17 Don't Forget About You

Dengan jas rapi dan dasi terpasang baik, Ares King duduk di sebuah cafe langganannya untuk sarapan pagi. Ia membaca koran, duduk dengan melipat kaki lalu menyesap kopi yang ia ambil di atas mejanya. Jupiter King datang tak lama kemudian dengan penampilan yang juga rapi tapi tak memakai dasi. Ia langsung duduk di dekat Ares dan mengangkat tangan pada seorang pelayan yang siap membawakan pesanannya.

"Bawakan pesanan biasa dan jangan terlalu banyak keju!" pelayan itu mengangguk dan berbalik berjalan ke dalam untuk mempersiapkan makanan bagi kembaran Ares itu.

"Lo kayak orang tua baca koran. Kenapa gak baca berita online?" sindir Jupiter ikut melipat kakinya seperti Ares. Ares tersenyum dari balik korannya dan memilih tak menjawab. Ada berita kriminal yang menarik perhatiannya. Kadang slot berita online tak menyajikan berita dari pinggiran seperti itu. Mereka duduk dengan tenang sambil menunggu Rei Harristian yang sedianya sudah harus datang 10 menit yang lalu.

"Maaf gue telat!" ucap Rei yang baru datang. Ia membuka kancing jas lalu duduk dengan elegan seperti biasa. Pelayan langsung datang dan menerima pesanan Rei untuk sarapan hari ini. Setelah semua pesanan tiba, Ares melipat kembali koran dan meletakkannya di kursi di dekatnya.

"Tumben lo rapi!" celetuk Rei pada Ares yang terlihat lebih rapi dari biasanya. Ares hanya menaikkan alisnya dan memotong waffle untuk kemudian ia masukkan ke dalam mulutnya.

"Gue ada rapat hari ini. Seharian sampe malam!" jawab Ares singkat.

"Lo mau cerita apa, Rei?" tanya Jupiter sambil memotong egg bacon miliknya. Rei menarik napas dan meletakkan pisau serta garpu yang sebelumnya ia pegang. Rautnya mulai serius.

"Cewek yang kemaren itu ternyata bukan cewek panggilan, Res!" tukas Rei sambil menoleh pada Ares. Ares mengangkat pandangannya dan mengernyitkan kening.

"Cewek apa?" sahut Jupiter.

"Cewek yang gue tidurin di Boston!" Jupiter makin bingung.

"Lo tidurin cewek di Boston? Christina?" tanya Jupiter lagi. Ares mendengus dan menggeleng pada Jupiter.

"Dia uda putus sama Christina. Dia tidur dengan cewek lain," jawab Ares dan Jupiter pun membulatkan bibirnya lalu mengangguk.

"Lo tau darimana dia bukan cewek panggilan?" tanya Ares lagi pada Rei.

"Semalam gue ketemu Dalton. Dia ngaku kalo cewek itu salah satu peserta audisi." Sontak mata Ares membesar.

"Haa ... maksud lo? Lo tidur sama salah satu peserta?" Rei mengangguk pelan dan menundukkan matanya.

"Kalo media tau mereka akan gampang nuduh itu sebagai pelecehan seksual lalu polisi turun tangan dan akhirnya lo masuk penjara!" ucap Jupiter sambil mengunyah dengan santai. Rei menoleh pada Jupiter dan menarik napasnya kesal. Ia melempar serbet makan di sebelah kanan dan melipat kedua lengan di dadanya.

"Gue rasa Dalton itu pengen ngejebak elo. Lo mau gue kasih pelajaran ke dia?" tawar Ares kemudian. Rei berpikir sejenak lalu menggelengkan kepalanya.

"Gak jangan dulu. Gue pengen cari cewek itu dulu. Lo berdua mau bantuin gue kan?" Ares dan Jupiter lalu saling menoleh satu sama lain.

"Untuk apa lu cari cewek itu?" tanya Jupiter lagi. Ares menusuk sebuah strawberry dan memasukkannya ke dalam mulut sebelum bicara pada Rei.

"Rei, gue uda bilang kan! Jangan cari cewek yang bikin masalah sama lo. Kemaren Christina sekarang cewek gak jelas!"

"Bukan cewek gak jelas. Cewek itu masih perawan waktu tidur sama gue!" potong Rei membuat Jupiter dan Ares terdiam.

"That's bad, Man!" celetuk Jupiter antara miris dan menyindir. Rei makin menunduk lagi.

"Gue merasa bersalah. Dan gue kayak ngerasa habis ngerusak hidup orang lain. Mungkin cewek itu uda stress, depresi sekarang. Dia ikut audisi tapi malah ... " Rei berhenti bicara dan tak sanggup meneruskannya. Sedangkan Ares dan Jupiter hanya diam mendengarkan.

"Gue pikirin ini seharian, semaleman bahkan sampe berhari-hari. Entah kenapa gue ngerasa tindakan gue bener-bener salah," sambungnya lagi. Ares menarik napasnya dan mengangguk.

"Ya udah, berarti kita harus tanya sama panitia audisi di Boston. Kira-kira gimana ciri cewek itu? Apa lo masih ingat? Atau lebih bagus kalo lo ingat namanya?" tanya Ares lagi. Rei mencoba mengingat detail.

