1 1. Hari Yang Ku Nantikan

Sepatu kets membalut kedua kakinya, ditemani sepasang kaos kaki yang meredakan hawa dingin akhir tahun. Kacamata hitam yang melekat di matanya menjadi bahan tontonan orang-orang. Belum lama ia berdiri di sana, sebuah koper terjatuh penuh debu. Ia kaget, sebab ada hal baru di hadapannya.

Kosong. Tak berpenghuni. Corat-coret dari anak-anak desa iseng yang tak tahu diri itu menghalangi keindahan rumah yang kini menjadi pusat perhatiannya. Orang-orang itu tak tahu hal yang bisa saja berharga bagi orang lain sudah mereka musnahkan.

'Kenapa mereka tega sekali?' Batinnya menahan amarah.

Kelap-kelip bintang mainan di langit-langit kamar sahabatnya pasti sudah tak ada. Jemuran yang sering lupa diangkat 3 hari juga sudah tak ada. Ia merasa kedatangannya sore ini hanya sebuah rindu yang tak berujung. Hari yang ia nantikan sudah tak berarti.

Ibu tetangga sebelah bilang sahabatnya itu sudah merantau ke kota sepeninggal orang tuanya. Mengapa? Mengapa tak ada yang memberitahu Arin kalau ibu sahabatnya itu sudah tiada? Arin bahkan belum sempat mengucapkan salam perpisahan.

Bila saja mengungkit kembali masa lalu, Arin mungkin sudah tidak bisa menghitung sebanyak apa rasa sayang orang tua sahabatnya itu pada dirinya. Arin sudah dianggap anak perempuan mereka.

Harusnya ia pernah satu kali saja berkirim surat ketika memutuskan untuk belajar jauh. Harusnya ia tidak pernah kecurian ponsel satu-satunya yang sangat berharga. 'Harusnya' kata yang paling ia benci karena tidak ia lakukan, dan hanya sibuk menyesal ketika semua sudah terlambat.

Arin berjalan menjauh menuju rumahnya sendiri. Bodoh memang, tapi ia masih berharap bisa tanpa sengaja berpapasan dengan sahabatnya itu di jalan, dan mari menganggap semua yang dikatakan ibu tetangga sebelah hanya candaan.

Namun, tidak ada siapa-siapa. Arin tak menemukan sahabatnya yang dulu kerap bersembunyi di balik pohon dan mengagetkannya. Kini jalan setapak yang ia lewati hanya dipenuhi kantong hitam kecil.

Tunggu, mengapa ada bibit tanaman di sini? Ayahnya tidak pernah bilang sedang menanam sesuatu di tepian jalan setapak yang merupakan lahannya. Dan juga, selama ini tidak ada seorangpun yang berani menyewa tanah milik ayah karena patokan harga yang terlalu tinggi.

Tanpa ada niatan merusak, Arin memajukan tubuhnya. Ia tengok bibit tanaman yang tak ia tahu apa jenisnya. Tapi semua bibit yang baru tumbuh itu nampak lucu.

"Jangan sentuh kopiku, mahal tahu!"

Pekikan seseorang membuatnya berjingkat.

"Ak-ku hanya lihat-lihat saja kok."

"Mundur."

"Apa?"

"Mundur, tidak dengar?"

Arin mundur selangkah, sementara lelaki itu sibuk memasukkan tanah ke kantong.

"Kau tadi bilang kopi, kan? Jadi kau sedang menanam kopi di sini?"

Nampaknya Arin belum jera meski lelaki di depannya itu sudah membentaknya. Sementara yang ditanya hanya menjawab dengan dengungan, membuat rasa penasaran Arin makin menjadi.

"Aku baru tau kalau tanah di sini cocok untuk menanam kopi."

Lelaki itu mengangguk singkat.

Perempuan bersurai sepunggung itu melirik jam yang melingkar di lengan kirinya, ternyata sudah petang. Pukul 17.30.

"Ah, aku harus pergi." Ujar Arin tanpa berharap mendapat jawaban.

"Kau orang mana? Baru kali ini aku lihat orang sepertimu di desa ini."

Ah, akhirnya lelaki itu bersedia bicara. Arin tersenyum menatap si lelaki.

"Aku orang sini kok. Tapi aku sekolah di luar negeri, jadi jarang kelihatan."

Si lelaki justru terbelalak, ia berdiri.

"Kau anak pak Reynaldio?"

Arin mengangguk.

"Oh, aku tidak tahu tadi. Kalau begitu salam kenal, aku yang menyewa lahan di sini. Namaku Awan Hutama."

Lelaki bersurai kelam itu mengulurkan lengannya yang kotor, Arin hanya tersenyum hingga si lelaki menarik tangannya kembali.

"Aku Arini Reynaldio."

"Kau pasti mau pulang. Mau aku antar?"

