3 Chapter 3

Malvin mencoba menghitung uang yang ia peroleh dari pekerjaannya, sebagai seorang Mafia. Tentu saja pekerjaan apapun itu, ia bisa jalankan, mau itu baik ataupun buruk, bahkan ia sanggup membunuh seseorang. Walaupun wajahnya sudah di kenali para polisi, namun mereka tidak memiliki hak, jika bukan Malvin yang menyerahkan diri kepada mereka.

Tok! Tok!

"Masuklah."

Malvin melihat orang yang masuk ke ruangannya. Seperti ragu-ragu untuk memberitahu sesuatu.

"Ada apa Kevin?"

"Tuan, boleh saya ijin keluar markas?"

"Kenapa kau bertanya pada ku, pergilah."

Kevin melihat tumpukkan uang yang sedang di hitung. Malvin melihat anak buahnya.

"Berapa yang kau inginkan?"

Kevin kaget "tidak banyak, hanya satu juta saja."

Malvin memberikan uang yang sudah ia ikat dengan rapi, dan memberikannya pada Kevin.

"Terima kasih Tuan."

"Pergilah, jangan pernah mengecewakan Jessie."

"Ba, bagaimana anda tau, kalau saya akan bertemu dengan Jessi?"

"Itu terlihat dari matamu."

Kevin tertunduk malu "saya permisi dulu"

Malvin memberikan senyuman, ia melihat anak buahnya yang paling muda berjalan menuju pintu dan keluar dari ruangannya. Di bukanya laci meja miliknya, mengeluarkan sebuah bingkai foto, entah foto siapa itu.

"Maaf, aku berjanji, jika semua tugasku selesai." Malvin meletakkan foto tersebut kembali ke tempat awal berada, sama persis tanpa ada perubahan.

~*~

"Selamat pagi Tuan Mafioso." Sapa seorang wanita.

"Pagi Linda, bisakah kau tidak memangil ku seperti itu, aku punya nama."

"Tidak itu tidak aman, lagi pula kau memang pria terhormat."

Malvin tersenyum.

"Tuan ingin ke mana?"

"Ingin berjalan-jalan sebentar."

"Ya, semoga saja anda menemukan seorang wanita yang cocok."

"Maksudnya?"

"Ya, seorang wanita, seorang istri, kau pasti akan menikah, kan?"

Malvin mengeleng "aku tidak tau."

"Bagaimana kak Rose, dia cantik, kalian serasi."

Malvin tidak memperhatikan ocehan Linda, ya, remaja wanita itu sangat aktif dalam berbicara. Bahkan ia melupakan jati dirinya di klub tempat ia bekerja, sebagai pelacur, entah sudah berapa pria yang menggauli dirinya, tidak ada rasa penyesalan di wajah gadis itu, dia sangat pandai memainkan peran.

Malvin berjalan menaiki tangga menuju klub, karena markasnya tepat di bawah klub tersebut, di ruang bawah tanah, klub tersebut didirikan oleh ayahnya sendiri, mungkin nanti akan di ceritakan, entah itu kapan.

Seluruh pengunjung melihat ke arahnya.

"Selamat pagi Tuan Mafioso."

"Pagi Ziah."

"Mencari Rose, dia ada di atas panggung."

"Boleh kau panggilkan?"

"Tentu saja, apa sih yang gak buat Tuan kami."

Ziah berjalan meninggalkan Malvin, wanita itu benar-benar nakal, ia selalu menggoda para tamu yang ia temui dengan mencolek tamu tersebut. Namun, wanita itu masih belum berani, bersikap seperti itu di depan Malvin, karena ia tau, Malvin bukan pria sembarangan yang mudah di rayu. Pernah sekali ia memergoki Malvin dengan wanita penggoda dengan sifat yang sama dengan dirinya, entah apa yang wanita itu lakukan, sampai-sampai Malvin melemparnya hingga tewas di depan semua orang.

"Rose, Tuan Raja ingin bertemu dengan mu!"

Wanita bernama Rose tersebut tersenyum manis, saat mendengarnya. Ia turun dari panggung, membuat para penonton bersorak kecewa.

Dengan tali putih yang membalut tubuhnya, ia berjalan menuju kamarnya.

Sesampainya di pintu, ia mengambil napas, untuk menghilangkan rasa gugupnya dan membuka pintu kamar. Tidak ada siapapun di dalam.

"Malvin?"

Rose merasa kecewa, karena di kamar tidak ada siapa pun.

"Akh!"

"Kau merindukanku?"

