4 The Goliath

Rei Harristian memeriksa beberapa laporan dari Kim Corporation saat perjalanannya menuju Boston menggunakan pesawat pribadinya. Ia sudah mendengus dari tadi karena kesal dan bosan. Beberapa kali ia mengurut keningnya dan masih berusaha terus membaca sambil menghembuskan napas kesal lalu melempar tablet yang ia gunakan untuk memeriksa.

"Kita harus membahas tentang proyek ..." Rei langsung memberikan telapak tangannya menyetop layar laptop di depannya. Blake Thorn salah satu CEO dari anak perusahaan Kim tengah mengadakan rapat virtual dengannya. Di sudut lain, Earth Lewis juga melakukan hal yang sama.

"Cukup ... kepalaku sudah berdenyut!" tukas Rei dengan ketus. Blake menghela napas dan membuang wajahnya sejenak. Sedangkan Earth kemudian mengurut kening.

"Rei, jika kamu tidak menggantikan Ayahmu. Siapa lagi yang akan mengurus Kim Corp? Kamu tidak bisa meninggalkan pekerjaan begitu saja!" tegur Blake masih dengan nada sabar. Rei membuang pandangan matanya menatap kompartemen di atas lalu memejamkan mata.

"Bisakah kita melakukan ini besok saja? Hari ini aku harus melihat audisi di Boston!" pinta Rei pada kedua CEO itu. Earth menghela napas dan menaikkan kedua tangannya ke udara. Tinggal Blake yang tak jelas akan bersikap apa.

"Lalu kapan kamu mau mengurus perusahaan? Ayahmu sudah tak lagi aktif sama sekali!" sahut Blake masih bersikeras.

"Tunggu sampai Chloe selesai dengan kuliahnya dan biarkan dia yang memegang semuanya!" ucap Rei seenaknya.

"Kamu gila memberikan semuanya pada Chloe, dia bisa menangis dan membencimu!" tegur Earth mulai tak tahan.

"Ayolah, kalian jangan mendesakku terus. Bagaimana aku bisa memegang dua perusahaan sekaligus? Aku bukan Ayahku!" bantah Rei hanya bisa membuat Blake dan Earth menggelengkan kepalanya.

"Cepat pulang, kita selesaikan ini di sini. Dan jangan membantah lagi!" Rei akhirnya mengangguk.

"Berhati-hatilah, Nak. Semoga acara audisi mu sukses!" ujar Blake lagi dan diberi senyuman oleh Earth yang kemudian mematikan sambungan video itu. Rei tak menjawab dan menghempaskan kepalanya ke sandaran kursi.

Seorang pramugari lantas melewatinya dan menawarinya minuman. Rei lalu melirik dengan pandangan dingin lalu memberikan kode untuk menuangkan scotch ke dalam gelasnya. Langkah pramugari itu cukup menggoda meski ia tak berpakaian terlalu seksi.

Mata Rei lantas menatap belahan dada yang terlihat sedikit menyembul dari balik seragam hitam dan merah itu. Pramugari itu bukannya tak menyadari, ia malah makin menurunkan tubuh dan melambatkan gerakan. Dengan jari telunjuknya, Rei lantas menjulurkan dan menyentuh ujung belahan dada tersebut.

Senyuman nakal lantas muncul dari pramugari yang melayani minumannya saat ini.

"Jika saja aku tak punya pacar, aku akan menidurkanmu di atas meja ini. Aku punya cukup banyak waktu," gumam Rei dengan suara beratnya. Jari yang ia gunakan untuk menyentuh lalu ditarik dan ditempelkannya di bibir.

"Di belakang ... kosong," jawab si Pramugari dengan suara yang dikecilkan. Rei sedikit tersenyum menyeringai. Pramugari itu lantas menegakkan tubuhnya lalu berjalan melenggok ke arah belakang pesawat. Rei pun ikut bangun dan membuka kancing jasnya, sebelah tangannya lalu menutup pintu kokpit menuju pilot. Ia lalu berjalan mengikuti pramugari yang membawanya ke dekat sebuah sofa di dekat bar.

Pramugari itu lantas menutup tirai dan membuka topinya. Ia lalu duduk dan di atas sofa dan melipat kakinya dengan baik. Rei hanya diam saja melihat dengan cengiran sinis serta dingin di bibirnya. Pramugari itu tanpa ragu membuka tali pinggang dan ziper celana milik Rei Harristian untuk mulai memuaskan perjalanannya.

Rei tersenyum dan melenguh menengadahkan wajahnya ke atas saat mulut cantik itu mulai mengulum miliknya. Tak bisa mudah masuk karena ia tak punya ukuran rata-rata. Sebelah tangan Rei menopang ke arah kompartemen dan sebelah lagi menjambak rambut si Pramugari. Gerakan maju mundur memaksa adalah yang selanjutnya terjadi.

