webnovel

Pengawal Nona CEO yang Paling Setia

Di dunia ini, ketika orang-orang mabuk mereka bisa menangis histeris, tertawa seperti orang gila, atau jadi setan yang hanya bisa merusak-rusak sekitarnya Tapi apa kamu pernah dengar, dua orang yang saat mabuk justru mengurus surat-surat nikah di KUA dan menjadi suami istri? Ezra dan Lana lah yang paling tahu bagaimana rasanya menjadi duo bodoh yang tersesat di Malang dan melakukan hal luar biasa itu. Esok paginya Alana kabur membawa surat nikah itu sebagai jaminan pertanggung jawaban Erza padanya. Sedangkan Erza kini kesulitan untuk menyambung hidupnya sendiri karena kehabisan uang untuk menggoda Lana semalam. Walaupun sudah mengutuk dirinya sendiri, Ezra tidak menyerah dan memutuskan pulang ke kampung halamannya di Semarang lalu mencari pekerjaan. Karena satu dan lain hal akhirnya Erza menjadi satpam di suatu perusahaan besar. Disana… Ia bertemu kembali dengan Lana. Dan ternyata Lana-lah presiden direktur perusahaan itu!

AxelleCollin · Urban
Not enough ratings
419 Chs

Dikelilingi Dua Wanita Cantik

Erza dan Wika banyak berbicara, tetapi kebanyakan tentang Wina. Dalam benaknya, Erza berpikir bahwa jika dia ingin menyembuhkan lukanya dengan cepat, maka dia harus selalu berada di dekat Wina. Tetapi Erza benar-benar tidak tahu bagaimana cara mengatakan hal itu pada Wika. Sepertinya masalah ini baru bisa dibahas di lain waktu.

"Sudah larut, aku akan kembali dulu." Setelah mengecek jam, Erza masih memutuskan untuk pulang. Dia juga menikah, jadi dia tidak bisa sering pulang larut malam. Sebelum pulang, Erza mampir ke ruangan yang dipakai Tasya dan teman-temannya untuk karaoke.

"Kenapa kamu tidak bernyanyi?" tanya Erza.

"Kak Erza, apakah kamu benar-benar bos mereka?" Ketika Tasya bertanya, dia sangat antusias menunggu jawaban dari Erza. Gadis-gadis lain juga memandang Erza seolah-olah mereka menantikannya.

"Dia berbicara omong kosong. Kami hanya pernah bertemu sebelumnya. Sudah larut, kalian semua harus pulang." Erza membujuk mereka.

"Tapi, kita belum cukup bersenang-senang." Tasya hendak berjalan ke Erza dan terus bertingkah seperti bayi.

"Hentikan, aku harus pulang hari ini." Erza mengelak.

"Baiklah."

Erza mengantar Tasya dan teman-temannya pulang. Saat itu sudah jam dua belas. Ketika mereka pulang, hanya ada sedikit mobil di jalan yang membuat Erza merasa kesepian. Setelah tiba di rumah, semua orang sudah terlelap. Erza langsung menuju ke kamarnya untuk tidur.

Keesokan paginya, ekspresi Lana tampak dingin, tetapi Erza tidak peduli tentang itu. Dia sudah terbiasa. Setelah sarapan, Erza berangkat ke kantor dengan Lana. Saat sudah berada di area kantor, dia melihat Sanca berdiri di suatu sudut.

"Lana, kamu sudah datang?" Setelah mobil berhenti, Sanca dengan cepat berjalan ke arah mobil Lana dan berkata dengan gembira. Tetapi ketika dia melihat Erza yang mengemudi, suasana hati Sanca langsung memburuk.

"Ada apa denganmu?" Erza merasa sedikit terhibur saat melihat ekspresi Sanca. Lana bahkan lebih acuh tak acuh pada Sanca.

"Bukankah hari ini ada reuni?" Sanca tersenyum kecil.

"Aku tahu. Aku akan pergi ke sana." Lana menjawab dengan cuek.

