2 Pengalaman Pertamaku Menulis Fiksi #2

Walau begitu, aku hanya sekilas saja mendengar dan memikirkan kabar-kabar tentang keadaan Nining.

Bagi aku, Nining adalah sosok masa lalu yang tak perlu dihadirkan kembali dalam masa kiniku. Takdir cintaku padanya adalah cinta yang tak harus memiliki selamanya.

Sampai suatu ketika kesibukan bercengkerama dalam sepiku dengan Nining, terputus oleh sebuah realitas, bahwa, hari Raya Idul Fitri tinggal sebulan lagi.

Aku menjadi tersadar.

Aku tidak boleh terus-terusan asik sendiri bercengkerama dengan Nining.

Terbayang bila hari raya Idul Fitri biasanya keponakanku yang lucu itu kubelikan baju lengakap plus uang ngelencernya. Teringat juga akan ibu dan Nenekku yang sangat perlu uang untuk kebutuhan hari raya.

Aku tidak boleh egois dengan kebahagiaan aneh yang telah kumiliki itu.

Aku harus lebih mengutamakan kebahagian keponakan, Ibu, dan nenek di hari raya Idul Fitri. Yah, aku harus rela berjarak, menjeda sejenak bercengkerama dengannya dalam setiap sepiku.

Kemudian aku memfokuskan diri menyelesaikan tugas-tugasku yang aku abaikan selama bekerja sebagai pekerja sosial pendampingan anak-anak miskin yang difasilitasi oleh ILO (International Labour Organization).

Untuk sementara waktu aku mempersembahkan tenaga dan pikiranku dalam pekerjaan itu, walau pun aku tak pernah cocok dengan ideologi pragmatisnya orang-orang yang bekerja didalamnya.

Pasca hari raya Idul Fitri.

Aku memutuskan diri berhenti dari pekerjaan itu walau pun aku sangat membutuhkannya. Banyak sebabnya, terutama aku tak ingin idealisme hidupku tercabik-cabik dengan menjadi pekerja sosial pendidikan anak-anak miskin, tetapi orang-orang yang bekerja didalamnya, ideologinya pragmatis semua.

Atas nama memajukan pendidikan anak-anak miskin tapi sebatas untuk mendapat dan mengelolanya sebagai data mati, demi kontrak lembaganya diperpanjang oleh penyandang dananya.

AKu lihat tak ada jiwa pengabdian sosial sedikitpun diantara mereka.

Sementara uang tabunganku sudah ludes. Aku kebingungan setelah berhenti dari pekerjaan itu.

Entahlah.

Seminggu setelah hari raya Idul Fitri, diwarung kopi Buk Yon, ditengah kebingunganku, terlintas untuk kembali gila-gilaan bercengerama dengan Nining.

Tapi, entah kenapa selama sebulan puasa sampai hari ke 7 Idul fitri itu, Nining tak pernah hadir lagi seperti sebelumnya.

Dalam kesendirian duduk diwarung Buk Yon, walaupun aku telah merasakan kesepian mendalam, Nining tak jua hadir. Agenda untuk merampungkan tulisan cerita yang masih belum kelar itu, menjadi malas meneruskannya.

Dua jam sendirian duduk di warung Kopi Buk Yon. Teman ku yang bernama Satria datang dan langsung duduk disampingku.

"Oh, ya Mas. Sampai lupa. Mohon maaf lahir batin."

"Iya, sama-sama. Gimana kabar advokasi-advokasi perempuanmu?"

Aku membuka obrolan agar ia bercerita panjang lebar dan bisa mengusir rasa sepiku.

"He he..sek sek. Aku tak bales dampingan advokasi terbaruku" Selorahnya kembali asik dengan dunia BBMnya.

Biasanya anak ini suka mengumbar kata kaitan filsafat dengan perempuan, agama dengan perempuan, hubungan ilmu kimia dengan perempuan, apapun selalu dikaitkan dengan nilai-nilai yang ada dalam perempuan.

Kali ini dia lebih asik dengan chattingnya daripada membicarakan dunia perempuan.

Temanku ini unik. Tidak mau dibilang pacaran saat kencan dengan pacar barunya, tetapi lebih senang disebut sebagai kerjanya mengadvokasi perempuan.

Aku mulai terkena virusnya. Rasa kesepian hidupku mulai melanda. Kelebat bayang Nining pun datang. Seketika itu aku pingin menuliskan cerbung episode 7 nya.

Setelah aku bayar kopiku, tanpa pamit ke Satria, aku berlalu begitu saja dari warung Buk Yon.

Aku selekasnya kembali ke kamar kontrakan. Ku nyalakan komputer, bergegas untuk menuliskannya.

Aneh.

Tak seperti biasanya.

Biasanya bila jemariku mulai mengetik nama Nining, ia akan ada di sampingku menemaniku mengurai masa laluku bersamanya. Tapi kali ini ia tak datang.

Saat ketikanku sampai pada paragraf ke dua, tiba-tiba ada bau anyir darah yang menyengat ke hidungku. Begitu nyata terasa.

Aku orangnya tak percaya hal-hal mistik maupun klenik, sebab, pikiranku sudah penuh dengan aliran filsafat nihilisme.

Tapi bau anyir darah itu nyata sekali!

