1 Chapter 1

DOR!

Sebuah peluru menembus kepala seorang pria.

Gelas yang ia genggam pun terjatuh dari tangan, membentur lantai.

"Aakkh!! Papa!"

Wanita itu mendekati jasad suaminya, yang sudah bersimbah darah.

"Kalian!! apa yang kalian lakukan!!"

DOR!

Seketika wanita itu terdiam, saat peluru menembus tepat di kepalanya.

"Berisik." Ucap seorang pria.

"Boss." Panggil anak buahnya.

Ia menoleh, wajahnya tidak menggambarkan kepanikan, namun anak buahnya, sudah bersiap akan menembak orang yang berdiri di depan pintu.

Seorang wanita, dengan rambut hitam sedikit coklat emas, panjang bergelombang yang terurai bebas, memakai piyama chemise dengan gaya jaman Eropa kuno berwarna putih.

Ke tiga pria dewasa ini memandanginya, salah satu dari mereka bersiap untuk menembak, namun pria yang memimpin mereka menahan untuk tidak menembak, anak buahnya pun menurut. Dia adalah Malvin pemimpin sekelompok Mafia, dengan anak buah yang menyebar di seluruh dunia.

"Ayah, ibu?" Panggil wanita itu, berjalan pelan, menghampiri mereka, dengan tangan yang meraba-rabah udara.

"Dia buta?" Bisik salah satu pria.

"Ah! Siapa itu!?" Wanita itu panik.

"Tugas kita selesai, ayo pergi." Ucap Malvin.

"Kita tidak membunuhnya?" Tanya anak buahnya.

Malvin melihat wanita itu, yang berdiri menatap nanar entah ke mana.

"Biarkan saja, mungkin suatu hari nanti, dia ingin membalas dendam." Jawabnya.

Wanita itu bergetar, menahan amarah, Malvin bisa mendengar suara gigi wanita itu beradu, membuat senyuman terlukis di ujung bibirnya tanda puas dengan tugasnya malam ini.

"Siapa kalian!!?"

Ke tiga pria tersebut, melompat keluar melalui jendela dari lantai dua, dengan tawa terbahak-bahak, berlari menyusuri halaman rumah keluarga Panduwinata.

Mereka meninggalkan tempat tersebut dengan sebuah mobil.

Beberapa detik kemudian, para polisi hadir, namun tidak menyadari kehadiran mereka, saat mobil mereka dengan mobil polisi berpapasan.

~*~

BRAK!

Meja di pukul oleh seorang pria, yang datang entah dari mana, tiba-tiba melakukan hal itu.

"Aku menyuruh kalian untuk membunuh seluruh keluarga Panduwinata, kenapa kalian menyisakan anak gadisnya!!"

Teriak seorang pria pada seseorang yang sibuk dengan pekerjaannya.

"Pak, jangan marah pada saya, tanyakan ini pada Tuan kami."

"Tuan kalian! di mana dia!?"

Ia pun melihat pintu "Malvin!" Teriaknya.

Pintu itu pun terbuka, keluarlah seorang wanita, memberikan senyuman pada kedua pria itu.

"Dia Tuan, mu?" Tanya pria itu menunjuk wanita tersebut.

Wanita itu kaget, ia melambai-lambaikan tangannya, tanda menolak ucapan itu.

"Bukan, aku bukan tuanya, jika anda ingin menemuinya, mhh...dia ada di dalam." Menunjuk ke arah belakang.

"Aku akan menemuinya." Pria itu memaksa masuk.

Namun tidak ada siapapun, di dalam ruangan tersebut.

"Ada yang bisa saya bantu?" Tanya seseorang, mengagetkan pria tersebut.

Senyum Malvin membuatnya takut.

"Kenapa kau tidak membunuh gadis itu?"

"Gadis? gadis yang mana?"

"Anak gadis Tuan Panduwinata!"

Suara pria itu bergema, mengisi ruangan tersebut. Garis bibir Malvin pun bergeser ke kanan, lagi-lagi pria paruh baya itu dibuat takut olehnya.

"Bisakah, kau, tidak tersenyum seperti itu?"

"Ada alasan, aku tidak membunuhnya, dan itu bertentangan dengan janji sumpah kami,.."

"Lagi pula, gadis itu bisa kau jadikan alat, kan?"

"Maksud, mu?"

"Berpura-pura sedih padanya, maka kau akan mendapat apa yang kau inginkan."

Pria paruh baya itu pun keluar dari ruangan dan berjalan keluar.

"Kevin."

Pria bernama Kevin itu kaget, bersama dengan wanita yang sedang dipangkunya.

"Tuan, masalahnya sudah selesai?"

Malvin melihat mereka dengan tatapan tidak senang.

"Jessie, kembalilah ke Bar, mungkin madam mencari mu."

Jessie mencium bibir Kevin dengan gemas.

"Da, dah...sayang." Melambaikan tangan.

Kevin membalas lambaian Jessie, dengan perasaan senang.

"Menjijikan." Ucap Malvin pelan, dan pergi dari tempat ia berdiri.

~*~

Di lain tempat, seorang pelayan wanita sedang mengikat rambut seorang wanita, mungkin usianya 20an.