"Tapi kali ini berbeda," kata Sanca.

"Mengapa berbeda?" Lana masih menatapnya dengan dingin.

"Kudengar reuni kali ini akan diadakan berpasangan. Jika kamu pergi sendiri ke sana, maka kamu akan ditertawakan." Saat Sanca berbicara, wajahnya menjadi lebih serius.

"Apa maksudmu?" tanya Lana.

"Aku akan menemanimu. Kebetulan itu reuni sekolah kita, ditambah lagi aku juga lajang." Sanca menjelaskan dengan sabar. Erza akhirnya mengerti mengapa Sanca berdiri di sini.

"Harus berpasangan?" Lana terkejut.

"Ya, itu benar. Kamu tidak punya teman laki-laki selain aku, 'kan?" Sebenarnya Sanca tahu tentang kehidupan masa sekolah Lana. Lana tidak punya banyak teman, jadi ini adalah kesempatan emas bagi Sanca untuk menjadi pasangannya saat menghadiri acara reuni. Jika Sanca pergi ke reuni dengan Lana kali ini, semua teman sekelas mereka akan berpikir bahwa mereka adalah sepasang kekasih.

Di reuni itu juga, jika Sanca bisa membuat Lana mabuk, maka dia akan mendapat keuntungan lebih. Meskipun itu terdengar sedikit jahat, namun Sanca tidak peduli asalkan dia bisa mendapatkan Lana.

"Erza akan menemaniku." Namun perkataan Lana membuat Sanca tercengang seketika. Melihat Erza di sebelah Lana, Sanca tidak bisa memahami apa yang dipikirkan Lana.

"Lana, bukankah dia hanya pengawalmu dan bawahanmu di perusahaan?" tanya Sanca tidak terima.

"Memangnya kenapa? Aku adalah pengawal Bu Lanas. Jika nanti Bu Lana mabuk, aku bisa langsung mengantarnya pulang. Lebih aman." Erza tersenyum tipis.

"Ah, tentu saja. Ini demi keselamatan Lana." Sanca hampir melayangkan tinjunya.

"Oke, kalau begitu Erza akan pergi bersamaku ke reuni." Setelah selesai berbicara, Lana berjalan masuk ke kantor. Di saat yang sama, Erza menggoda Sanca lagi.

"Sanca, maaf. Gara-gara aku kamu jadi tidak bisa pergi dengan Bu Lana," ucap Erza terkekeh sambil bergegas pergi.

"Sial, Erza! Kamu telah berulang kali menggagalkan kencanku dengan Lana." Melihat punggung Erza, Sanca benar-benar ingin membunuhnya. Ini membuat Sanca benar-benar gila.

"Reuni itu akan diadakan Rabu ini, ingatlah untuk meluangkan waktu." Tidak ada seorang pun di lift, jadi Lana bebas mengobrol dengan Erza.

"Aku tidak akan lupa."

"Tunda semua urusanmu saat itu."

Erza keluar dari lift setelah mendengar perkataan Lana. Dia menuju ruangannya.

"Erza, kamu datang lebih awal hari ini?" Alina berjalan menghampiri Erza. Dia juga membelai wajah Erza sambil menatapnya dengan tatapan yang seksi.

"Alina, apa yang kamu lakukan?" Melihat penampilan Alina, Erza tiba-tiba merasa sedikit gerah.

"Tentu saja, aku menginginkannya." Alina sudah menempelkan tubuhnya di tubuh Erza saat berbicara.

"Oke." Jika ini bukan kantor, Erza pasti sudah meladeni Alina dari tadi. "Baiklah, ayo lakukan di sini." Saat berbicara, Erza meletakkan tangannya di pantat Alina, meremasnya dengan kuat. Pada saat yang sama, dia mendorong Alina ke sudut ruangan.

"I-ini di kantor, Erza." Alina juga terkejut oleh Erza.

