8 Runtuh

Setelah mencoba beberapa langkah maju, aku terhenti tepat di ujung jembatan. Tanganku yang gemetar meraih teralis di sebelah kiri.

Aku baru menyadari, teralis itu memiliki desain yang artistik sekali. Padahal ini hanya sebuah jembatan di tengah hutan yang sepertinya jarang sekali dipakai. Catnya yang berwarna hijau gelap terkelupas dimakan usia, tapi jelas terlihat bahwa teralis itu memang sengaja dibuat sangat cantik.

Pandangan mataku masih kabur saat Astro berdiri tepat di hadapanku. Dia memberi isyarat agar aku memegangi ranselnya dan menuntunku. Setiap langkah terasa lama sekali bagiku. Terasa seperti aku sedang membenamkan diri ke dalam kegelapan yang menyesakkan.

Kueratkan pegangan tangan kananku di ranselnya, dengan tangan kiriku meraba teralis yang dingin. Mataku terbuka, tapi pandangan mataku gelap dan segala benda terasa bergerak berputar mengitariku dengan cepat, membuatku merasa seperti orang buta.

"Udah." satu kata dari Astro berhasil menyadarkanku. Dia tersenyum lebar sekali dan entah kenapa kali ini dia terlihat sangat tampan di mataku.

Kakiku lemas. Tubuhku basah oleh keringat. Saat aku memberanikan diri untuk menoleh ke belakang, terasa ada suatu beban tak kasat mata yang terasa terbang dari hatiku. Lega sekali.

Tubuhku terduduk saat wajah Ayah, Bunda, Fara dan Danar berkelebat di mataku. Bulir air mengalir deras sekali dari pelupuk mataku, terasa panas dan sesak. Aku menangis sejadi-jadinya. Bahkan, aku beberapa kali berteriak histeris seperti orang gila.

Kenapa kalian justru tersenyum padaku? Tak tahukah kalian, aku rindu sekali?

Setelah rasanya seperti selamanya. Dengan isak yang tersisa, juga mata yang terasa bengkak dan wajah yang terasa panas, aku baru menyadari permukaan tanah di sekitarku terasa dingin menyejukkan.

Astro duduk bersila di depanku. Entah berapa lama dia menungguku menyelesaikan tangisanku dan baru sekarang aku merasa malu. Aku terlihat seperti apa sesaat lalu?

"Ingus kamu tuh." ujarnya sambil menunjuk ke hidungku.

Aah ini memalukan.

Aku mengelap apapun yang ada di wajahku asal saja saat Astro menyodorkan botol air minumnya padaku. Senyum di bibirnya terlihat menyebalkan sekali.

"Maaf." ujarku dengan tenggorokan yang entah kenapa terasa tercekat.

Astro menggeleng sesaat. Senyumnya yang menyebalkan masih mengembang saat bangkit berdiri, yang membuatku ikut bangkit. Aku menuang air ke tangan dan membasuh wajah, lalu meminum beberapa teguk dan menarik napas panjang. Terasa segar sekali.

Mataku masih terasa bengkak. Wajahku pun masih terasa panas, tapi angin semilir yang menerpa wajahku terasa lembut dan nyaman.

Aku menyodorkan botol milik Astro saat dia melanjutkan langkah. Kami berjalan beberapa puluh meter saat menemukan sebuah rumah pohon yang sudah tua, tapi masih terlihat kokoh. Astro memanjat tangga menuju ke atas saat aku masih terpaku menatapi tingginya rumah pohon di hadapanku.

Terdengar suara burung berkicau di antara suara gesekan angin yang melewati pepohonan. Baru kusadaei wajahku yang sesaat lalu basah mulai mengering dan terasa dingin.

"Kamu ga naik?" Astro berteriak dari salah satu lubang jendela di atas sana. Aku tidak menjawabnya, tapi mulai menaiki anak tangga satu-persatu.

Tinggi rumah pohon itu sekitar tujuh meter kurasa. Angin yang berhembus di atas sini terasa lebih kencang, menerbangkan helaian rambutku dengan lembut. Nyaman sekali.

