webnovel

Alviena

Tidak seperti saat gelap tadi, perjalanan pulang menelusuri hutan dikala matahari bersinar terik sekarang terbilang cukup mudah, walaupun harus memakan waktu lama karena banyaknya pepohonan yang terlihat sama. Beruntung Ricardo dan istrinya mendengar gemericik air tak jauh di sana. Negara Tears of Irin yang baru saja mereka Elf buat 1 tahun lalu, terdapat banyak sekali pengairan air hingga membuat ras lain yang singgah ke kota Elf menyebut Tears of Irin sebagai kota anugrah air.

Mengikuti aliran sungai itu hingga akhirnya mereka dapat keluar dari hutan tersebut sebelum malam. Tepatnya saat tiba di rumah, warna keemasan matahari mulai berganti dengan cahaya bulan. Di dalam rumah kecil yang hanya bermandikan cahaya dari bunga Arock. Sesuai permintaan. Tetua Elf datang ke rumah Ricardo bersama Aden, untuk membicarakan perihal bayi yang mereka temukan

"Hina, hina, hina bagi seorang Elf berdarah suci mendekati kegelapan," lantang sekali tetua Elf bersuara. Ia berkecamuk penuh kemurkaan setelah mengetahui bayi yang dibawa Ricardo dari ras Elf bermata merah.

Sementara Ricardo hanya tertunduk, tak berani menatap tetuanya yang marah. Istrinya hanya bisa bersingkut di sisi sang suami sambil memeluk lengan kanannya.

Ricardo dapat merasakan kecemasan sang istri. Bukan cemas karena kemarahan tetua tetapi, cemas jika bayi di gendongan suaminya yang sudah ia anggap sebagai anak sendiri harus terpisahkan.

Ricardo tidak akan mau lagi melihat istrinya bersedih, ia harus mempertahankan kebahagiaan istrinya sekarang walaupun harus mengotori darah sucinya.

Egois memang. Tapi Ricardo sudah tak menemukan cara lain untuk membuat istrinya bahagia. Dan kali ini dia mendapatkan kesempatan itu, dan Ricardo tidak akan mau melepaskannya.

Seraya mengerahkan kekuatan, Ricardo menatap wajah tetua Elf. "Dia hanya bayi. Kegelapan mungkin memang ada dalam dirinya tapi tak menutup kemungkinan juga jika cahaya masih bisa menghilangkan kegelapan dalam tubuh kecilnya ini." Dia hanya berbicara sekenanya saja, tanpa mengetahui apa yang diucapkannya itu benar.

Ricardo dapat jelas sekali melihat kemarahan tetuanya. Matanya begitu tajam dan rahangnya mengerat, jelas sekali tetuanya sedang menahan mati-matian emosinya yang hendak menghajar Ricardo.

"Cahaya dan kegelapan adalah musuh abadi," kata tetua dingin. "Tidak akan ada yang menang ataupun kalah, cahaya dan kegelapan akan selalu bermusuhan, dan tak mungkin bisa disatukan. Kau tahu itukan?"

Diucapkan dengan intonasi yang datar dan begitu tenang tapi akan sarat kemarahan, tentu membuat Ricardo terdiam. Istrinya yang menyadari keadaan Ricardo, mulai menatap tetua. Cukup sudah dia berdiam, sebelumnya suaminya sudah meminta sang istri untuk diam. Tapi apa yang dilihatnya, Ricardo sendiri malah terdiam, sepertinya memang dialah yang harus menyelesaikannya.

"Walaupun dia terlahir dari kegelapan, dia tetaplah seorang bayi yang tak berdosa. Baik dan buruk, ia masih belum mengetahuinya. Dan kita bisa membimbingnya agar menjadi Elf baik dan mempunyai kepribadian sama seperti kita yang terlahir dari cahaya." terang istri Ricardo. "Apakah bukan hina jika kita menelantarkan bayi tak berdosa ini?"

Tetua menghela nafas panjang. Mulutnya kembali dikatup rapat dan matanya menatap wanita tua itu. Semua Elf mengetahui tentang anak mereka yang tewas dimakan oleh hewan. Dan sudah dua puluh tahun sejak itu, suami-istri di depannya ini masih belum bisa melupakan anak mereka itu.

Mengusap wajah kasar, lalu matanya melirik ke arah Ricardo yang masih duduk terdiam menundukkan kepala. Kembali menatap wanita tua yang terus memandangnya tajam.

"Ini bukan masalah baik atau buruk." ucap tetua pelan, sorot matanya penuh perhitungan. "Aku sudah sangat sering mengatakan ini." Matanya menajam, seserius mungkin agar wanita tua di depannya sekarang dapat memahami kebenaran. "Cahaya dan kegelapan tidak akan pernah bersama."

