"(Sepertinya dia tidak datang disini... Aku akan membawa pulang dokumenya sementara,)" Ima masih kecewa sambil akan berjalan pergi tapi sebelumnya, manajer Hinko memanggil. "Ima."
Membuat Ima menoleh. "Manajer? Apa ada masalah?"
"Ah, aku hanya ingin bertanya bagaimana soal dokumen tadi? Apakah kau baik-baik saja, wajahmu tampak pucat dan aku tadi juga tidak melihat pria yang kau harap kan itu datang," tatap manajer Hinko.
"Yah, sepertinya begitu... Mungkin dia akan datang besok, aku hanya harus tetap menunggunya saja, kalau begitu aku pergi dulu manajer, ibu pasti sudah menunggu."
"Menunggu? Kenapa ibu mu mau menunggu di jam segini?"
"Yah, ibu sangat menyayangi ku, dia bahkan sampai menunggu ku makan malam bersama," balas Ima, lalu ia berjalan pergi.
Manajer Hinko yang mendengar itu tadi menjadi terdiam. "(Ibu Ima, pasti membesarkan putrinya itu dengan penuh tanggung jawab dan kesabaran,)" pikirnya.
--
"(Haiz.... Lelaki itu benar-benar membuat ku strees, hanya karena jika bukan aku tahu bahwa dia sedang melamar pekerjaan tinggi, aku tidak akan mengganggunya, dia mungkin semata jail untuk menghibur dirinya karena terlalu banyak berpikir membuat naskah laporan itu, aku benar benar merasa bersalah... Ini seperti aku menghancurkan masa depan orang lain, yang aku baca dari laporan itu, semuanya benar benar tinggi, dari sekolahnya mulai jabatan yang akan dilamarnya...)" pikir Ima.
Dia berjalan dengan kecewa lalu berhenti di sebuah supermarket tempat dimana lelaki buta itu bekerja.
Ia terdiam ragu untuk masuk, hingga akhirnya masuk membeli beberapa cemilan.
Ima meletakkan barangnya ke kasir dan yang menjadi kasir masih lelaki buta itu.
"Tolong angkat ponsel anda," dia menunjukan pembayaran ponsel.
Saat Ima mengangkat ponselnya tiba-tiba lelaki itu menahan tangan nya membuatnya terkejut.
Dia memiringkan sedikit kepalanya dan mencoba meraba.
"A-apa yang kau lakukan?!" Ima menatap terkejut.
"Kau... Malaikat penolongku bukan?" senyum kecil lelaki itu membuat Ima memerah.
"Ti-tidak kau salah," Ima akan pergi.
"He... Hei tunggu dulu aku mohon... Uh... " lelaki itu akan mengejar tapi ia kembali tersandung.
"Haiz... Ada apa denganmu?" Ima membantunya berdiri.
"Aku ingin berterima kasih padamu."
"Berterima kasih lah jika matamu bisa melihat!" Ima kembali meninggalkanya.
Awal nya ia pergi dengan kesal tapi saat sudah jauh, wajah nya berubah menjadi malu di campur senang.
"(Astaga apa ini.... Kenapa aku tadi bicara begitu, tapi... dia berterima kasih padaku... Aduh jadi malu, apa dia kini juga naksir padaku?!?!)" dia senang sendiri dalam hatinya.
Lalu tak lama kemudian, bus nya datang. Ima kembali menaiki bus seperti malam biasanya.
"(Huf.... Hari ini memang sangat melelahkan, aku terlalu banyak menunggu nya di kafe hingga aku benar-benar merasa sia-sia mengerjakan dokumen itu semalaman, rasanya seperti ingin tidur,)" dia mulai mengantuk, karena terlalu lelah dan banyak pikiran, ia tertidur di bangkunya dengan kepalanya yang tersender di jendela.
Tapi tak di sangka-sangka pria tuna wicara yang bernama Regis pemakai masker itu duduk di seberangnya. Dia hanya menatap Ima dengan diam.
Seharusnya dia duduk di samping Ima tapi dia hanya diam karena tidak mau membangunkan nya hingga halte tujuannya seperti biasanya membuatnya turun tanpa menghampiri Ima sedikitpun yang tengah tidur.
Ima kemudian terbangun tepat di halte tujuanya.
"(Astaga aku hampir ke bablasan,)" dia terkejut dan segera turun.
"Hoam... (Eh... Oh iya... Aku tadi tidak bertemu Regis!!)" dia menjadi baru sadar sesuatu. Tapi apa dayanya semua tak bisa terulang.