Ya,wanita itu adalah putri pewaris keluarga Panduwinata, korban pembunuhan secara brutal yang dilakukan oleh sekelompok mafia bayaran, namun sayang, wanita itu tidak dapat melihat kejadian tersebut, karena buta.

"Nona Vinka?"

Wanita tersebut kaget, saat namanya di sebut.

"Maaf nona, anda kaget?"

Vinka mengeleng "tidak apa-apa."

Tok! Tok!

Pelayan Vinka melihat kearah pintu.

"Ada apa Desi?"

"Ada polisi dan keluarga adik tuan besar, menunggu di ruang tamu."

Mereka melihat Vinka yang tidak bergeming.

~*~

Dengan hati-hati pelayan bernama Desi menggandeng tangan Vinka, untuk menuruni tangga.

"Vinka," Seorang wanita memeluknya.

Wanita itu adalah adik dari Tuan Panduwinata, Victoria, istri dari Tuan James, pengusaha sukses di kotanya.

"Tabah ya sayang, Tante dan Om ada untukmu."

"Nyonya, boleh bicara sebentar."

Victoria melepas pelukannya, ia berjalan meninggalkan Vinka, mengikuti polisi tersebut.

"Kami ada masalah, untuk mencari pelakunya, sedangkan, saksi satu-satunya hanya keponakan anda, sedangkan ia buta."

Victoria melihat ponakannya.

"Mungkin, dia mengenali suara para pelaku."

"Kalau begitu, bolehkah kami menginterogasinya?"

Victoria melihat ponakannya.

~*~

"Aku menang." Membanting kartu.

"Aak!"

"Malvin, kau tidak mau bermain dengan kami?"

Pria itu mengangkat kepalanya dari buku yang ia baca "Tidak terima kasih, aku bosan menang."

BRAK!

Mereka melihat ke arah pintu.

"Maaf pak, Bos kami tidak menerima tamu hari ini."

"Tidak apa-apa Jessie, mungkin dia ada keluhan."

Jessie pun memberi hormat dan pergi meninggalkan mereka.

"Ada apa Tuan? apa keponakan mu, membuat masalah?"

"Dia tidak di titipkan pada ku!"

"Jadi?"

"Aku ingin kalian membunuhnya."

Malvin mengangkat ujung bibir kanan, membentuk senyuman tidak sempurna.

"Baiklah, berapa jumlah yang kau berikan?"

"Apa! kenapa kalian meminta bayaran padaku,!"

"Bukankah, sejak awal sudah aku katakan bunuh semua keluarga Panduwinata, kalian main-main denganku!"

Malvin melihat anak buahnya, mereka berdiri memegang senjata yang mereka arahkan pada tamu mereka, pria paruh baya tersebut ketakutan.

Malvin mendekatkan wajahnya, pada pria tersebut "Pulanglah, jika nyawamu masih ingin selamat, jika kau takut, silakan laporkan hal ini pada polisi, dan kami pun akan membuka kedok mu juga."

"Brengsek!"

Pria itu pun keluar dari ruangan.

BRAK!

"Ya Malvin, kau belum memberikan alasan, kenapa kau tidak membunuhnya."

Mendengar itu, Malvin hanya memberikan senyuman.

"Kerjakan saja tugas kalian."

Malvin meninggalkan anak buahnya, menuju ruangan pribadi. Ia mulai ingat, apa alasannya kenapa, ia tidak membunuh Vinka gadis buta, putri pewaris keluarga Panduwinata itu , namun ia masih simpan dalam-dalam di kepalanya.

Ia mencoba melihat surat perjanjian kerjasama pelanggannya satu-satu, begitu banyak masalah yang harus ia selesaikan.

"Kenapa mereka tidak menyelesaikan masalahnya sendiri." Ucapnya, memijat kening.

Sebuah foto terjatuh tepat di ujung sepatunya, dengan berat, ia harus membungkuk untuk mengambil foto tersebut. Ia mulai tersenyum saat mengetahui foto siapa itu.

"Secara tidak langsung, aku sudah membungkukkan badan, padanya," Ucapnya melihat foto tersebut.

"Dan secara tidak langsung, kau mencium ujung sepatu ku." Tambahnya.

Malvin mengambil foto tersebut "Vinka," dan tersenyum "ini menarik."

~*~

Senja mulai menghilang secara perlahan, bersembunyi dari peradaban, hingga malam menggantikan tugasnya dengan bulan dan bintang. Rumah putih mewah dengan 2 pilar utama, siap menyambut mereka yang datang. Rumah tersebut memiliki 3 lantai, di lengkapi kolam yang cukup luas, mungkin kalian bisa membuat pesta malam, karena rumah ini memiliki halaman rumah seluas halaman gedung putih.

"Nona, air panasnya sudah siap," Sarah membantu Vinka berdiri, membimbingnya ke kamar mandi.

"Hati-hati,"

Vinka memasukkan kaki kanannya.

"Mau saya temani?" Tanya Sarah.

Vinka mengeleng "tidak perlu, kau bantu yang lain saja, aku akan memanggil, jika perlu bantuan."

"Saya permisi nona." Sarah menutup pintu kamar mandi tersebut dengan perlahan tanpa suara.

avataravatar
Next chapter