Istri Ricardo terdiam, menyakitkan sekali saat ia sudah tak mampu lagi bicara. Apa yang dikatakan tetuanya adalah kebenaran yang sudah diketahui mereka Elf sejak terlahir. Tapi mengapa ia malah merasakan emosi menggelegak menyakitkan. Namun, ia berusaha keras agar dapat bicara. Meneguhkan hati untuk benar-benar yakin dengan pilihannya.

"Kita bisa melawan itu kan?"

"Apa kau ingin membuang anugrahmu?" sentakan suara tetua Elf begitu keras, membuat wanita tua itu terkaget.

Apalagi ketika menyadari tatapan tetuanya yang menajam, membuatnya menahan takut dalam gemetar. Mencoba berusaha untuk tenang, istri Ricardo menelan ludah. "Ya, aku hanya ingin bersama bayi ini." Tidak memandang ke arah tetuanya. Tatapannya kini lekat pada bayi di gendongan suaminya.

Tetua Elf mencoba agar dapat tenang. "Aku mengerti dengan perasaanmu." Kali ini suara tetua lebih lembut. "Tapi kau sendiri tidak tau bayi ini berasal dari mana...."

".... kita terlahir sudah jauh dari dulu, sedangkan bayi ini baru terlahir sekarang. Sangat tidak mungkin jika dewi Agita yang menciptakannya. Terlebih lagi ia Elf yang terlahir dari kegelapan, mungkin saja yang menciptakannya adalah dewa kematian."

"Dewa kematian tidak pernah menciptakan makhluk yang berwujud seperti manusia. Makhluk ciptaan dewa kematian hanyalah bangkai-bangkai bernyawa berupa iblis." Istri Ricardo dengan cepat menanggapi perkataan tetuanya.

Tetua Elf berdiam seraya berpikir agar wanita tua itu dapat mengerti dan menerima kebenaran jika kegelapan dan cahaya tak mungkin bisa bersama. Tetapi rupanya, istri Ricardo malah memancing kembali emosi tetua Elf.

"Aku akan melakukan apapun sekalipun membuang anugrah cahayaku, asal aku bisa bersama bayi ini."

"Cukup!!!" seru tetua dengan suara meninggi. Emosi yang sudah dia tahan, akhirnya menggeledak. Melempar rendah pisau yang terjatuh tepat di depan Ricardo. "Bunuh bayi itu. Jika tidak, pergi dari sini dan jangan pernah sebut lagi diri kalian sebagai Elf."

Ricardo tergeming. Matanya menatap tetua lekat, mencoba mengetahui dari tatapan tajam tetuanya, berharap apa yang dikatakan barusan hanyalah bualan. Namun mata yang tersorot akan penuh emosi itu, sama sekali tak menunjukkan candaan. Inilah yang paling Ricardo takuti, diasingkan oleh bangsanya sendiri.

Dengan tenangnya Ricardo mengambil pisau yang dilempar tetuanya tadi.

"Apa yang kau lakukan Ricardo?" cicit istrinya bergetar. "Aku tidak masalah jika kita harus pergi dari sini. Asalkan kau dan bayi ini bersamaku, aku akan tetap bahagia." Katanya pelan. Berharap suaminya dapat mengerti dan kembali meletakkan pisau itu. "Kau juga sudah menganggap bayi ini seperti anakmu sendiri, kan?"

Ricardo tersenyum. Mata bulat bayi di gendongannya kala menatap diwaktu sekarang, mengingatkan Ricardo dengan anaknya dulu yang juga sangat menyukai menatapnya.

"Kau percaya padaku, kan?" ucap Ricardo lirih. Pisau dipegangannya terayun, mengiris telapak tangannya sendiri.

Sang istri tergelak. Ia tak sampai pikir, jika suaminya akan melakukan tindakkan sejauh itu. Apa itu semua demi dirinya? Jantung sang istri berdebar, ada rasa bahagia sekaligus bersalah pada suaminya.

"Tidak apa-apa." ucap Ricardo, seakan mengetahui apa yang ada dalam pikiran istrinya. "Jika kau bahagia aku pun juga akan bahagia." Ricardo tersenyum pada istrinya.

Selama dua puluh tahun, pada akhirnya Ricardo berhasil membuat istrinya tersenyum karena dirinya sendiri. Itu menenangkan. Membuat Ricardo dapat menatap tajam tetua Elf.

"Apa yang ingin kau lakukan?" Amarah tetua memuncak, memaksa dia mengeluarkan suara berat seperti sebuah ancaman yang menakutkan.

Keberaniannya telah mendorong Ricardo untuk membalas ucapan tetua dengan sikap yang tenang. "Bisakah tetua memberikan kesempatan pada kami, untuk membesarkan bayi ini?" Matanya menatap kelam akan sorot harapan. "Aku memang tidak bisa menghilangkan kegelapan dalam diri bayi ini tetapi, anugrahku dapat menyembunyikan kegelapan dalam dirinya."