"(Akh... Aku payah... Padahal susah-susah menghafal ini semua... Hiz... Seharusnya aku tidak tidur,)" Ima menjadi kecewa, ia bahkan masih berdiri di pinggir jalan halte bus itu dengan rasa bersalah. "(Hiks.... Aku butuh teman... Aku butuh mencurahkan semua kesialan ku hari ini, ibu benar... Dewasa itu sangat lelah, sial, dan juga sangat tidak enak, rasanya aku ingin kembali ke masa kecil dimana bercanda dengan ibu adalah hal yang membuatku tertawa.... Dan sekarang, aku malah bersedih karena tidak bertemu Regis, ketika dia masuk ke bus tadi pasti dia hanya diam tak mau membangunkan ku.... Haiz terserah aku ngantuk!)" dia berjalan masuk ke rumah. Saat membuka pintu, ibunya sudah menunggunya seperti malam kemarin.
"Selamat datang, mari makan malam," tatap nya dengan senyum ramah sudah duduk di hadapan Ima di meja makan dengan banyak makanan tersedia. Ima berjalan mendekat dan nampak menelan ludah melihat banyak makanan itu, dia sepertinya kelaparan.
"Ibu... Maaf... Ngantuk," tapi pilihan nya tetap ngantuk.
"Oh, lelah, kalau begitu tidurlah." kata ibunya.
"Terima kasih ibu.... Selamat malam," Ima berjalan lemas ke kamar dan seketika menjatuhkan tubuhnya di kasur.
"Hng.... Ini benar-benar nyaman... Ini membuatku.... membuatku.... Z... Z," dia mulai tertidur dengan nyenyak.
Tapi setelah tidur beberapa menit, ia menjadi membuka mata dan perutnya terus saja berbunyi keroncongan. "(Aku harap ibu masih di meja makan,)" Ima langsung beranjak dan keluar dari kamar.
Tapi rupanya ibunya tak ada, Ima terdiam melihat sekitar dan berjalan mengintip dari kamar ibunya bahwa ibunya sudah tertidur.
"(Bagaimana ini, aku lapar... Ah, mungkin aku akan masak sendiri, tapi aku takut aku akan membangunkan ibu dengan suara berisik.... Lebih baik aku melakukan nya dengan hati-hati)" pikir Ima lalu ia berjalan ke dapur.
Rupanya di meja makan, ada tudung saji, ia membuka perlahan dan tak di sangka sangka, itu adalah makanan yang tadi di siapkan ibunya untuk makan bersama.
"(Ini.... Apa ibu tidak makan?)" Ima terdiam bingung, lalu ia berjalan ke kamar ibunya dan perlahan memegang bahu nya yang sedang tidur membelakangi Ima.
"Mm.... Ima?"
"Ibu, ayo makan malam, aku tahu ibu belum makan tadi," tatap Ima.
"Ibu baik-baik saja, bukankah kau bilang kau mengantuk?"
"Ibu, maafkan aku, aku tidak mengantuk lagi jadi ayo makan malam Bersama," kata Ima.
Lalu ibunya bangun duduk dan tersenyum membelai pipi Ima. "Kau khawatir ya pada ibu, padahal ibu tak apa jika tidak makan malam."
"Haiz ibu, jangan bilang begitu, sudahlah ayo makan, jika tidak makan, ibu juga akan kelaparan seperti perutku saat ini loh," kata Ima. Ia lalu memegang tangan ibunya dan menuntun di meja makan.
Hari ini memang hari yang sulit untuknya. Harus membantu crush diam-diam, selalu di dekati senior ganteng dan usahanya malam yang tak tidur menjadi sia-sia. Harap saja besok tak terjadi seperti itu lagi.
"(Yeah, aku berharap besok hari yang baik dan cerah untuk hati ku,)"
Esoknya Ima kembali ke kampus, ia melihat sekitar secara diam-diam.
"(Sejauh ini aku tidak melihat Mose... Aku akan aman kembali membantu crush ku,)"
Tiba-tiba Mose memegang pundaknya membuatnya terkejut.
"Aahhhkkkk... Senior!!"
"Halo Ima... Kau sudah datang rupanya, aku dari tadi melihat mu dari lapangan basket."
"E... Ketahuan yah," Ima menjadi lesu.
"Ada apa... Kau seperti khawatir?" tatap Mose.
"Ti-tidak ada apa-apa," Ima membalas tapi Mose terdiam lalu entah kenapa dia tersenyum kecil membuat Ima terkejut.
Mose mendekat dan berbisik. "Kau sudah tahu aku kan?"
"E... Aku... Aku," Ima menjadi gemetar.
"Kau seharusnya beruntung Ima," kata Mose.
"Ma-mana ada... Aku... Aku harus pergi!!" Ima berteriak dan berlari pergi.
"Haha... Gadis yang lucu."
