webnovel

Kejutan Malam

"Cantik! Hei, duduklah kemari dulu, temani kami hahaha ...." Pemuda berbadan paling tinggi di antara teman-temannya itu meneriaki Penelope.

Sudah lebih dari setengah jam gadis itu berusaha menulikan telinganya dari catcalling dan godaan para pemuda di kafe itu. Penelope memutar bola matanya dan fokus mengelap meja. Bau minuman keras menguar di mana-mana.

Gadis itu menutupi hidungnya dengan sebelah tangan, hingga meja bersih di lap. "Permisi, bisa dipercepat, tidak? Kami lelah berdiri ini," tegur pengunjung yang kira-kira seusia ibunya, menunggu di balik punggung gadis itu.

Penelope pun minta maaf dan segera mempersilahkan pengunjung yang sudah berdiri menunggu meja, lalu sibuk mondar-mandir mengambil dan mengantarkan pesanan.

"Hufh ...." Ia mendengus kasar, karena merasa isi kepalanya tak beda jauh ributnya dengan kafe di mana ia bekerja ini. Alunan musik dari band live show, dengung suara orang berbincang dan tertawa terbahak-bahak, panggilan dari customer dan koleganya, membuat dada Penelope rasanya sesak.

Ia terhuyung-huyung, ketika kembali dari dapur menuju ruangan utama kafe. Tungkai kakinya terasa lelah. Di tengah musim dingin begini, tanpa pemanas ruangan pun, kafe ini sudah mampu membuat Penelope gerah.

"Ah, kenapa kau jual mahal? Siapa namamu? Pen siapa?" Pemuda genit itu lagi benar-benar memancing emosi gadis pelayan kafe ini. Bahkan, Si Genit saat itu sudah berdiri mencegat dan memegangi tangan Penelope yang sibuk membawa nampan.

Otomatis langkah gadis itu terhenti dan ia mendongakkan kepalanya. Penelope menelan ludah, ia sangat enggan berurusan dengan mereka semua. Gadis berambut karamel itu memang hanya bekerja empat jam saja di sebuah kafe di pusat kota tempat tinggalnya sepulang kursus, tetapi rasanya badannya rontok semua. Khususnya malam itu, karena ada rombongan pemuda merayakan kemenangan tim basket mereka.

Salah seorang di antaranya terus menerus menggoda Penelope, yang tentu saja tidak digubrisnya. "Maaf, saya sedang sibuk." Penelope memandang pemuda itu dari ujung kepala hingga ujung kakinya. Sesuai ajaran ayahnya, jika ingin melawan seseorang yang sok berani, dia harus membuat orang itu bertanya-tanya sendiri tentang harga dirinya dengan memandanginya seperti itu.

"Bisa tolong lepaskan tangan saya? Saya tidak ingin menjatuhkan gelas-gelas ini dan melukai para pengunjung lainnya," tambah Penelope dingin.

"Wuooooo ...," sorak anggota tim basket itu gemuruh, menanggapi salah seorang teman mereka ditolak mentah-mentah oleh pelayan kafe yang digodanya.

Wajah pemuda yang menggoda Penelope itu merah padam menahan malu. Ia pun melepaskan pegangan tangannya pada gadis itu. Namun, ia masih mendendam atas perlakuan Penelope yang dianggap melecehkan harga dirinya tersebut.

Pemuda itu berjalan melewati pelayan kafe cantik yang masih berdiri di situ dan dengan sengaja menubrukkan lengannya ke bahu Penelope. Sehingga, pemuda berandalan itu  menumpahkan minuman di atas nampan ke baju Penelope.

"Aaah!" pekik Penelope yang ternganga mendapati keadaan menyedihkannya.

Tim basket yang urakan itu malah akhirnya bertepuk tangan seolah bangga pada pemuda yang menggoda Penelope. Beruntung gadis itu selalu memakai kaos dalaman, sehingga seragam kafenya tidak menerawang dan semakin dijadikan bulan-bulanan oleh gerombolan Si Berat tersebut.

Penelope pun terpaksa menaruh nampannya ke atas meja bar dan menyuruh temannya untuk menggantikan posisinya mengantarkan pesanan. Kemudian ia kembali dengan kain pel dan ember di tangan.

Gadis itu berusaha menahan emosi, cuek, dan mengepel lantai yang basah karena minuman. Ia sudah sangat bersyukur tidak ada gelas yang dipecahkannya malam itu. Namun, ketika ia membungkuk, firasatnya mengatakan bahwa akan ada lagi adegan yang lebih buruk.