Ricardo memberi jeda. "Jika suatu saat nanti anak ini menyebabkan masalah bagi bangsa kita, maka aku sendiri yang akan membunuhnya." Tatapan Ricardo kali ini menjadi seserius mungkin agar tetuanya mengetahui tak ada kebohongan dalam perkataannya.

Tak ada tanggapan dari tetua Elf, hanya diam membisu memaku pelotot tajam dengan rahang yang mengeras, dan kedua tangan yang terkepal kuat.

Dalam keadaan hening tersebut Ricardo, mengambil tindakannya sendiri, darah yang menetes dari telapak tangannya di dekatkan ke mulut bayi di gendongannya. Bayi yang sejak tadi selalu tersenyum dan melambaikan tangan yang hendak meraih wajah Ricardo. Saat tetes darah dari telapak tangan Ricardo berhasil masuk ke mulut mungil di gendongannya, membuat bayi itu tersedak yang secara perlahan juga mengubah mata warna merahnya menjadi biru terang yang indah.

Masih diam tetua Elf. Dalam benaknya terus berkacamuk kemarahan tiada henti. Apalagi saat ia melihat Ricardo telah memberikan darah sucinya pada bayi kegelapan. Hal itu berarti sama saja telah mengotori darah sucinya sendiri atau telah menentang cahaya. Dan sudah sepatutnya tetua Elf mengusir Ricardo, tak ada yang harus dipertahankan lagi dari dirinya, dia yang telah terjun dalam kegelapan akan hanya menjadi aib bagi Elf lainnya.

Tetapi apa yang terlihat hanyalah suasana hening. Tak ada suara dari tetua Elf, mulutnya tertutup rapat, bahkan ekspresinya begitu dingin. Sampai setelahnya, saat bayi di gendongan Ricardo, melirik ke arah tetua. Matanya yang sekarang berwarna biru cerah bersitatapan dengan iris hijau tetua. Bagaikan memanjarakan keheningan, tetua Elf tak dapat menjauhkan pandangannya dari iris biru bayi itu. Sebab tetua Elf, telah tersesat pada kedalaman iris mata air laut yang terhampar sinar matahari hangat.

"Aku akan pergi dari negara Irin." Ricardo menyadari tidak akan mungkin lagi diterima sebagai Elf, karena telah membuang darah sucinya. "Tapi sebelum itu, aku punya permohonan!"

Aksen suara Ricardo yang tenang tapi menghanyutkan, membuat tetua Elf tersadar. Matanya kini menatap mata Ricardo yang tersorot keseriusan.

"Aku ingin tetua dan Aden merahasiakan kebenaran tetang anak ini. Anggaplah juga dia Elf yang terlahir dari cahaya, dengan begitu kegelapan dalam dirinya akan terus terkurung." Ricardo sengaja menundukkan kepalanya agar bayi di gendongannya dapat dengan mudah meraih wajahnya. Seraya tersenyum dan membelai lembut rambut tipis bayi itu, Ricardo melirik ke arah istrinya.

"Aku tidak akan memaafkan diriku jika, kau juga harus pergi dari negara Elf. Tetaplah di sini, besarkan anak ini agar tumbuh sama seperti anak kita dulu yang ceria dan penuh semangat." Ricardo tersenyum tulus. Iris hijaunya kini menatap lekat iris istrinya, inilah mungkin akan menjadi hari terakhirnya dapat melihat istrinya begitu dekat. "Bahagialah. Aku ingin kau terus bahagia. Aku akan terus mengamatimu dan anak ini walaupun aku tak berada di sisimu."

"Ricardo," ucap lirih istrinya. Ia dapat merasakan bagaimana emosinya menggelegak menyakitkan, hatinya bagaikan teriris hingga membuatnya bergetar melawan tangis yang hendak mengucur deras.

Bersama bayi di gendongan Ricardo memanglah keinginannya tetapi, dia tidak pernah menginginkan harus berpisah dengan suaminya. Ricardo salah tentang istrinya! Apa menurutnya meninggalkan istrinya, membiarkan dia tetap berdarah suci, dan tinggal di Irin akan membuatnya bahagia?! Istrinya tak pernah menginginkan itu, dan tak akan pernah pula membuatnya bahagia. Kebahagiaan yang sesungguhnya adalah bersama Ricardo, tentu sosok bayi di gendongan suaminya akan menjadi pelengkap kebahagiaan yang sempurna.