Si perempuan tertawa. "Tidak usah, rumahku kan hanya di depan situ." Ia menunjuk rumah yang tembok kuningnya bahkan kelihatan dari tempatnya berdiri sekarang.

"Ya sudah, kalau begitu aku lanjut kerja lagi."

Si perempuan 22 tahun itu mengangguk, membiarkan Awan jongkok lagi dan bermain dengan tanah. Ia sendiri segera beranjak dari sana, mulai menyeret koper lagi.

Tiba-tiba saja sesuatu jatuh.

"Hei, barangmu jatuh." Awan memungut benda kecil itu di tanah.

"Ah iya, terima kasih."

Awan menatap Arin dan foto yang ia pungut secara bergantian. Lelaki itu lantas berdehem sebentar.

"Itu benar punyamu?"

"Iya. Kalau begitu aku duluan ya?"

Arin melanjutkan langkahnya, beberapa kali memainkan foto dalam genggaman. Dibacanya tulisan dibalik foto itu. Seketika ia tersenyum.

2008. Januari. 01.

Temanku tersayang

Vincent Radisto

---

Air dingin mengenai wajah Arin. Tak lama kemudian perempuan itu memandangi pantulan wajahnya di cermin. Wajahnya sudah cukup bersih untuk ukuran orang yang baru bangun tidur. Ia lantas melangkahkan kaki keluar rumah, jalan-jalan pagi. Sudah lama ia rindu jalan-jalan pagi di lingkungan rumahnya sendiri.

Siapa tahu ia bisa melihat-lihat lahan kopi lagi. Semalam ayahnya bilang ia sangat menyukai penyewa lahan yang sekarang. Sudah tampan, ramah pula. Beruntunglah Awan, karena untuk bisa mengambil hati ayah Arin sangatlah sulit.

Arin mulai melangkahkan kaki keluar rumah, lalu ia disambut oleh lelaki yang baru saja berkeliaran di pikirannya.

Ada Awan di lahannya.

Arin lantas berpikir, apakah semua petani kopi selalu serajin itu? Bangun pagi buta hanya untuk menyemai bibit?

Arin berjalan mendekati si lelaki yang nyatanya tidak sedang melakukan apa-apa. Ember penuh tanah yang kemarin sore di letakkan persis di sebelahnya juga tak ada. Jadi, lelaki itu sedang apa?

"Selamat pagi," Sapa Awan ramah.

"Oh, selamat pagi. Kau sedang apa sendirian?"

Awan mengendikkan bahu. "Mau jalan-jalan pagi, mungkin?"

"Ah begitukah? Kebetulan aku juga mau jalan-jalan pagi. Ayo," Arin tersenyum tipis.

"Oke,"

Dalam acara jalan-jalan pagi dadakan ini, mereka membicarakan tentang diri masing-masing seperti perkenalan singkat, dan dilanjutkan dengan membahas kuliah di luar negeri.

Awan dengar Arin baru saja lulus dari Universitas Sydney, dan ya lelaki itu bertanya tak jauh dari seputar bagaimana cara bertahan hidup di sana.

"Ayahku juga sempat minta supaya aku sekolah di luar negeri, tapi aku tolak."

Kenapa?"

"Aku punya kerjaan di sini, jadi tidak mungkin aku tinggal begitu saja."

"Menanam kopi?"

Awan menggaruk pipi. "Hmm, sebenarnya menanam kopi hanya pekerjaan sambilanku."

Arin menatap Awan tak mengerti.

"Sejujurnya aku punya kedai kopi sendiri. Soal bibit yang aku tanam, aku baru pertama kali ini mencobanya. Hitung-hitung kalau kopinya berhasil dipanen jadi bisa menghemat pengeluaran." Awan masih dengan muka seriusnya.

"Oh, begitu." Arin mengangguk paham.

"Kalau kau tidak keberatan, aku mau mengajakmu ke kedaiku. Kebetulan sedang ada promo akhir tahun."

"Boleh," Jawab Arin tanpa ragu.

"Nanti malam bisa? Sepertinya suasananya lebih bagus dan ramai."

Arin mengangguk untuk kesekian kali.

"Kalau begitu bisa beri tahu aku nama kedaimu? Supaya aku tidak tersesat nanti."

"Kau mau datang sendiri? Aku bisa menjemputmu. Lagipula kan aku yang minta."

Arin menggeleng singkat. "Aku berangkat sendiri saja, lagipula kau pasti sibuk melayani pelanggan."

Tak lama setelahnya Awan merogoh saku celana, membuka dompet dan menyerahkan kartu nama pada perempuan yang berjalan di sampingnya sedari tadi.

"Penghujung Tahun?" Arin membaca kertas di tangannya.

"Iya, itu nama kedaiku."

avataravatar
Next chapter