webnovel

Chapter 6

Di depan meja pemesanan. Ima bekerja dengan baik dan terkadang mengobrol dengan Naya yang selalu menceritakan tentang pacarnya itu membuat Ima hanya mendengarkan saja. Ima terdiam ketika mendengar cerita dari Naya. Lalu melihat ke naskah yang ada di sampingnya.

"(Aku berpikir sepertinya dia tidak akan pernah datang, tentu saja, setelah aku membuatnya gagal dan dia berbuat usil di sini, pastinya dia tak mau kemari lagi untuk bertemu dengan ku, haiz... sudahlah, aku akan membuang nya saja dari pada harus menyimpan nya terus,)" dia mengambilnya dan akan membuangnya. Tapi saat mendengar pintu kafe terbuka membuatnya menoleh dan menyambut seperti biasa.

"Selamat datang— dia menatap tapi ia terdiam kaku karena itu adalah lelaki yang kemarin, lelaki yang naskahnya di tumpahkan kopi oleh Ima secara tak sengaja, itulah lelaki yang diharapkan Ima untuk datang.

Ima segera berdiri dan tidak jadi membuang naskahnya, ia berlari mendekat padanya yang masih berdiri mencari tempat duduk.

"Tu-tuan," tatap Ima. Lalu dia menoleh dengan wajah datar. Ima memberikan dokumen naskah itu dengan gemetar. Ima sepertinya benar-benar takut ketika lelaki itu tidak akan menerimanya, karena hal ini juga termasuk hal yang memalukan setelah usil dan minta maaf.

"I-ini... Tanda maaf dariku, meskipun sudah lama tapi aku selalu mencari mu dan menunggumu disini agar bisa memberikan ini padamu, aku juga... Ingin memberikanmu pena," Ima memberikan nya sebuah kotak pena yang cantik selera seperti lelaki. Dia berharap lelaki tersebut menerima nya dengan senyuman.

Lelaki itu terdiam sangat lama dengan wajah datarnya dan perlahan menerima dokumen dan pena itu. Senyumnya tiba-tiba terangkat.

"Terima kasih, aku juga minta maaf karena telah usil padamu," tatap nya.

Seketika Ima senang karena lelaki itu tidak menunjukan wajah kesalnya.

"Ah terima kasih… (Akhirnya ini hari baik... Aku benar-benar sudah lega,)" Ima menundukan badan dengan senang.

Manajer Hinko yang melihat itu dari jauh menjadi tersenyum kecil. "(Dia bisa memperbaiki kesalahanya sendiri pada orang lain, benar-benar gadis yang baik.)"

Malam nya, saat itu hujan, Ima pulang dengan membawa payung. Lalu ia melihat seseorang yang kehujanan tanpa payung di halte bus.

Ia mendekat dan rupanya itu lelaki dokumen tadi.

"(Hah kenapa dia ada di sana? Kita bahkan bertemu lagi, dan dia tampak sedang kesusahan?! Sebaiknya aku ke sana.) Anu... Permisi," Ima mendekat menatap padanya, lalu lelaki itu menoleh.

"Kita bertemu lagi,"

"Ah iya... Um... Apa kau sedang menunggu bus?" tatap Ima.

"Tidak... Seseorang akan menjemput ku, aku hanya asal berteduh disini."

"Kalau begitu... Mohon gunakan ini," Ima memberikan payung lipat yang ia bawa.

"Untukku, tapi bagaimana dengan mu?"

"Ah, aku membawa satu lagi..."

"..... Kenapa kau membawa dua payung?"

"Aku hanya... Berjaga jaga, untuk membantu yang lain juga," kata Ima.

Lalu lelaki itu tersenyum kecil dan menerima payungnya.

"Terima kasih."

Senyumnya itu membuat Ima terdiam memerah. Ia lalu menutup wajahnya dan membuang mukanya.

"Oh, aku masih minta maaf soal kejadian pertama kali itu, kau tahu kan, aku hanya sekedar mencari hiburan semata," tatap lelaki itu.

"Ya, aku paham, tak apa, itu sudah berlalu," balas Ima. Lalu bus datang menjemput Ima.

"Aku akan pergi duluan, sampai jumpa."

"Ya... Hati-hati di jalan," kata lelaki itu lalu bus pergi setelah ima masuk.

Ima duduk dan baru ingat. "(Astaga, aku lupa menanyakan namanya.... Haiz... Semoga bertemu lagi deh agar aku bisa tanya Namanya,)" pikirnya sambil menghela napas panjang.

Tapi Ima terdiam di tempatnya seperti biasa dekat jendela, ia melihat seberang ada Regis, pria tunawicara itu.