Jika Ricardo memang harus pergi dari Tears of Irin maka ia juga harus pergi. Tak masalah jika ia harus membuang anugrah cahayanya atau mengotori darah sucinya, bahkan diusir dari negaranya sendiri sampai dicaci maki oleh bangsanya, ia tak akan memperdulikannya. Selama dia bersama Ricardo dan bayi itu, ia akan bahagia.

Cukup sudah ia menahan emosinya, ia akan mengatakan semua kalimat yang bersemayam di hatinya itu, untuk menyamarkan kebenaran tentang dirinya. Sekalipun Ricardo akan menentangnya, ia akan terus mengoceh sampai suaminya dapat mengerti apa yang benar-benar diinginkannya. Namun saat sang istri ingin membuka mulut, itu terbatalkan karena melihat tetua Elf yang berdiri dari duduknya.

"Kau tak harus pergi sendiri Ricardo!"

Ricardo tercengang, ia mendongak untuk melihat wajah tetua Elf yang berdiri di hadapannya. Sangat jarang sekali tetua Elf menyebut nama seseorang jika dalam keadaan marah. Terlebih lagi bagi seorang Ricardo, sejak dua puluh tahun lalu di mana dirinya gagal melindungi putranya sendiri, membuat tetua begitu marah hingga sejak dua puluh tahun itu, tetua Elf tak pernah lagi memanggil nama Ricardo. Dan sekarang tanpa sebab yang tak jelas tetua Elf memanggilnya dengan nama, untuk pertama kalinya setelah dua puluh tahun lalu.

"Apa maksud tetua?"

"Istrimu juga ingin ikut, bawalah dia dan bayi itu, bukankah mereka keluargamu?"

Istri Ricardo tertegun, sepertinya tetua sangat memahami dirinya. Tanpa disadarinya air mata mengalir di pipi hingga membuatnya langsung mendekap ke suaminya.

"Iya. Kau tak harus pergi sendiri Ricardo."

"Tapi itu sama saja tetua mengusir istriku. Aku membuang Anugrah agar istriku..."

"Aku memang mengusir kalian tapi aku akan tetap menganggap kalian sebagai bangsa Elf." Tetua Elf dengan cepat memotong perkataan Ricardo. "Aku akan mengatakan pada Elf lainnya, kalau kalian hanya pindah kesuatu tempat untuk sementara."

Mendengar tersebut Ricardo menangis tersedu-sedu. Tangannya menyentuh lembut punggung istrinya, membuat wanita tua itu merasa nyaman dalam dekapan sang suami, tak terlupa pula si bayi mungil yang tertawa ria melihat sepasang insan itu berbagi senyum hangat.

Tetua Elf tersenyum kecil, segera ia melangkah hendak keluar rumah. "Apa yang kita bicarakan hari ini akan menjadi rahasia. Dan juga ini bukan berarti aku tidak mengusir kalian." Ada sedikit mimik wajah malu yang ditunjukkan tetua. "Aku ingin melihat bayi itu lagi saat ia sudah besar!"

Tak hayal perkataan tetua tersebut mengundang gelak tawa kecil pada suami-istri itu.

Lalu di depan pintu yang telah terbuka, tetua Elf terdiri diam membelakangi. Pelan-pelan, tetua Elf menoleh ke Ricardo.

"Di selatan benua Azella, ada kota besar bernama Agalta yang dihuni oleh para manusia. Mereka orang-orang baik yang dapat menerima bangsa siapa saja yang mau tinggal di kota mereka!" Tetua Elf memalingkan wajahnya ke depan menatap langit di kala malam hari. "Pergilah ke kota itu, kalian akan aman di sana."

"Iya, terima kasih Tetua." ucap Ricardo.

Tetua Elf akhirnya melangkahkan kaki keluar dari rumah Ricardo.

"Ah, itu tadi menegangkan." Aden menghembus nafas kasar, setelah merasa keluar dari atmosfer yang terasa berat. Namun, dari cara dia menyampaikan kalimat barusan seakan-akan dialah yang tertekan. Padahal yang ia lakukan dari tadi hanyalah menonton.

Aden seorang yang juga diundang Ricardo. Bukan hanya karena bisa dipercayai menyimpan rahasia tapi juga sosok yang sudah dianggap Ricardo sebagai sahabat.

Istri Ricardo telah berhenti dari tangisannya. Bibirnya kini telah terpaut senyum, tatapannya terpaku lekat pada bayi yang masih di gendongan suaminya.

"Terima kasih, Ricardo. Aku mencintaimu" bisik sang istri, membuat wajah Ricardo bersemu merah.

"Senang bisa melihat kalian seperti dulu lagi." Seakan tak menyadari situasi, Aden berbicara. "Jadi, sudah punya nama untuk bayi ini?"

Ricardo mengangguk dan sang istri tersenyum hangat.

Aden menunggu.

"Alviena."

Next chapter