"Gue gak tau namanya siapa. Tapi dia cantik, cantik banget. Trus rambutnya pirang, wangi dan matanya biru," ujar Rei sedikit mengulum senyum ketika menjelaskan. Ares mengernyitkan kening dan melirik pada Jupiter yang sempat terkekeh dan membuang pandangannya sejenak ke arah lain.

"Pirang? Rambutnya wangi? Lu sampe ciumin rambutnya? Gila lo!" tukas Jupiter sedikit terkekeh. Rei pun jadi tersenyum.

"Habisnya rambutnya bagus, dan pas gue cium rambutnya memang wangi. Kayaknya dia bukan cewek biasa. Maksud gue, kayaknya cewek dari keluarga kaya." Ares memegang dagunya dan berpikir dengan kening mengernyit.

"Gak ada salahnya periksa kamera pengawas. Gue yakin kalo dia peserta pasti datanya ada di panitia bukan?" Rei mengangguk.

"Tapi ribuan orang yang ikut darimana kita bisa ketemu dia?" tanya Rei lagi.

"Kita cari video hari kejadian itu, gue yakin dia pasti tertangkap kamera." Jupiter mengemukakan pendapatnya. Rei mulai tersenyum dan mengangguk.

"Kalau udah ketemu, apa yang bakalan lo lakuin?" tanya Ares lagi usai meminum kopinya. Rei tampak diam dan berpikir.

"Minta maaf. Gue harus minta maaf."

***

Josh terus berjalan cepat dan akhirnya berhasil meraih tangan Honey yang keluar dari mobilnya sambil menangis.

"Honey, aku minta maaf. Aku tidak bermaksud berbuat seperti itu padamu!" ujar Josh memohon maaf pada Honey usai ciumannya ditolak lagi olehnya. Honey yang merasa bersalah dan trauma hanya bisa menangis dan menggelengkan kepalanya.

"Maafkan aku, aku tidak bisa jadi pacarmu!" isak Honey lalu berbalik dan berjalan lagi menjauh dari Josh yang mengantarkannya ke rumahnya. Josh terengah dan memegang kepalanya dengan perasaan menyesal.

"Honey ... Honey, aku minta maaf!" ujar Josh lagi separuh berteriak. Tapi Honey tak peduli dan langsung naik ke teras rumahnya lalu membuka pintu dan masuk ke dalam. Abraham yang melihat mobil yang mengantarkan Honey berniat menghampiri tapi ia malah melihat Honey menangis dan seorang laki-laki yang mengusap kepalanya berkali-kali begitu kesal dan sedih.

Abraham lebih memilih untuk mengejar Honey daripada bertanya pada laki-laki itu apa yang terjadi. Namun ketika ia masuk, matanya membesar. Honey terlihat tengah muntah-muntah di wastafel dapur sembari terbatuk.

"Sayang kamu baik-baik saja?" tanya Abraham begitu panik dan membantu Honey. Honey membersihkan mulutnya sementara ayahnya membawakan beberapa lembar tisu untuknya. Honey hanya bisa mengangguk dan Abraham membawa Honey ke kursi terdekat agar bisa duduk. Sambil berlutut, Abraham mencoba mencari tahu apa yang terjadi pada putrinya.

"Apa yang terjadi? Wajahmu pucat!" Abraham begitu cemas dan terus membelai kepala Honey. Ia lantas berdiri dengan cepat mengambil segelas air untuk Honey. Honey pun meminum airnya perlahan dan meletakkan gelas di sampingnya. Tangan Abraham terus membelai rambut Honey agar ia jadi lebih tenang. Garis tangis masih terlihat di pipinya dan itu sempat diseka lembut oleh Abraham.

"Ada apa, Sayang? Katakan pada Daddy apa yang terjadi," tanya Abraham lembut pada Honey yang menahan tangisnya. Honey terus memandang ayahnya. Ia tak mungkin cerita jika ia pernah diperkosa seorang pria yang tidak ia kenal saat di Boston dan kini hal paling buruk telah terjadi padanya.

"Honey ... katakan sayang, ada apa?" Honey memilih untuk memeluk ayahnya lebih erat.

"Maafkan aku, Daddy! Aku telah membuatmu kecewa. Aku bukan gadis baik!" isak Honey sambil memeluk erat pinggang ayahnya. Abraham makin mengernyitkan kening. Perasaannya jadi tak enak sama sekali. sepertinya hal buruk memang sudah terjadi selama ini pada Honey.

"Katakan saja, Sayang. Daddy pasti akan memaafkanmu. Apa yang sudah kamu lakukan?" tanya Abraham lagi dengan lembut dan melepaskan pelukannya dari Honey. Kedua tangannya memegang pipi Honey yang memerah dan mata birunya yang penuh dengan air mata.

"Dad ..." Abraham terus menunggu dan menatap Honey dengan penuh harapan.

"Katakan, Nak. Daddy tidak akan marah." Honey menutup matanya dan air matanya terus tumpah.

"Aku hamil," bisiknya lirih.

avataravatar
Next chapter