Rei bukan pria yang suka hubungan manis. Baginya seks adalah sebuah kebutuhan yang harus dipuaskan apa pun keadaannya. Maka menjambak atau mengentak dengan keras adalah kebiasaan dan kesukaannya.

Rasanya pramugari itu bisa saja mati tercekik dengan milik Rei di tenggorokannya tapi Rei tak peduli. Selama puncak belum ia capai, ia akan terus menaikkan level sentakannya.

Pesawat melayang dengan sempurna menuju salah satu landasan pacu pribadi milik keluarga Harristian. Bandara pribadi itu adalah salah satu warisan Arjoona Harristian untuk putranya Rei Harristian.

Untungnya acara cekik mencekik itu sudah selesai sebelum pilot memerintahkan untuk mengencangkan sabuk pengaman.

Sambil memakai kacamata hitamnya kembali, Rei turun dari tangga pesawat menuju mobil yang sudah disiapkan untuknya. Beberapa pengawal akan membawanya ke hotel Poseidon tempat audisi berlangsung.

Mobil limosin mewah itu melewati panjangnya antrian para peserta audisi yang dilakukan di hall utama milik hotel Poseidon di Boston. Kali ini adalah tahun kedua audisi pencarian bakat menyanyi baik solo maupun grup.

Sambil melirik dingin, mobil limosin itu lantas dikawal masuk ke parkiran basement yang khusus diperuntukkan untuk tamu-tamu VIP. Rei tak bisa melewati lobi utama karena semua wartawan sedang menunggunya. Namun ternyata ia masih tak selamat, begitu ia keluar, seluruh wartawan yang ternyata menunggunya kini hendak datang mengerubungi.

Dengan cepat, sebelah tangannya memberikan kode bagi kepala pengawal untuk menghentikan langkah mereka. Direktur acara langsung mendampingi Rei Harristian masuk ke dalam lift pribadi untuk naik ke lantai lima tempat acara audisi itu berlangsung.

Direktur acara terus memberikan laporan detail pada Rei Harristian, si pemilik label rekaman terbesar dan terbaik di Amerika. Siapa yang tak kenal raja Entertainment dan musik, Alrescha Harristian?

Skylar Labels menaungi berbagai label rekaman dan agensi entertainment yang menguasai pangsa musik, film, televisi sampai production house. Kini Skylar bahkan mulai mengakuisisi beberapa label ternama yang dulu melegenda namun mulai bangkrut karena ditinggalkan para artisnya.

Rei membeli semuanya, apa pun yang dia ingin. Ratusan artis dan puluhan produser bernaung di bawah kakinya. Ia mencetak puluhan bahkan ratusan bintang-bintang baru dalam dunia hiburan. Bahkan uangnya mulai dihamburkan untuk membeli berbagai platform digital, media sosial dan musik.

Rei sendiri masih menjadi produser untuk beberapa penyanyi terkenal, termasuk adiknya sendiri Venus Harristian dan dilibatkan dalam pembuatan album musikal milik Putri Alexander pada drama terbarunya.

Skylar sendiri berdiri setelah berbagai label rekaman dikumpulkannya menjadi satu perusahaan. Ia diambil dari nama band rock alternatif yang telah bubar milik Ares King.

"Apa Christina sudah tiba?" tanya Rei setelah direktur itu memberikan laporannya.

"Ah, Nona Megan sedang bersiap-siap di kamarnya." Rei sedikit menyeringai dan mengangguk.

"Aku akan berada di kamarku sebentar, jika audisinya sudah setengah jalan aku ingin melihat hasilnya!" ujar Rei dengan suara beratnya.

"Baik, Pak!" pintu kamar tempat Rei akan menghabiskan malamnya telah disiapkan. Di kamar itu ia sudah bisa membayangkan akan bercinta habis-habisan dengan Christina Megan, kekasihnya. Sayang Rei tak bisa menunjukkan pada siapa pun jika mereka memiliki hubungan. Media selalu mengitari Rei dan reputasinya bisa hancur karena dituduh menjadi pendukung penyanyi kontroversial seperti Christina.

Rei lantas mengambil sebuah majalah Entertainment ternama dari salah satu keranjang dan mengernyitkan kening. Fotonya terdapat di depan sampul namun bukan yang utama. Masalahnya adalah di foto itu ia tertangkap tengah bercengkerama dengan Ares.

"Shit!" umpatnya kesal. Belum selesai ia mendengus ponselnya berdering lagi kali ini, si pemilik gambar yang menelepon.

"Hey yo, Bro. Dimana lo!" sahut Ares separuh berteriak pada Rei yang menghempaskan punggungnya ke sofa dengan kesal.

"Gue sedang kesal!"

"Kenapa lagi?"

"Cover itu muncul lagi. Kali ini judulnya malah lebih gila, apa orientasi seksual si hebat Rei Harristian! Shit!" umpat Rei dengan kesal gara-gara judul itu.

"Mereka nuduh lo gay lagi?"

avataravatar
Next chapter