Lalu bus berhenti di halte dua. Pria itu merogoh sakunya dan memberikan sebuah buku kecil pada Ima.
"Eh... Untukku?"
Lalu pria itu mengangguk. Ima menerimanya dengan ragu dan setelah itu pria itu berdiri dan turun di halte itu.
Ima terdiam melihat buku kecil itu dan rupanya itu buku bahasa isyarat.
"Wah... Ini bentuk nya manis banget. (Warnanya hitam putih dan berbentuk seperti buku harian tapi ukuran nya kecil, tetap saja manis... Tapi, jika memang ini buku bagus kenapa dia memberikan nya padaku? Tunggu!! Kenapa tunanetra memiliki buku isyarat? Apa dia tidak di ajarkan secara otodidak?)" dia tersenyum senang tapi ia juga agak bingung.
Sementara pria tadi yang bernama Regis itu melihat bus sudah pergi lalu membuka maskernya.
Terlihat wajah yang tertutup dan tak bisa di jelaskan di episode ini. Apa dia hanya pura pura.... Atau... Sengaja.
Beberapa lama kemudian, Ima turun dari bus lalu berjalan pulang ke rumah.
"Aku pulang," dia membuka pintu dan melihat ibunya sudah di meja makan menunggu.
"Selamat datang, ayo makan bersama," tatap ibunya dengan senyum khas nya.
"Maaf lama ibu. Aku sudah bilang juga bahwa aku akan terlambat jadi tidak perlu menungguku," kata Ima yang duduk di seberang meja dan makan malam bersama.
Layaknya keluarga kecil yang akur antara seorang ibu dan putrinya.
"Tak apa, ibu juga bilang, ibu akan menunggumu kan, jadi tidak apa-apa... Oh, bagaimana pekerjaan pertamamu, apa berjalan lancar?" tatap ibunya.
"Aku membuat sedikit kesalahan, aku akan menggarapnya untuk pelanggan malam ini."
"Ingatlah jangan terlalu memaksa kan dirimu mengerti."
"Iya ibu... Aku bukan anak kecil lagi," kata Ima.
Lalu dia melihat ke mantel nya yang ada di gantungan baju. Ia mengingat bahwa buku isyarat tadi ada di sana.
"(Aku akan belajar itu juga malam ini,)" batin nya.
Setelah selesai, Ia masuk ke kamar dan membuka buku isyarat itu.
"Uh.... Cukup sulit.... Tapi... Ini demi kebenaran, aku harus mencari tahu siapa Mas Regis ini," Ima berpikir lalu kembali memikirkan Regis lagi.
"(Haiz.... Sepertinya aku naksir orang lain...Tapi bagaimana bisa aku tertarik dengan nya, aku bahkan belum melihat wajah nya seperti apa. Tapi sungguh, apa ini karena bau dari tubuh nya, parfum lelaki yang bercampur dengan sesuatu seperti rokok dan keringat dan saat tubuh nya menyentuh padaku, rasanya hatiku berdebar kencang karena sebelum nya tak ada lelaki yang melakukan hal yang seperti itu, tubuh nya juga hangat, apa karena dia memiliki tubuh dominan pria yang jantan.....uh...Jantan, jika di pikir pikir tangan nya saat merangkul ku terasa besar pastinya tubuhnya juga besar jika aku mengamatinya terus, hm~...Ahk....Apa yang kupikirkan!! kenapa aku jadi berpikir aneh begini!!)" Ima menggeleng kepala dengan cepat. Dia lalu menghela napas panjang.
Kebetulan pandangan nya teralihkan oleh kaca mata hitam di mejanya itu. Ia kembali terdiam dan mengingat ingat hingga ia harus terkejut baru sadar.
"Tunggu!" ia membuka lebar matanya dan mengambil kaca mata itu, Ima melihat ukuran kata di kaca mata yang kemarin belum ia selesaikan.
"Kemarin ketika aku merabanya, tulisan nya yang jelas hanya R-E-G dan sekarang aku berpikir sisanya adalah I-S jika di gabung menjadi R-E-G-I-S!!" Ima menjadi terkejut.
"Kaca mata ini adalah nama pria bisu itu?! Bagaimana bisa namanya terukir di sini? Tunggu... ini bukan merk kaca mata kan? Bisa jadi dia memalsukan namanya agar aku tidak tahu nama aslinya. Lebih baik aku cari," saking seriusnya, ia mencari merk kaca mata itu di internet, tapi apa yang ia dapatkan. Kaca mata itu tidak terdaftar dalam merk, dengan kata lain, kata dari 'REGIS' bukan lah nama merk.