"Oh... Kau... Kemarilah aku mohon," Ima menatap sambil memberi isyarat tangan untuk mendekat. Regis menoleh dengan tampang yang masih tertutup masker lalu duduk di samping Ima.

"Maafkan aku karena mengabaikan mu kemarin, aku terlalu lelah soalnya hehe..." tatap Ima.

Regis terdiam lalu menggunakan bahasa isyarat.

=Tak apa-apa... Aku tahu kau sangat lelah, dan aku tidak mau mengganggumu=

"Haha terima kasih," kata Ima. Tapi seketika Regis terkejut.

=Apa kau mengerti apa yang baru saja aku isyaratkan?=

"Ya tentu, aku sudah belajar semuanya, terima kasih atas ilmunya ya, Mas Regis," Ima menatap dengan senyum manisnya.

Seketika Regis terdiam dengan senyum di balik masker nya.

=Kau... Kau cepat belajar dan menangkap semuanya=

"Yeah, tidak juga kok hehe, aku hanya belajar dari apa yang aku suka karena jika aku suka aku pasti akan niat terus hingga benar-benar menyelesaikan nya."

=Itu bagus, ngomong-ngomong, siapa lelaki yang bersamamu tadi?=

"Hm... Oh, dia hanya seseorang yang baru aku temui," balas Ima.

=Begitu ya, kapan kapan apa aku bisa melakukan sesuatu untukmu?=

"Sesuatu?... Hm.... Ah itu, apa kau masih ingat aku bilang apa sebelum aku belum tahu bahasa isyaratmu, aku ingin menjadi temanmu, kau punya nomor ponsel?" Ima mengeluarkan ponselnya.

Regis mengangguk dan Ima memberikan ponselnya. Lalu Regis mengisi nomornya di ponsel Ima.

Setelah itu mereka kembali berpisah seperti biasanya dengan Regis yang duluan turun di halte tujuan nya. =Aku duluan, sampai jumpa=

"Ya, hati-hati," balas Ima. Lalu Regis turun dari bus.

Ima masih tersenyum sendiri. "(Ehehe senang sekali aku... Dia benar-benar seperti pria yang gampang di ajak bicara jika sudah di pancing.)"

Setelah itu Ima pulang dan melihat ibunya yang masih menunggu di meja makan.

Lalu dia menoleh pada Ima yang membuka pintu.

"Selamat datang, mau makan atau tidur, atau mandi dulu?"

"Mungkin mandi dulu, aku banyak berkeringat tadi... Ibu bisa makan duluan jika aku lama."

"Tak apa... Ibu ingin mendengar ceritamu hari ini Ima," kata ibunya lalu Ima tersenyum senang dan berjalan ke kamar mandi. Berendam air hangat setelah lelah memanglah epik.

"Hm... Rasanya sangat nyaman," ia menikmati di bak mandi. Tapi ia ingat Regis tadi.

"(Aku benar-benar tak menyangka, aku mengerti bahasa isyarat miliknya, gerakan tangan nya juga mudah di mengerti,)" dia terdiam ngalamun.

"Ima... Kau sudah selesai?" Ibunya memanggil dari luar.

"Ah... Maaf.... Aku sudah hampir selesai," Ima langsung beranjak dan memakai pakaian nya lalu makan malam bersama ibunya.

"Jadi... Bagaimana dengan kehidupanmu hari ini?"

"Yah... Sudah di jelaskan sih," Ima membalas dengan melihat ke samping dengan wajah yang senang.

"Aduh putri ibu sudah pandai menyimpan rahasia nya, ayo ceritakan. Ibu akan memberi pelajaran yang baik agar kamu tidak menjadi seperti mereka perempuan yang ada di luar sana," kata ibunya. Lalu Ima terdiam.

"(Ibu... Dia memang memiliki sifat seperti itu, dia lah yang menjadikan ku sebagai wanita yang memegang harga dirinya, dia melarang ku mendekati lelaki saat usiaku masih di bawah 19 tahun dulu. Aku paham apa maksud ibu, dia menginginkan aku menjadi wanita yang bersih dan bukan wanita yang memandang nafsu. Berkat dialah aku bisa menjaga tubuh ku hingga saat ini, meskipun ada batasan dia melarang ku bergaul dengan lelaki, tapi sejauh ini dia sama sekali tak memberiku batasan. Jadi aku bisa lebih sedikit dekat pada lelaki yang aku mau layak nya tadi.) Ibu, menurut mu perempuan seperti apa yang di sukai lelaki?"

"Hm?... Menurut ibu sih, lelaki lebih memilih wanita yang suka akrab padanya, jadi jika kau bisa akrab kenapa tidak membangun cinta," balas ibunya.

