5 Chapter 5

"Mungkin saja, saat kau mandi, dan pelayan setia mu tidak menemani, mungkin saja ada mata jahat yang memandang tubuhmu." ucap Malvin, membuat Aldo putra paman Hans berkeringat, ia pun memilih keluar dari ruang tengah tersebut.

Dan Vinka terdiam tidak percaya dengan apa yang di ucapkan Malvin barusan. Seluruh keluarga Hans terdiam sama-sama tidak percaya.

"Bagaimana, kau tau hal itu akan terjadi!?" Tanya Vinka kesal.

"Itu sudah terjadi, Tuan Hans jika keponakanmu bersikeras tidak menerima ku, lebih baik aku pergi."

"Tunggu!"

Hans melihat Vinka "baiklah, kau bisa bekerja mulai hari ini, Sarah, tunjukkan kamarnya."

"Baik Tuan."

Malvin mengikuti Sarah.

"Tunggu!" Teriak Vinka.

Seluruh keluarga Hans menoleh melihat Vinka. Adellia dan Nyonya Monica memutar bola matanya dan memilih pergi meninggalkan tempat itu.

"A, aku ingin bicara dengan mu."

Semua pandangan ke arah Malvin.

"Sarah, antar-kan dia ke ruang pribadi ayah."

"Tunggu Vinka, Malvin hanya penjaga mu, bukan detektif." Ucap Monica mulai kesal pada ponakan suaminya itu, karena Monica tau apa yang akan dilakukan Vinka.

Vinka tidak mendengar, ia tetap berjalan menuju ruang pribadi Tuan Panduwinata ayahnya, dengan dibantu tongkat yang membuat suara khas dari tongkat tersebut, membuat Malvin tersenyum, entah apa maksudnya.

~*~

Sesampai di ruang pribadi Tuan Panduwinata, mereka terdiam cukup lama.

"Jadi apa yang ingin Anda lakukan?" tanya Malvin mulai bosan.

"Ayah dan ibuku, dibunuh di sini."

"Lalu?"

"Aku ingin tau, apakah ada barang si pembunuh yang tertinggal?"

Malvin melihat sekitar "sepertinya tidak, mungkin para polisi sudah membereskannya."

Vinka tertunduk kecewa, ia berbalik untuk pergi dari tempat tersebut, mungkin karena tidak hati-hati, wajahnya hampir terbentur dinding, dengan cepat Malvin melindungi wajah Vinka, maka yang terbentur tangan Malvin, ia berusaha menahan sakit saat kening Vinka membentur tangannya, ini belum seberapa.

"Maaf, apa tangan mu, baik-baik saja?"tanya Vinka khawatir.

"Sepertinya sedikit tergores, tapi tidak apa-apa,"

Malvin bisa melihat mata pucat milik Vinka.

"Ayo, saya antar anda ke kamar." ajak Malvin.

"Tidak perlu, aku bisa jalan sendiri."

"Baiklah, selamat malam."

Bukan karena perhatian, Malvin hanya ingin tau semua tentang Vinka, niatnya ingin membunuh tentu masih ada, namun ia harus menunggu waktu yang tepat. Malvin mengikuti Vinka dari belakang, berjalan pelan tanpa menimbulkan suara itu keahliannya.

Sesampai di sebuah ruangan, Vinka melipat tongkatnya, mencari kunci kamar di dalam kantong kecil yang selalu ia bawa kemanapun pergi, ia mulai membuka pintu kamar tersebut, terdengar suara khas dari pintu itu, seperti suara pintu yang sudah lama, yang membuat Malvin tidak nyaman.

"Pergilah, apa kau juga ingin masuk ke kamar ku?"

Malvin sangat kaget, ternyata sejak awal Vinka sudah tau kehadirannya, namun Vinka tidak mengusirnya.

"Itu artinya kau menerima ku?" tanya Malvin.

"Selamat malam." Vinka menutup pintu kamarnya, meninggalkan Malvin sendiri di lorong rumah yang sepi.

Malvin tersenyum "baiklah selamat malam."

~*~

Malvin melempar jaketnya ke kasur, tubuhnya pun menyusul, berbaring melihat langit-langit. Ia ingat masa lalunya, dan ada alasan kenapa ia menjadi seorang mafia, ini semua gara-gara ayahnya.

Bahkan ia ingat, saat ibunya menangis melihat kepergiannya ke kota atas paksaan ayahnya. Mau bagaimana lagi, ia putra satu-satunya, yang harus meneruskan pekerjaan ayahnya sebagai seorang mafia, kabar gembiranya, ia sudah merasa nyaman dengan kehidupannya yang sekarang.

Tok! Tok!

Mata Malvin melihat pintu.

"Siapa malam-malam begini?"

Dengan berat, ia bangkit dari pembaringannya, untuk membuka pintu kamar. Di lihatnya seorang wanita memakai piyama tidur dengan model Night Dress.

berdiri membelakanginya. Senyuman Malvin terlukis di bibirnya.

"Ada apa Sarah?" tanya Malvin.