"(. . . Jika bukan nama merk. Apa nama ini memang milik nya?)"
Hari selanjutnya di kampus, Ima berjalan ke kelas dan ia berhenti karena melihat sesuatu. Dia terkejut ketika melihat bahwa lelaki buta yang di supermarket saat itu sedang berjalan dengan tongkatnya di lorong kampus.
"(Apa yang dia lakukan disini... Ini tidak mungkin kan... Dia Mahasiswa disini?!!?)" dia terkejut sendiri.
"(Dia ada di sekitar kampus Nora ini, kenapa dia di Terima? Bukankah dia buta?... Tapi yang aku dengar, di sini tak peduli mahasiswa nya bisu atau tidak melihat pun akan tetap di terima karena nilai mereka juga melebihi manusia sempurna,)" pikir Ima. Ia lalu yakin bahwa lelaki buta itu memang bersekolah di kampus Nora, kampus yang sama dengan nya.
Tapi ia tiba-tiba saja mengingat perkataan Naya soal ingin mendekati lelaki.
"(Ah... Benar juga... Dia.... Lelaki yang aku agak suka... Mungkin aku bisa sedikit membantunya untuk menarik perhatian ku padanya, aku juga tak memiliki maksud cari perhatian, aku hanya ingin mencoba dekat dengan nya)" ia menjadi tersenyum manis sendiri lalu lanjut berjalan.
Ima mengikuti lelaki buta itu yang berjalan pelan pelan akan menaiki tangga dengan tongkatnya. Perlahan Ima juga sabar mengikutinya tapi tiba-tiba ada beberapa orang turun cepat akan menyenggol lelaki itu.
"(Astaga mereka tidak akan tahu kalau lelaki itu tidak akan menghindar,)" Ima terkejut dan dengan cepat Ima berdiri tepat di depannya.
Berkat Ima yang ada di depan lelaki itu, para orang orang yang lewat tadi menjadi menghindari nya sendiri.
Lelaki buta tersebut terdiam merasakan ada orang di depan nya. Ia hanya diam mencoba memikirkan seperti apa kejadian tadi.
"(Kenapa aku merasakan sesuatu di depan ku, apa ada orang? Mungkin hanya perasaan ku)"
Lalu dia kembali berjalan pergi dan Ima masih terdiam di tangga.
"(Fyuh itu tadi untung saja... Tapi ini benar-benar aneh, kenapa dia diam saja padahal di supermarket dia tampak bersuara menyenangkan hm...?)" Ima terdiam berpikir.
Tiba-tiba ada sesuatu memegang pundaknya.
"Ah..." dia terkejut melihat kebelakang dan rupanya itu Mose.
"Senior Mose?!"
"Haha kau terlalu terkejut melihatku," kata Mose.
"Maafkan aku…"
"Tak apa, lagipun aku yang salah... ngomong-ngomong Kenapa kau memanggilku seolah olah aku lebih tua dari mu?"
"Eh, apa aku salah? Itu karena Senior Mose adalah senior kelas tiga," balas Ima.
"Haha, rupanya kau tahu bahwa aku senior yah.... Oh, ngomong-ngomong kenapa Ima ada di tangga ini... Apa kau sedang melihat nya," Mose menatap lelaki buta tadi yang semakin pergi.
"Entahlah aku hanya penasaran."
"Hm?" Mose menjadi bingung seketika Ima menutup mulut nya karena tak sengaja mengatakan apa yang dia maksud pada lelaki buta tadi.
"Ma-maksud ku... Aku tidak melakukan apa-apa!!" dia mencoba menjelaskan dengan panik.
Lalu Mose tersenyum kecil melihat tingkah lucu Ima. "Kau tak perlu dekat dengannya... Hanya cari tahu aku siapa," kata Mose.
"Eh, kenapa?"
"Kau belum tahu aku siapa kan? Nah... Cari tahu lewat orang disini ya... Aku pergi dulu," Mose melambai dan berjalan pergi.
"(Apa maksud nya... Apa dia mencoba membuat ku penasaran dengan nya, sudah jelas lelaki sepertinya milik wanita lain kenapa masih saja datang pada ku?)" Ima masih bingung dengan perkataan Mose tadi.
Di kelas ada perempuan datang dan rupanya itu Naya.
