1 Aku dan Penghuni Kamar Kos

"Bang Agus yakin, Gue tinggal di kosan lo?" tanyaku ragu, mengingat teman satu kosan Abangku itu semuanya laki-laki.

"Iya," jawabnya singkat, sembari meletakan tas ransel miliku. Dan tidakp lama ia pergi meninggalkanku seorang diri di dalam kamar kosnya. Kamar yang tidak begitu luas, tapi masih cukup untuk di tinggali berdua. Tempatnya juga nyaman, karena abangku memang terkesan rajin beberes kamar.

Agustina, itulah namaku. Biasa di panggil Tina. Dan Agus Pertama nama Abangku, tau bisa di panggil Agus. Kami tidak kembar, hanya nama kita saja yang sama di awal. Bang Agus empat tahun lebih dulu lahir ketimbang diriku. Dan Bang Agus adalah Abang aku satu-satunya, Abang kandungku. Kami hanya dua bersaudara, tidak ada sanak famili atau keluarga lainya. Yang kami punya hanya kedua orang tua kami yang tinggal di kampung halaman. Entah apa alasan Bang Agus menjemputku, untuk tinggal bersamanya, yang jelas aku cukup senang karena bisa tinggal di kota dan merasakan bagaimana kehidupan di Kota, yang jelas tinggal bersamanya dan selalu di sampingnya adalah keinginanku selama ini. Dan hari ini secara tiba-tiba ia menjemputku, apa alasannya aku juga tidak tahu, aku tidak ada rasa curiga sama sekali.

Pasti kalian berpikir Abang aku itu baik banget, sampai-sampai aku memiliki keinginan tinggal bersamanya di kosannya. Yup, Abang aku itu memang baik dan perhatian banget sama aku, super duper deh baiknya kalau sama aku. Sayangnya dia itu pendiam, tidak banyak bicara, kurang lebih sifatnya dingin kayak kulkas dua pintu atau Es balok, mukanya lempeng, datar dan tidak bayak bicara, sekali bicara habis aku. Bisa bayangin, aku yang cerewet punya abang macam dia, kayak bukan sekandung. Untung aja di bantu sama muka kita yang sama, mirip malah kayak anak kembar, anak kembar beda empat tahun, bahkan nama saja kita sama di awal.

Satu lagi enggak enaknya punya Abang kayak dia, pelit. Heran aku, kerja terus uangnya ke mana? Biaya kuliah aja ditanggung pihak kampus. Otaknya yang cerdas membuatnya dapat beasiswa. Berbanding terbalik denganku yang otaknya pas-pasan, bisa lulus SMA aja sudah sukur.

Tidak lama Bang Agus kembali dengan membawa piring berisi mi goreng lengkap dengan telur mata sapi di atasnya, serta irisan sosis dan cabai.

"Makan dulu," ucapnya, seraya menyodorkan piring itu padaku.

Tanpa banyak bicara aku menerima pemberian Bang Agus dan menyantapnya. Meski hanya mi instan tapi bisa menganjal perutku yang lapar, mengingat aku sedari pagi belum sarapan dan sekarang sudah lewat jam makan siang. Kami tidak sempat sarapan pagi tadi, Bang Agus bilang, takut ketinggalan kereta, dan aku percaya.

Selesai makan, aku keluar kamar. Tidak ada siapa-siapa di indekos. Padahal jam sudah menujukan jam tiga sore. Harusnya sudah ada yang pulang dari kampus jam segini. Tapi entah lah, aku tidak tahu ke mana mereka.

Merasa bosan aku menghidupkan TV, melihat siaran TV kesukaanku dan Bang Agus. Biasanya kita melihat acara kartun dan binatang lucu, kadang aku melihat acara lawak dan stan Up komedi.

Aku sendirian, karena Bang Agus pergi bekerja sesaat memberikan makan siang padaku.

Aku tertawa terbahak-bahak saat komika dari Papua mengeluarkan coks lucunya, bahkan perutku sampai sakit. Terkejutnya aku saat melihat tiga pemuda berdiri di dekatku, sembari mantapku dengan heran. Aku segara bangkit dari tempat dudukku dan pergi masuk ke dalam kamar Bang Agus, dan mengunci pintu rapat-rapat.

"Astaga, sejak kapan mereka di sana?" gumaku. Sembari mengatur nafasku yang terengah-engah.

"Ada apa?"

Dari dalam kamar aku mendengar suara Bang Agus, sepertinya dia sudah pulang.

"Cewek, Bang," jawab salah satu dari mereka.

"Oh."

Dari cara bicaranya, Bang Agus sepertinya mengerti akan maksud mereka. Dan setelah itu aku tidak mendengar suara Bang agus lagi.

Malamnya, aku masih berdiam diri di kamar. Aku tidak memiliki keberanian untuk keluar. Padahal saat di kampung aku tidak seperti ini. Aku cenderung pemberani dan tidak pemalu, malah terkesan malu-maluin.

Saat melihat Jam di layar ponselku, waktu ternya sudah menujukan pukul 8:10 malam. Dan aku masih berada di kamar Bang Agus. Aku masih belum memiliki keberanian untuk ke luar kamar. Padahal saat itu aku sangat ingin buang air kecil.

Dari dalam kamar, aku mendengar beberapa pemuda yang sepertinya penghuni di sini sedang berbincang, dan sepertinya juga mereka sedang membicarakan diriku, aku yakin itu. Samar-samar aku mendengar mereka menyebut nama Bang Agus dan cewek yang masuk ke dalam kamar Bang Agus, yaitu aku.