Aku mengedarkan pandangan saat sampai di anak tangga paling atas. Lebar rumah pohon ini tidak terlalu kecil, tapi juga tidak besar. Sekitar 3 x 2,5 meter dengan sebuah balai kayu yang bisa dipakai untuk beristirahat. Mungkin aku bisa mengajak Denada dan Mayang ke sini lain kali. Kurasa rumah pohon ini akan mampu menampung kami bertiga.

Terdapat banyak kertas tertempel di satu bagian dinding. Saat kuteliti lebih dekat, aku menemukan inisial DR di setiap lembarannya, dengan gaya tulisan disambung yang familiar. Itu milik Bunda.

DR adalah inisial yang Bunda letakkan di manapun di setiap hasil karyanya. Aku menemukan inisial itu di segala tempat di rumah kami di Bogor yang sekarang kutinggalkan dan kosong.

Entah apa yang terjadi, tapi hatiku terasa hangat. Aku sedang menimbang akan membawa pulang semua sketsa itu atau kubiarkan saja seperti ini saat Astro berdiri tepat di sebelahku.

"Itu udah ada di sini dari pertama aku ke sini. Aku ga mau ganggu barang punya orang lain, jadi aku biarin. Lagian sketsanya bagus." ujarnya.

"Kalau bundaku masih ada, aku bisa kenalin ke kamu." ujarku sambil mengelus inisial nama Bunda di salah satu lembaran yang tertempel. "Brownies bikinan Bunda enak banget."

"Semua sketsa ini Bunda kamu yang bikin?"

Aku mengangguk. Kurasa aku akan membiarkan semua sketsa ini di sini. Lagi pula aku memiliki cukup banyak barang peninggalan Bunda di rumah.

"Tadinya kupikir DR itu dokter." ujar Astro yang terlihat bingung.

"Itu inisial nama bundaku; Danastri Rawika. Kalau kamu main ke rumahku di Bogor kamu bisa liat inisial itu di mana-mana."

"Kamu pakai inisial juga kalau lagi bikin sketsa?"

Aku menggeleng, tapi tersenyum. Kurasa aku menemukan fakta bahwa Bunda memang sedikit narsis. Aku tak begitu percaya diri untuk menaruh tanda memiliki semacam menaruh inisial seperti itu.

Haruskah aku mulai membubuhi hasil karyaku dengan inisial seperti bunda? MM; Mafaza Marzia?

Astro mengajakku memakan bekal yang kami bawa dari rumah saat matahari mulai terasa terik. Aku yang semula tak merasakan apapun tiba-tiba merasa lapar. Dua kotak berisi sushi, telur dadar gulung, sosis dan lumpia basah segera berpindah ke perut kami.

Setelah istirahat selama beberapa lama, aku mengeluarkan buku sketsa dan kembali turun. Aku berencana membuat sketsa rumah pohon untuk kubawa pulang, sedangkan Astro memilih untuk tidur di balai kayu.

Kami pulang saat bayangan pohon mulai memanjang. Aku masih merasa buruk saat kembali melewati jembatan karena harus mengulang ketakutan yang sama sekali lagi. Astro memintaku berpegangan pada ranselnya dan dia kembali menuntunku melanjutkan langkah. Kelegaan luar biasa sekali lagi kurasakan saat kami sampai di ujungnya.

Aku berniat akan melewati jembatan itu lebih sering untuk menghilangkan ketakutanku saat menyusuri sawah, tapi sepertinya aku membutuhkan keberadaan Astro untuk menemaniku. Aku merasa tak cukup memiliki keberanian jika harus ke sana seorang diri. Namun aku harus bersabar sebentar lagi karena Astro sudah berkata hari ini adalah hari terakhir dia menyempatkan diri untuk bermain bersamaku sebelum waktu liburan sekolahnya tiba. Aku akan memintanya menemaniku lagi saat dia memiliki waktu luang lebih banyak. Kuharap dia tak akan menolak.

=======

Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE

Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte

Novel ini TIDAK DICETAK.

Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini EKSKLUSIF & TAMAT di aplikasi WEBNOVE.L. Pertama kali dipublish online di WEBNOVE.L tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.

Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEBNOVE.L, maka kalian sedang membaca di aplikasi/website/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke LINK RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx

Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung novel ini dengan nulis komentar & review, juga gift karena bikin nou semangat.

Terima kasiiiih buat kalian yang SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya. Luv kalian, readers!

Regards,

-nou-

avataravatar
Next chapter