenti makin marah tapi tak bisa berbuat apa pun. Ia akhirnya berjalan lagi dan melewati Travis yang berdiri tak jauh di belakang Rei. Usai Christina pergi, Rei benar-benar kesal.

Ia berjalan ke salah satu sisi mejanya dan menekan salah satu tombol dan membuka lemari. Ternyata ada lemari pendingin tersembunyi di balik dinding. Rei mengambil air mineral botol dan meminumnya dalam sekali waktu. Rei lantas meremas bekas botol plastiknya dengan gampang dan membuangnya begitu kesal di tong sampah.

Travis yang sudah menjadi asistennya selama dua tahun belakangan lalu mendekat dan menarik kursi kerja Rei agar ia duduk dan bisa lebih tenang. Rei pun berjalan dan menghempaskan punggungnya sambil menengadahkan kepalanya bersandar. Travis berdiri di sampingnya dan terus memandang wajah Rei yang nyaris sempurna.

Mata Rei terbuka lagi dan ia mendengus kesal. Tapi ia sudah jauh lebih tenang dari sebelumnya. Matanya lalu menoleh pada Travis yang terus memandangnya.

"Kenapa kamu melihatku seperti itu?" tanya Rei separuh menghardik dengan kening mengernyit.

"Tidak ada, Pak!" jawab Travis lalu membuang pandangannya ke arah lain. Rei pun tak mau menoleh pada Travis ketika ia mengeluarkan perintah kemudian.

"Lakukan yang kukatakan tadi. Dan turunkan semua pajangan album milik dia dari hall of fame!"

"Baik, Pak!" ucap Travis lagi.

"Ada lagi yang harus dilakukan?" Travis bertanya dan Rei dengan angkuhnya hanya memberikan aba-aba dengan tangan menyuruhnya pergi tanpa bicara. Travis pun menaikkan kedua alisnya dan pergi meninggalkan Rei sendirian di ruang kerjanya yang begitu besar.

Sejenak Rei menghela napas dengan kesal dan masih mencoba menenangkan dirinya. Entah mengapa pikirannya makin tak tenang belakangan. Sesekali ia masih mengingat gadis yang menjadi teman tidurnya saat di Boston. Siapa dan dimana gadis itu tak ada yang bisa memberitahukannya pada Rei. Rei juga tak mencarinya. Dalam hatinya ia penasaran tapi tak jua bergerak.

Pekerjaan yang sempat dilakukannya tadi kemudian diserahkan pada salah satu produser untuk diselesaikan. Esok ia akan memeriksa kembali. Rei tak langsung pulang ke rumah. Biasanya ia akan makan malam di sebuah restoran bintang lima bernama Houston atau pergi ke salah satu club dan bar terkenal di New York Medieval.

Kali ini meja Rei sudah disiapkan oleh Geraldo, kepala pelayan di restoran tersebut untuk makan malamnya. Rei nyaris tak pernah makan malam di rumahnya. Ia tak pernah memasak dan tak suka memasak. Menyewa koki juga percuma karena ia jarang sekali pulang ke apartemen mewahnya.

Sedang asyik menikmati makan malam sendirian, mejanya lantas dihampiri oleh sang Ayah Arjoona Harristian.

"Darimana Daddy tau aku di sini?" tanya Rei dengan nada ketus masih sedikit mengunyah. Arjoona tersenyum dan ikut menerima makanannya dari salah satu pelayan yang menghidangkan.

"Apa kamu masih suka makan es krim gelato nya di sini?" tanya Arjoona sambil memotong kentang dan daging di piringnya.

"Aku bukan anak umur 8 tahun, Dad. Usiaku sudah hampir 26 tahun!" sahut Rei dengan ketus. Arjoona mengangguk.

"Daddy tau, tujuh bulan lagi kamu akan berusia 26 tahun!" sahut Arjoona menyengir kemenangan. Tapi Rei tak menganggapnya lucu sama sekali.

"Aku bingung melihatmu, Dad. Apa maumu!" Arjoona mengangguk lagi. Ia melepaskan napas panjang dan mulai serius.

"Daddy akan pulang ke Jakarta sebentar lalu ke Surabaya, tapi tidak akan lama. Aku harap tidak akan lama." Rei mengernyitkan keningnya lagi.

"Apa urusannya denganku?" tanya Rei lagi.

"Saat pulang nanti akan ada seseorang yang menjadi pengawal Venus. Daddy mau kamu yang mengurus semuanya, kamu mau kan?" Rei makin mengernyitkan keningnya.

"Aku makin tidak mengerti," sahut Rei dengan nada sarkas.

"Ini adalah kesempatan terakhir yang Mommy-mu berikan pada Daddy. Tolong bantu Daddy kali ini. Daddy akan menemukan anak itu dan membawanya sebagai pengawal Venus. Mommy bilang dia sudah menjadi seorang polisi." Kedua alis Rei ikut naik dan ia sedang mencerna apa yang tengah diberitahukan oleh ayahnya.

"Aku tau Venus sedang diincar belakangan ini. Dia butuh pengawal pribadi." Arjoona mengangguk setuju pada pernyataan Rei.

"Kalo dia beneran polisi aku baru percaya!" sambung Rei lagi mulai memotong makanannya lagi.

"Entahlah, Daddy belum pernah ketemu orangnya. Yang Daddy kenal adalah orang tuanya." Rei mengangguk lagi. Arjoona dengan cepat membereskan makanannya sebelum ia berdiri kemudian.

"Daddy mau berangkat sekarang?" Arjoona mengangguk.

"Satu lagi, apa kamu masih ingat pada Andy? Apa kamu pernah mencarinya?" tanya Arjoona dengan nada rendah. Rei sedikit tersenyum dan mengangguk.

"Tentu saja, Dad. Dia salah satu saudaraku. Aku nyaris membongkar seluruh New York saat mencarinya. Aku yakin dia sudah lama tidak berada di sini lagi." Arjoona lantas mengeluarkan sebuah foto dan menyodorkan pada Rei. Foto seorang pria dengan jaket kulit, rokok di bibirnya dan tato yang terlihat di leher. Rei mengernyitkan keningnya.

"Ini Andy?" Arjoona mengangguk.

"Cari dia!" Arjoona lantas bangun dan meninggalkan Rei dengan foto itu.

Setelah Arjoona pergi, tinggallah Rei yang masih berpikir dan menatap foto itu. Wajah imut Andrew Miller tak akan berubah sekalipun ia berpenampilan garang seperti gengster.

"Hei, Rei ... apa kabarmu?" sapa Dalton tiba-tiba datang menghampiri. Mata Rei sesaat membesar dan langsung menarik tangan Dalton untuk duduk di meja makannya.

"Apa-apaan ini!" sahut Dalton keheranan.

"Katakan padaku siapa gadis yang kamu bawa ke kamarku?" Dalton terkekeh kecil dan makin duduk dengan santai.

"Memangnya kenapa? Apa kalian bersenang-senang!" Rei mendecap kesal dan memukul meja.

"Apa dia gadis panggilan?" tanya Rei tanpa basa basi.

"Oh Rei, bagaimana aku bisa memberikan gadis panggilan padamu. Yang benar saja!"

"Apa maksudmu?" Dalton mendekat dan melipat kedua lengannya di atas meja pada Rei yang mengernyitkan keningnya.

"Gadis itu adalah salah satu pengejar mimpi pada audisi yang kamu lakukan di Boston. Dia adalah salah satu peserta!" mata Rei sontak membesar.

avataravatar
Next chapter