"Kaulah yang merayuku, oke?" kata Erza.

"Kenapa kamu tidak pergi ke rumahku nanti malam?" Wajah Alina memerah ketika dia berbicara. Meskipun Erza mengatakan pada dirinya sendiri bahwa dia tidak boleh pergi ke rumah Alina lagi, tubuhnya benar-benar tidak bisa diajak kompromi. Dia justru mengangguk saat ini.

"Bagus, aku akan pergi dulu." Sambil berbicara, Alina mencium bibir Erza sebelum meninggalkan ruangannya. Melihat punggung Alina, Erza juga menggelengkan kepalanya tanpa daya. Alina benar-benar godaan baginya.

Erza telah duduk di ruangannya sepanjang pagi. Dia hanya menonton film, dan melakukan segala macam hal yang tidak berhubungan dengan pekerjaannya.

"Erza, ayo pergi ke kantin!" ajak Alina tiba-tiba.

"Alina, aku tidak akan pergi." Saat Erza berpikir mereka pergi ke kantin untuk makan, Erza takut jika mereka mungkin akan bertemu Lana nanti.

"Ada menu baru hari ini. Ikutlah denganku. Ada ruangan VIP." Alina tetap merayu Erza.

"Ada ruangan VIP? Kalau begitu ayo pergi." Erza akhirnya setuju. Lagipula ada ruangan VIP di sana.

Saat ini keduanya sudah berada di kantin dan langsung menemukan ruangan VIP yang dimaksud Alina. Tentunya ruangan ini tidak untuk semua orang, setidaknya hanya karyawan dengan jabatan minimal manajer yang bisa menggunakannya.

Alina langsung mengambil beberapa makanan dan masuk.

"Alina, tutup pintunya," pinta Erza.

"Kenapa harus menutup pintu? Ayo makan saja. Tidak perlu takut." Alina merasa sedikit aneh. Dia tidak tahu apa yang terjadi pada Erza.

"Nanti Bu-" Namun, sebelum Erza selesai berbicara, hal yang dikhawatirkannya benar-benar terjadi. Dia melihat Lana berdiri tepat di luar pintu ruangan VIP itu dan melihat ke dalam. Lana hanya diam.

"Bu Lana." Alina buru-buru menyapa.

"Ngomong-ngomong, apakah aku bisa makan di sini juga?" Lana tersenyum, sedangkan Erza gemetar.

"Bu Lana, ruangan ini tidak besar." Alina sebenarnya tidak ingin Lana mengganggu dia dan Erza.

"Tidak apa-apa, aku hanya makan di sini." Tapi sebelum Alina selesai berbicara, Lana langsung masuk. Dia duduk di samping Erza. Ketika Alina melihat pemandangan ini, dia sedikit terkejut. Dia bertanya-tanya apa yang terjadi. Apakah Lana juga menyukai Erza? Tapi bukankah itu sangat tidak mungkin?

Saat ini punggung Erza sudah penuh dengan keringat dingin. Erza tidak pernah setakut ini sebelumnya. Bahkan saat di medan perang, dia tidak pernah merasa seperti itu.

"Sinta, bawakan aku makanan, lalu tutup pintunya." Kata-kata Lana memecah keheningan.

"Erza, makan ini. Ini enak." Setelah memikirkannya sebentar, Alina tidak terlalu peduli dengan kehadiran Lana. Bahkan jika Lana menyukai Erza, Alina adalah yang pertama mengenal pria itu. Saat ini, dia tidak boleh mundur. Bahkan jika Lana adalah bosnya.

Saat berbicara, Alina juga memasukkan sepotong daging ke mulut Erza. Erza benar-benar ingin lari.

"Aku bisa melakukannya sendiri." Erza mengangguk dan dengan cepat mengambil daging itu dengan sumpit.

"Erza, kamu harus mencoba ini juga." Lana tiba-tiba memberikan kue untuk Erza. Sekarang Erza benar-benar ingin kabur dari ruangan itu.