Sarah mendorong Malvin masuk ke kamar, dengan cepat ia menutup pintu kamar tersebut. Malvin melihat Sarah.

"Beritahu aku apa yang kau lakukan di sini?" tanya Sarah.

"Seharusnya aku yang bertanya pada mu."

Sarah memberikan sebuah poster pada Malvin.

"Sejak kapan kau melakukan itu Malvin, sejak kapan?"

Malvin merobek poster tersebut, ya, itu adalah poster dengan wajahnya.

"Dari mana kau mendapatkannya?" tanya Malvin kurang senang.

"Kantor polisi, apa itu benar Malvin, sejak kapan?"

"Ya, dan aku tidak tau sejak kapan."

"Jangan bilang kau juga yang membunuh Tuan Panduwinata dan istrinya?"

Malvin hanya melihat Sarah kurang senang, Sarah mengambil langkah mundur, mencoba membuka pintu kamar, namun sayang Malvin sudah mengunci pintu kamar tersebut. Sarah mulai takut.

"Sarah, bukan aku yang membunuh mereka, aku hanya menjalankan tugas."

"Siapa? siapa yang menyuruhmu?"

"Itu bukan urusanmu."

Malvin mendekatkan wajahnya pada wajah Sarah.

"Diam, atau kau juga menjadi targetku."

Ucapan Malvin membuat Sarah takut, air matanya mengalir membasahi pipinya.

"Aku mohon, jangan sakiti Nyonya Vinka, hanya dia harapan ku untuk hidup."

"Wah, ternyata kau peduli dengan Tuan putri itu, sebaik itukah dia?"

"Keluarga Tuan Panduwinata tidak pernah mengecewakan para pekerjanya, tapi semenjak kau dan anak buah mu membunuh mereka, sekarang gaji kami tergantung pada Nyonya Monica, dia mengurangi jumlah gaji kami."

"Luar biasa, sepertinya aku melakukan kesalahan." Malvin tersenyum, bibirnya mulai menciumi leher Sarah.

"Malvin! apa yang kau lakukan?!" Sarah mencoba mendorong tubuh Malvin hingga terjatuh tepat di kasur saat Malvin mulai menggigit nya, Sarah mulai takut saat Malvin tertawa terbahak-bahak, Malvin mencoba mengambil posisi duduk, melihat Sarah.

"Ternyata kau masih canggung." ucap Malvin, mencoba berdiri dan berjalan menuju pintu, ia membuka pintu tersebut dan membukakan untuk Sarah.

"Pergilah," ucap Malvin, tanpa berpikir panjang lagi, Sarah pun berjalan keluar dari kamar Malvin.

"Selamat malam." sapa Malvin dan menutup pintu kamarnya.

~*~

Sarah terdiam memikirkan kejadian semalam, dia tidak menyangka Malvin akan melakukan hal itu padanya.

"Aw!"

Sarah tersadar dari lamunannya, karena kaget.

"Nona Vinka, maafkan aku."

Vinka mengusap-usap kepalanya yang terasa sakit.

"Sarah kau tidak apa-apa?" tanya Vinka.

"Saya baik-baik saja Nona, anda tidak perlu cemas."

Sarah membantu Vinka berdiri, memberikannya tongkat.

Mereka melangkah keluar kamar, tepat saat mereka berjalan, mereka berpapasan dengan Malvin, Sarah melihat Malvin sedang menggoda Sarah dengan mengusap lehernya, membuat Sarah memalingkan wajahnya. Belum sampai di situ, Malvin berjalan menghampiri mereka, membuat Sarah salah tingkah.

"Selamat pagi Nona Vinka." sapa Malvin.

Sarah menelan ludahnya dalam-dalam, Malvin melihat Sarah dan tersenyum.

"Selamat pagi Sarah," sapa Malvin.

"Bagaimana tidurmu semalam?" tanya Malvin.

"Malvin jangan ledek Sarah, itu tidak baik, kerjakan saja pekerjaan mu." balas Vinka sedikit kesal.

"Pekerjaan saya, kan menemani dan melindungi Nona Vinka." Balas Malvin, membuat Vinka terdiam kesal.

"Aku tidak perlu dilindungi!" bentaknya, berjalan meninggalkan Sarah dan Malvin.

"Nona." panggil Sarah.

Malvin menarik lengan Sarah, dengan kesal Sarah melepas tangan Malvin.

"Aku mohon, jangan lakukan itu." ucap Malvin memohon dengan nada memelas.

"Itu urusan mu, dan kau tau resikonya nanti."

Malvin tersenyum, ia memberikan selembar kertas pada Sarah, Sarah mengambil kertas itu, selesai membaca isi dari kertas itu, Sarah memandang Malvin tidak percaya.

"Tidak mungkin."

Malvin mengeleng "kita tidak tau rencana Tuhan seperti apa."

Malvin mengambil kertas tersebut dari tangan Sarah, melipatnya kembali dan memasukkannya ke dalam saku jasnya.

avataravatar
Next chapter