Sebenarnya aku ingin sekali ke luar dan segera ke kamar kecil. Tapi Lagi-lagi aku belum memiliki keberanian. Takut mereka menggangguku dan mengikutiku pas aku di kamar kecil. Di tengah lagi aku tidak tahu di mana letak toiletnya di mana.

Tidak lama aku mendengar salah satu dari mereka tengah berbicara dengan Bang Agus. Bak seperti angin surga, aku sangat senang mendengarnya.

"Gus, di kamar lo kantanya ada cewek, siapa? Lo enggak menyimpan cewek lo di kamarkan?" tanyanya

"Bang!" panggilku dari dalam kamar.

Aku sengaja memanggil Bang Agus, agar ia lekas masuk ke kamar dan menemaniku ke toilet.

"Ada apa?" tanya bang Agus saat ia sudah masuk ke dalam kamar.

"Pipis," jawabku.

"Pipis tinggal pipis, tidak perlu laporan."

"Abang ...." protesku.

"Apalagi? Kalau mau pipis ke kamar kecil sana. Apa mau dibantu lepasin celana lagi?"

"Hissss ... Abang temani. Sudah enggak tahan lagi ini."

Aku berjalan ke sana kemari sembari menahan kencing yang sudah hampir dua jam lamanya aku tahan.

Bukanya lekas mengantarku, Bang Agus malah tersenyum meledekku.

Kalian tahu, Bang Agus kalau pas senyum maaaa...niiiiis banget, coklat aja kalah manis. Aku yang adiknya saja terpesona dengan senyum manis Abangku itu. Kalau bukan Abang sendiri udah aku pepet sampek dapat, jangan kasih kendor. Bukannya lebay, tapi memang manis dan jarang sekali dia tersenyum seperti itu.

"Bang, ayok. Temani pipis udah enggak tahan ini. Lama-lama bisa pipis di celana Gue," rengekku lagi.

Aku benar-benar sudah tidak bisa menahan lebih lama lagi. Aku merasa sudah di ujung dan siap jebol kapan saja. Enggak banget tahu, di usiaku yang sekarang, aku masih pipis di celana. Mana di luar banyak cowok lagi, mau di tarok di mana mukaku.

"Ya sudah, yok."

Aku berjalan di samping Bang Agus. Menggandeng lengannya dan berusaha menghindari mereka yang ada di luar, yang sepertinya mereka fokus melihatku. Tanpa berani melihat mereka aku berjalan dengan menundukkan kepala. Tanpa aku sengaja, aku menabarak seseorang yang berdiri di depanku. Aku mendongak sekilas dan kembali menunduk.

"Maaf," ucapku, kembali melanjutkan langkahku.Bukanya tidak mau berbasa-basi, meski sekedar menyapa. Tapi apa yang aku rasakan tidak bisa diajak kompromi lagi.

Setibanya di depan kamar kecil aku segera masuk dan menutup pintu.

"Abang tinggal dulu sebentar," pamit bang Agus dari luar.

Di saat bersamaan apa yang aku takutkan terjadi juga.

"Yahhhh...Bagai mana ini?"

"Bang Agus lama tidak yah?"

"Bang!" panggilku.

"Bang Agus!!" panggilku lagi sedikit lebih keras, saat si punya nama tidak kunjung datang.

"Apa!" jawab Bang Agus dari luar.

Aku membuka pintu, dan melihat ke arah celanaku yang basah, begitu juga dengannya.

"Pipis di celana," jawabku.

Bang Agus tertawa mendengarnya, bahkan sampai memegangi perutnya yang sakit akibat menertawakanku.

"Abang...."

Bang Agus berhenti tertawa saat melihatku menangis.

"Maaf, Abang tidak bermaksud. Ya sudah tunggu di sini, Abang ambilkan ganti."

Bang Agus Kembali pergi meninggalkanku. Tidak lama ia kembali dengan membawa celana pendek, handuk, serta sabun.

"Ganti celanamu setelah itu duluan ke kamar," pintanya.

Selesai ganti aku masih menunggu Bang Agus yang lagi mencuci celanaku. Lagi dan lagi rasa kagum kembali aku rasakan. Bang Agus mau mencuci celanaku, tanpa rasa jijik meski bauk pipisku. Dan ini bukan kali pertama. Dulu saat aku pertama datang bulan, Bang Agus jugalah yang membatuku mencucikan darah yang ada di celanaku. Karena saat itu aku panik dan takut, apalagi aku merasakan nyeri di bagian perut bawahku dan pinggangku. Dan sejak saat itu aku semakin dekat dengannya dan sepat sakit saat ia pergi ke kota untuk melajukan pendidikannya. Memaksa Bang Agus sering pulang kampung saat aku merindukannya.

"Kamu belum pergi?"

"Bareng," jawabku.

Saat kembali, aku melihat mereka masih memperhatikanku. Yang awalnya empat orang kini menjadi lima orang. Sebenarnya berapa sih penghuni kosan ini? Kalau di hitung sama Bang Agus ada enam, apa akan bertambah lagi besok? Aku tidak tahu, aku belum sempat bertanya pada abangku itu.

"Abang tinggal sebentar, mau jemur celana sekalian buat makan malam untukmu. Kamu belum makan-kan?"

"Masak apa, Bang?"

"Mau bantu?"

"Hihihu, enggak."

"Oseng-oseng lintah, mau?"

"Abang!," protesku, merasa jijik dengan candaannya.

avataravatar
Next chapter