Sejenak aku menghentikan menulis. Aku keluar kamar menemui teman kostku.

"Kamu gak mencium bau anyir darah, Wan?" tanyaku pada Wawan.

"Enggak ini. Biasa saja tuh!" jawab Iwan sambil menghirup-hirup udara kamarnya.

"Oh, sudahlah. Mungkin kamarku saja yang bau." ucapku berlalu darinya.

Iwan terbengong melihat keanehanku

Aku kembali ke kamarku dan menutup pintu.

Bau anyir darah itu pun menghilang. Ah ini pasti hanya delusiku saja

Tulisan di layar komputer yang sudah sampai 2 paragraf itu, kembali kulanjutkan menulisnya.

Tak sampai menuliskan 4 paragraf, ruangan kamarku, tiba tiba seperti ada bau wangi dupa.

Seketika bulu kudukku berdiri, namun aku berusaha tetap meneruskan ketikanku.

Aku mengacuhkannya.

Sekuat hati aku coba terus menulis, jemariku tetap mengetik walau mulai tak fokus.

Aku pikir ini halusinasiku saja yang kebablasan.

Saat jemariku mulai mengetik nama Nining, tiba tiba aku terdorong untuk memasuki alam mistis. Sebuah alam yang asing dan aneh. Alam lain, yang tak bisa di jangkau dengan akal pikiranku. Yang tak bisa di singkap dengan bukti ilmiah empirik.

Jiwaku bergetar hebat.

Tiba tiba pula, bau wangu dupa pun berubah menjadi bau wangi bunga kamboja. Bau itu begitu menghanyutkanku untuk selekasnya masuk ke alam mistis itu.

"Kok jarang menghubungiku?" kata dia. Seperti suara nyatanya Nining. Walau 8 tahun tak bertemu, tapi suara itu sangat aku ingat.

Untunglah....

Aku masih berada di ruang batas kebimbangan.

Selekasnya, aku tidak berusaha menjawab suara itu.

Sebab, perasaanku masih begitu takut masuk ke alam yang aneh itu. Pikiranku mengingatkan bahwa bunga kamboja itu tumbuhnya di kuburan.

Untunglah ...

Pikiranku yang sudah terlatih dengan filsafat kritis masih mampu melawannya, walau bau bunga kamboja itu semakin menyengat.

Aku lekas-lekas mematikan komputerku. Dan aku menarik nafas dalam-dalam supaya pikiranku normal kembali.

Aku keluar kamar, lalu berlari kecil ke halaman depan.

Aku tercenung di halaman depan kos-kosan. Memikirkan peristiwa bau ruangan yang bergant tiga kali, mulai dari anyir darah, bau dupa, sampai bau bunga kamboja.

Apakah peristiwa yang barusan terjadi sebagai tanda-tanda aku mau masuk ke dalam dunia kegilaan yang sebenarnya?

Entah.

Tapi tidak mungkinlah, aku bisa menjadi gila, sebab otak rasionalitasku terlalu kuat di kalahkan oleh halusinasi pada Nining selama ini.

Ataukah..itu isyarat dari Nining agar aku datang ke rumahnya?

Mungkin juga begitu.

Siapa tahu dia sudah menjanda, lalu baca cerbungku tentang cintaku padanya, lalu ia pun menyatakan cinta kepadaku. Dan kami pun menikah.

Hemn sungguh, happy ending sebuah cerbung cinta tak memiliki yang tiada duanya di dunia ini.

Kebetulan hari itu masih dalam suasana lebaran. Jadi ada alasan bermaafan sambil bertanya kabarnya Nining.

Tombol HP jadulku yang pulsanya tinggal sedikit kupencet. Lalu nomor rumah Nining 0334520xxx.. aku ketuk. Walau aku tak pernah menelpon Nining selama 8 tahunan, tapi aku masih sangat hapal luar kepala sampai sekarang.

Dengan sisi pulsa yang tinggal sedikit. Berbicara secukupnya dan Berharap kabar Nining akan baik-baik saja

"Tuut tuut ..." Menunggu telponnya diangkat dengan hati yang deg-degan.

"Hallo" Suara seorang ibu setengah baya menyapa.

"Assalamu`alaikum, buk!" Sapaku mengakrabkan diri biar tidak dicurigai macam-macam.

"Waalaikum salam. Ini dari siapa?"

"Saya teman kuliahnya Nining, buk. Saya hanya mau mengucapkan minal aidin saja. Nining-nya ada Buk? Kalau boleh saya ingin bicara sebentar"

"Waduh mas, sampean belum tahu kabar Nining, ya?" Terdengar nadanya sedih.

"Nggak tahu buk. Emang kabarnya Nining kenapa. Dia sehat saja kan Buk?"

Aku mulai cemas dan penasaran dengan kabar Nining.

"Nining sudah meninggal dunia, mas. Sekarang sudah dapat satu tahunnya."

"Innaliilahi wa innaa ilaihi roji`un."

Kakiku berdiri lunglai

"Saya ikut berduka cita buk. Saya ikut merasa kehilangan. Kalau boleh tahu meninggalnya karena sakit apa buk?"

"Iya terima kasih. Sakit itu, ehmm..sakit paru-paru mas!"

"Tut..Tuut..." Telpon terputus, pulsaku tak cukup melanjutkan percakapan.

avataravatar