"(Lihat bukan.... Saran ibu benar-benar bagus, tapi kenapa dia malah di ginikan sama ayah... Ayah benar-benar sangat brengsek, dia meninggalkan ibu yang sangat menjaga cinta nya…)" Ima menjadi teringat sosok pengisi yang tidak pernah ada dalam hidup nya.

"Ima... Apa kau sedang suka pada seseorang?" tanya ibunya.

"Em... Entahlah ibu, aku bingung mau pilih yang mana... Mereka memiliki kriteria yang berbeda. Aku tak tahu mana yang akan cocok dengan ku nantinya dan aku juga takut mereka malah menolak ku jika aku menembak salah satu dari mereka," kata Ima.

"Hah?! Jadi lelaki yang selama ini kau bicarakan untuk dapat saran dari ibu itu rupanya bukan hanya satu lelaki?!" Ibunya menatap terkejut tak percaya.

"Ehehe iya, ada banyak lelaki sih sebenarnya, ini hanya hal yang menjadi sesuatu yang umum karena aku tertarik pada banyak lelaki hihihi, habisnya karakter mereka semua bagus bagus dan unik, ada juga tipe body dan tipe wajah yang aku suka uhuhu," Ima menjadi salah tingkah sendiri. Lalu ibunya hanya bisa tersenyum sambil menggeleng melihat tingkah laku putrinya.

"Kau bisa memilih satu dari yang membuat mu nyaman," balas ibu nya. Seketika Ima menjadi terdiam mendengar itu.

Hari selanjutnya Ima terbangun dengan tubuh yang berantakan, kemudian bangun duduk.

"Utk... Kepalaku... Apa yang terjadi," ia memegang leher belakangnya dan melihat bantal tidurnya bahwa ia tidur dengan posisi yang salah.

"Ah...– aku ceroboh, sekarang kepalaku benar-benar sakit."

"Ima..." ibunya mengetuk pintu dan membukanya.

"Kenapa kau tidak segera turun, kau tidak mau terlambat bukan?"

"Ya ibu, aku akan turun," Ima membalas dan berjalan turun, seperti biasanya melakukan kegiatan rutinitas pagi dengan mandi dan sarapan bersama.

"Makan ini yang banyak," ibunya memberikan daging di piringnya.

"Ibu... Berat badanku sudah 47, dan aku harus diet."

"Hm? Bukankah berat badan segitu itu ideal?"

"Ya memang ideal sih... Tapi menurutku aku gemuk."

"Hahaha... Kau kurang mengaca, apakah ada lelaki yang mengatakan mu gemuk, jika ada lelaki yang mendekatimu itu berarti kau ideal di mata mereka, jadi adakah lelaki yang mendekatimu... Sudah beberapa hari loh kamu kuliahnya," lirik ibunya. Seketika Ima berwajah merah. "Ehem.... Tak ada, aku... Aku masih single."

"Oh benarkah, bagaimana jika ibu nanti lihat kamu mengobrol dengan lelaki."

"(Ibu... Dia terus memprovokasi ku, aku harus lari,)" Ima berkeringat dingin dan menolah ke jam dinding.

"Ah benar.... Aku terlambat, pergi dulu," dia beranjak dan langsung pergi. Ibunya menjadi terdiam.

"Haiz… anak itu, rupanya belum dewasa juga."

--

"Huf... Itu tadi untung saja," Ima menghela napas lega sambil berjalan ke halte bus.

"(Tapi... Kepalaku masih sakit, semoga tak mengurangi aktivitas ku,)" dia menjadi khawatir lalu masuk ke bus.

Sesampainya di kampus dia masih memegangi lehernya dengan sakit lalu melihat Mose yang bermain basket di lapangan luar bersama tim nya. Semua wanita yang lewat berhenti karena melihat nya.

Sementara Ima hanya lewat saja. "(Mereka rupanya menyukai senior, jelaslah... Dia ganteng, tinggi, baik, suka senyum, ah apa lagi gitu.)"

Mose terdiam saat selesai memasukan ke ranjang golnya, ia menoleh ke sekitar dan kebetulan melihat Ima yang berjalan menjauh. Lalu ia tersenyum dan berjalan mendekat ke Ima.

"Ima!!"

Lalu Ima menoleh. "Se... Senior. (Aku baru saja berbatin soal dia... Kenapa langsung muncul!!?)" Ima menjadi terkejut.

"Bagaimana hatimu hari ini, apa kau merasa senang atau sebaliknya?" tatap Mose.

"Eh... Kenapa senior bertanya begitu?"

"Yah aku hanya ingin tahu apa kau bisa pergi bersamaku setelah pulang?"

"Apa... (.... K-ken... Kencan kah....)" Ima menjadi terkaku.