"Hai Ima... Kemarin kau disini kenapa kau tidak mampir di kelasku... Padahal aku mencarimu."
"Hah... Naya... Bagaimana bisa... Maksudku... Maafkan aku... Aku terlalu sibuk. Lagi pula aku juga berpikir bahwa kau nanti yang datang menjemput ku untuk ke kelas Bersama."
"Haha maaf kan aku juga, kupikir kelas kita sama, rupanya beda."
"Haiz.... Kamu ini, eh ngomong-ngomong Naya.. Kenapa kemarin kau tidak bekerja?"
"Hm...? Oh, aku libur.... Tapi jangan khawatir aku kerja hari ini kok," kata Naya.
"Oh, syukurlah aku punya teman.... Em... Naya... Apa kamu tahu.... Lelaki bernama Mose?" tanya Ima.
"Mose.... Maksudmu senior genteng itu, dia di taksir banyak cewek disini tapi tak ada satupun yang dia terima apalagi di ajak ngobrol sama dia.... Banyak yang bilang dia memimpin tim basket dengan keras dan tegas."
"(Benarkah.... kenapa aku tidak tahu?)" Ima terdiam kudet.
"Oh ya... Aku duluan ya.... Aku akan menyusul di kafe nanti," Naya berdiri.
"Oh... Hati hati di jalan,"
"Kau juga!!!"
Sepulang kampus. Ima kembali melihat lelaki buta itu berjalan pulang melewati lapangan.
"(Oh itu dia....)" dia langsung senang karena menemukan nya.
Tapi tiba-tiba lelaki itu terjatuh menjatuhkan beberapa buku yang ia bawa. Ima terkejut dan berlari menghampirinya.
Lelaki itu terus meraba pelan tanah mencari bukunya. Ima yang melihat bukunya ada di samping lelaki itu segera menunduk dan mendorong buku itu pelan pelan di tanah agar mengenai tangan lelaki itu.
Lelaki tersebut kembali merasakan sesuatu seperti ada yang membantunya mengambil buku itu.
Tujuan Ima untuk tidak menjadi ketahuan bahwa lelaki buta itu sedang ia bantu dari tadi, membuat nya penasaran akan siapa Ima yang telah membantunya.
Tapi ia bukan lelaki yang kekurangan, ia bahkan sudah tahu. "(Apa ini, gadis yang ada di supermarket itu, yang tak sengaja aku pukul pakai tongkat pembantu jalan buta itu? Seperti nya begitu,)" dia bisa mengira Ima.
Setelah membantu lelaki buta tadi, tentu saja Ima berjalan pergi.
"(Hehe sepertinya aku sudah membantunya dengan diam diam.... Oh haruskah aku ke kafe sekarang,)" dia melihat jam tangannya sudah waktunya bekerja.
--
"Halo ima~" sapa Hinko yang mendekat pada Ima yang berdiri didekat meja pemesanan.
"Oh manajer... Selamat sore," Ima menundukan badan.
"Sore untukmu juga, oh bagaimana dengan tanggung jawabmu?"
"Aku sudah mengerjakan nya."
"Bisa aku lihat?" Hinko mengulur tangan lalu Ima memberikan dokumen itu padanya.
Hinko terkejut ketika melihatnya.
"Ima... Apa kamu... Mengerjakan ini semua dalam semalam?!"
"Hm... Ya... Ada apa?"
"Kau menyelesaikannya pukul berapa?"
"Sebenarnya... Aku selesai pukul 1 malam.... (Setelah itu aku lanjutkan belajar bahasa isyarat)"
"Kau sangat memegang tanggung jawabmu.... Gadis yang baik, apa seseorang mengajarimu?"
"Mengajari apa?"
"Soal menjadi gadis yang baik."
"Oh... Ibuku yang mengajarinya.... (Aku tidak mengerti apa yang di bicarakan manajer)" balas Ima.
"(Aku penasaran dengan kehidupan gadis menarik ini)" batin Hinko.
Tapi hingga malam pun, pelanggan yang di nanti tidak kunjung datang. Ima mulai khawatir. Lalu Naya mendekat melepas celemek nya.
"Ima kau tidak mau pulang, kafe sudah mau di tutup," tatap nya.
"Ah... Aku akan pulang," Ima membalas lalu merelakan pelanggan itu.
"(Sepertinya dia tidak datang disini... Aku akan membawa pulang dokumenya sementara)"