Sorenya jadwal lelaki buta supermarket itu akan pulang setelah bekerja. Saat ia berjalan keluar ada seseorang yang mengangkat tongkat pembantunya. Ia menjadi bingung.
"Ayo jalan," kata orang itu yang rupanya Ima.
Lelaki itu tersenyum dan mengikuti Ima yang membantunya dengan memegang tongkatnya.
"Salam kenal... Aku Lio Zheng," kata lelaki itu.
"(Hah... Dia memberitahu nama nya, akhir nya aku bisa tahu namanya... Aku akan membalas) Aku... Ima," Ima membalas dengan wajah merah.
"Apa kau penolongku itu kan?"
"Um... Jika kau bilang begitu yah... Memang begitu."
"Kalau begitu terima kasih untuk semuanya, aku benar-benar berhutang padamu, kau juga ada di kampus yang sama bukan?"
"Ya.... Ngomong-ngomong apa aku boleh membantumu seperti ini?" tatap Ima yang menatapnya sambil berhenti berjalan. Lio Zheng terdiam lalu tersenyum.
"Aku sangat senang," dia menatap. Seketika Ima terkejut dengan senyumanya.
"(Oh astaga... Ganteng banget!!)"
Setelah itu Ima berjalan ke kafe sendirian setelah mengantar Lio Zheng.
"Ima... Kau datang kemari, apa perasaan mu sudah bagus?" Manajer Hinko mendekat ke Ima yang memakai pakaian nya di loker.
"Um... Apa maksud manajer?" Ima memasang wajah tak mengerti.
"Soal naskah itu... Kau masih memikirkan orang itu kan?"
"Ah... Karena pekerjaanku sangat sibuk jadi aku tidak terlalu memikirkan itu, tapi jika manajer bilang begitu, aku jadi memikirkan nya dan sekarang aku khawatir soal itu, tapi tak apa."
"Begitu ya (Terlihat sekali dia bukan gadis yang gampang peka pada orang lain, apa ini karena kepolosanya itu dan tidak berpengalaman mencintai orang,)" Hinko terdiam melirik dengan memegang dagunya berpikir.
"Um... Manajer... Apa ada masalah?"
"Oh... Tak ada apa-apa... Hehe aku pergi dulu, terima kasih untuk waktumu."
"Ya... Terima kasih kembali," Ima mengangguk sambil melihat nya pergi.
Beberapa lama kemudian, Ima terdiam menunggu di meja pemesanan. "(Hari ini tidak terlalu banyak pelanggan, aku rasanya ingin membeli roti isi... Tapi aku tak bisa kemana mana, ha... Aku pesan saja,)" Ima membuka ponselnya dan memesan makanan online.
Tak lama kemudian, Ima keluar dari kafenya untuk membuang sampah dan di saat itulah kurir pesanan datang padanya.
"Pesanan anda," kata seorang kurir makanan yang berlari mendekat ke Ima yang kebetulan keluar kafe itu untuk membersihkan di luar. Ia menoleh dan menerimanya. "Terima kasih," tatap nya. Lalu setelah membayar, pria itu berjalan pergi.
Tapi Ima terdiam ketika melihat seorang lelaki yang ada di seberang jalan kaki itu sedang mengambil suatu plastik makanan dan ia menggulung lengan nya membuka plastik itu. Ia mulai mencari sesuatu di sana membuat Ima terdiam kaku melihatnya.
"(Apa yang dilakukan nya? Apa dia sedang mencari makanan? Dia terlihat masih muda dan kenapa mencari makanan begitu.... Kasihan sekali,)" pikir Ima, dia seperti mencari makanan dari sampah, tapi penampilan nya tidak terlihat seperti orang yang kekurangan.
Lelaki itu mencari dan tiba-tiba saja, Ima memberikan makanan yang ia pesan tadi, membuat lelaki itu menoleh bingung.
Ima mengulur sambil berkata. "Terima lah ini, ini lebih baik dari pada sampah. (Penampilan nya tak seperti lelaki miskin, dia malah terlihat seperti lelaki bermartabat, tetap saja aneh jika lelaki sepertinya mencari makan dengan hal yang seperti ini,)" kata Ima. Lalu ia berjalan pergi.
Lelaki itu menjadi tersenyum bingung dengan apa yang terjadi, ia menoleh ke plastik di atas tempat sampah itu yang ada kartu uang. Rupanya ia tidak mencari makanan sisa, melainkan kartu uang yang sepertinya tertinggal ketika ia makan.
"(Wah, siapa gadis itu? Apa dia mengira ku mengusak asik makanan? Padahal aku hanya mengambil kartuku yang tertinggal, tapi ya sudahlah... Jika menjelaskan padanya pun kami tidak kenal,)" pikir lelaki itu dengan masih tersenyum bingung.