Rose hanya tersenyum saat seseorang memeluknya dari belakang.

"Semua wanita pasti merindukan dirimu."

Malvin mencium leher Rose dengan gemas, ya wanita ini adalah teman semasa sekolah. Banyak yang mengolok-olok bahwa mereka pasangan serasi yang memiliki masa depan suram, si wanita seorang pelacur dan si pria seorang mafia yang berkerja di kegelapan.

Rose hanya bisa pasrah di pelukan Malvin, ia terus mendesah, menikmati kecupan mesra dari bibir dingin pria itu.

"Malvin aku lemas." Ucapnya manja.

Malvin semakin nakal menjamah payudara Rose.

"Maukah, kamu memberikan lebih?" Ucap Rose, mendengar hal itu membuat nafsu Malvin hilang, ia mengambil jas dan memakai sepatunya.

"Malvin, aku minta maaf, tolong jangan marah, aku mohon."

Rose mencoba mengejar Malvin, mencoba menghadangnya, tetap saja itu sia-sia saja.

Malvin tetap berjalan tidak mempedulikan Rose, seluruh pengunjung melihat mereka, bahkan ada sindiran jahat untuk Rose, yang menganggap dirinya tidak mampu menaklukkan tamunya, atau tidak mampu memberikan layanan lebih pada si pria, padahal ini semua bukan salahnya. Rose hanya bisa menangis, melihat Malvin meninggalkan Bar tempat ia bekerja, seharusnya Rose tidak melakukan itu, dari awal Malvin sudah memberitahunya.

"Jangan meminta lebih dariku." itu yang selalu Malvin ucapkan pada Rose, setiap Rose bertanya, Malvin tidak pernah menjawab, hanya memandangnya penuh amarah, untuk kesekian kalinya, Rose melakukan kesalahan itu.

"Rose?" panggil Ziah mendekati rekan kerjanya itu.

Rose memeluk Ziah dan menangis.

...~*~...

Malvin berjalan menyusuri jalan kota yang begitu ramai, kota dengan seluruh bangunan berbahan bata merah, jika pemilik memiliki uang lebih, mereka akan memakai batu hitam yang lebih mahal dari batu bata merah, seluruh bangunan dengan gaya Eropa kuno.

Setiap mata perjalan kaki wanita selalu memperhatikan setiap langkah Malvin, dan berbisik tentang kelebihan yang dimiliki pada Malvin. Mungkin karena sifat dan sikapnya yang tidak begitu tertarik dengan wanita yang terlalu agresif, Malvin tidak bergeming sama sekali, tersenyum pun tidak.

"Berapa harga rokoknya?" tanya Malvin, mencari dompetnya di saku jasnya.

"Untuk Tuan, ini gratis." ucap remaja laki-laki itu.

Malvin melihat lekat remaja laki-laki itu, tersenyum berharap sesuatu pada Malvin.

"Apa yang kau inginkan dariku?" tanyanya.

Remaja laki-laki itu menundukkan kepala.

Malvin memijat keningnya, ia tau apa artinya. Itu adalah kode untuk memohon agar diangkat sebagai anak buah.

"Ikut denganku." Malvin berjalan meninggalkan remaja itu, dengan cepat remaja laki-laki itu membereskan dagangannya, dan mengejar langkah Malvin.

...~*~...

Malvin melihat remaja laki-laki itu, entah apa yang harus ia lakukan, niatnya untuk mengusir, itu tidak mungkin, karena caranya mengusirnya tidak seperti mengusir seekor kucing yang hanya berkata "husss." tentu saja ini tentang nyawa.

Mereka duduk di sebuah Cafe yang memang begitu ramai, namun karena si pemilik cafe tau siapa Malvin, ia memberikan ruang khusus untuk Malvin dan tamunya. Seorang pelayan wanita memberikan sebuah termos ukuran setengah liter kepada Malvin.

"Pesanan anda Tuan."

Malvin hanya tersenyum saat pelayan itu meletakkan termos tersebut. Pelayan itu melihat remaja laki-laki itu, membuatnya takut.

"Siapa namamu?" tanya Malvin.

"Semua orang memangil ku Zico."

"Dari mana kau tau tentang aku?"

Zico menarik jari-jarinya yang kurus, ia berusaha untuk mengumpulkan keberanian. Malvin meletakkan sesuatu di meja, membuat mata Zico terbuka lebar, bagaimana tidak, itu adalah sebuah pistol, Zico melihat Malvin dengan pandangan tidak percaya.

avataravatar
Next chapter