Sedetik kemudian, ada seseorang yang menyentuh pantatnya. Serta merta, Penelope membanting tongkat pelnya dan ia segera membalikkan badan. Matanya nanar menatap pemuda yang sama yang menggodanya sedari tadi itu berdiri dengan mimik muka mata keranjang.

Tanpa pikir panjang lagi, Penelope menyarangkan tinjunya ke rahang pemuda itu hingga ambruk. Ia lalu membuka ikatan celemek di pinggangnya dan memberikan pada temannya di belakang meja bar. "Maaf atas kekacauan malam ini dan terima kasih sudah berteman denganku."

Setelah itu, Penelope segera keluar kafe dan berlari sekuat tenaga ke arah memutar dari tempat tinggalnya. Ia sadar sudah membuat satu tindakan paling beresiko. Tidak hanya sudah kehilangan pekerjaannya, tapi ia juga membahayakan nyawanya sendiri.

Penelope terus berlari menyusuri rute terjauh ke rumahnya itu, sembari sesekali menoleh ke belakang. Ini memang bukan pertama kalinya gadis itu keluar dari tempat kerja paruh waktunya dengan masalah dengan pengunjung nakal. Namun, malam itu ia kalah jumlah. Perhitungannya, kalaupun mereka semua mengejarnya, mereka tidak akan menemukan di mana ia tinggal, karena ia berlari berbelok-belok ke jalan tikus.

Begitu memasuki area pinggiran hutan, barulah ia merasa aman. Aneh memang, lokasi yang membuatnya merinding beberapa bulan yang lalu, kini terasa jauh lebih menentramkan ketimbang keramaian kota. Penelope memperlambat langkah dan mulai mengatur nafasnya.

Hidup di pinggiran hutan ini membuat Penelope tidak lagi takut pada apapun, kecuali manusia. Sebab, ia sudah bertemu dengan hal yang terburuk baginya sekalipun.

Ia menggeleng-gelengkan kepala mengingat kejadian menjengkelkan malam itu. "Ugh ...." Badan Penelope terasa pegal-pegal di setiap persendiannya. Ia menyeret kakinya melangkah hingga menuju rumahnya. Malam itu ia memang mendapatkan banyak sekali pengunjung, ditambah insiden tadi dan adegan lari-larian, praktis energinya sangat terkuras.

"Lelah sekali ... padahal bukan akhir pekan. Hufh ... setidaknya, setelah ini aku tidak perlu lagi berurusan dengan para berandalan mabuk lagi, tapi aku harus segera menemukan pekerjaan baru," keluh gadis itu sambil memukul-mukul bahu dan lengannya, begitu tiba di depan rumahnya. Penelope merogoh saku celana dan mengeluarkan kuncinya.

"Aku hanya ingin segera menghempaskan diriku di tempat tidur, tapi ugh ... bau alkohol ini ...," batin Penelope merengek, karena ia sendiri tidak tahan dengan lelah fisiknya ditambah bau yang memusingkan kepala itu.

Malam itu, Penelope berpikir lebih baik melucuti pakaiannya yang berbau alkohol itu di ruang tengah terlebih dahulu, agar tidak membawa aroma minuman kerasnya ke dalam kamar tidur. Baru beberapa minggu terakhir ini, gadis itu dan ibunya pindah ke sebuah rumah susun kecil di lantai bawah.

Karena mereka hanya memiliki satu kamar tidur, Penelope pun berganti baju di ruang tengah alias ruang serbaguna. Terkadang menjadi ruang makan, ruang keluarga, atau bahkan ruang ganti seperti saat itu ketika seseorang sedang berada di kamar tidur.

Penelope segera melepas seragam kerjanya dan mencampakkannya di ruang tengah rumahnya itu, biarpun dalam keadaan gelap gulita. "Ck ...." Ia berdecak, karena tenggorokannya terasa tandus.

Ia butuh air minum, sehingga ia butuh menyalakan lampu. Gadis itu berdiri menyisir dinding, hingga jemarinya menemukan saklar lampu. Klik!

Begitu ruangan itu menjadi terang, didapatinya sesosok lelaki tertidur dengan tampannya di sana. "Aaaaa!" Sontak, Penelope berteriak dan terjengkang ke belakang dengan posisi setengah telanjang.

Next chapter