webnovel

Ketukan

Suasana pagi di hari minggu, hujan turun dengan deras tanpa terdengar gemuruh bahkan sambaran petir, seolah lenyap oleh guyuran air hujan. Seorang wanita tengah berdiri di sudut ruangan sebuah Cafe yang cukup terkenal di Daerah Istimewa, di Indonesia. Sambil memperhatikan jam ditangannya, ia menghela nafas panjang.

Ia kembali duduk sambil melihat ke meja yang ia pesan. Di sana telah tersaji secangkir kopi dan di sampingnya ada sebuah tas ransel. Matanya awas memperhatikan sekitar. Suasana Cafe di sini sunyi dan sepertinya hujan akan menahannya di sini dengan waktu yang cukup lama.

Ia mengeluarkan handphone dari sakunya. Membuka aplikasi pengirim pesan yang sudah dipakai oleh banyak orang. Jari-jarinya mengetik sesuatu. Lalu menghapusnya kembali. Handphonenya bergetar. Dilayarnya tertulis nama "My Bestie", lalu ia mengangkatnya.

"Sepertinya pagi ini kita akan sedikit terlambat" suara dari ujung telpon itu merengek seperti anak kecil

"Tenang Ratih, mereka pasti memaklumi alasan keterlambatan kita. Sebenarnya aku sudah ada di Cafe sejak tadi pagi. Maaf aku tidak menghubungimu, soalnya paket internetku habis tadi"

"Yah...nggak adil dong, masa kamu sampai duluan di sana. Kalau gitu aku mau mandi dan segera menyusul ke sana" Ratih kembali menggerutu karena Temannya, Widuri, tidak memberitahunya lebih awal.

Ratih mengakhiri percakapan mereka. Widuri meletakkan handphonenya di meja. Membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah buku Biologi bersampul coklat dan mulai membacanya.

Hujan tampaknya mulai mereda, namun rintik-rintik masih terus berlanjut. Sepasang mata sedang mengawasi, melihat ke arah Widuri yang tengah fokus dengan bukunya. Seorang gadis yang tengah mengawasi itu tersenyum menyeringai dan berjalan mundur dengan perlahan.

Tiba-tiba terdengar suara tabrakan.

Brug!

Seketika itu, ramai orang berkerumunan hendak melihat apa yang terjadi. Di sekitar Cafe menjadi ramai. Widuri tampak begitu penasaran, ia berjalan ke arah kerumunan. Tapi, angin semilir berhembus memanggilnya.

"Wid...." suara yang halus, seperti suara wanita

Widuri memberhentikan langkahnya, ia merasakan sesuatu yang aneh. Terlihat Ratih berlari kecil dengan memegang payung menghampiri Widuri.

"Heh, kok malah ngelamun"

"Tadi kamu manggil aku ya?"

"Dari tadi aku terus manggil kamu. Aku udah teriak-teriak tapi kamu tetep fokus jalan ke depan"

"Iya deh, maaf ya. Aku nggk dengar tadi"

Ratih menarik Widuri menjauh dari keramaian dan masuk kembali ke Cafe. Berjalan ke meja yang di pesan oleh Widuri sejak tadi pagi.

"Kamu ceroboh banget ya, Wid, liat itu tas dan handphone kamu tinggal gitu aja. Kalau sampai hilang gimana coba?"

Tampaknya ocehan Ratih tidak dihiraukan oleh Widuri. Mereka duduk. Buku Biologi tergeletak di atas meja. Ratih tampak pusing dan segera menyingkirkannya.

"Kerajinan banget kamu, Wid, udah simpan buku itu, atau aku akan membawanya kembali ke perpus"

Widuri tertawa kecil mendengar ocehan temannya ini. Ratih memang begitu tidak sukanya dengan pelajaran, apalagi Biologi. Cepat-cepat iya memasukkan buku itu ke dalam tasnya.

"Wid, selesai dari bisnis ini, kamu ikut aku ya ke rumah. Soalnya ibuku lagi pergi dari beberapa hari yang lalu. Aku takut sendirian di rumah"  bujuk Ratih pada Widuri.

Widuri menggangguk.

"Tapi...aku harus ambil barang-barang dulu di rumah. Kamu duluan aja, nanti aku susul"

"Oke, thank you my bestie" sambil mencubit pipi Widuri.

**

Ratih pulang dari kampusnya sejak pukul 16.30 WIB, sekarang ia berada di kamarnya tengah merebahkan badannya di kasur. Tiba-tiba pintu rumahnya diketuk.

Tok!tok!tok!

"Widuri" pikirnya.

Ratih keluar dari kamar, berjalan menuju pintu dan membukanya. Tapi tidak ada siapapun di sana.

"Loh, kok nggak ada orang? Jelas-jelas tadi ada yang..."

Menyadari ada hal yang aneh, Ratih segera menutup pintu dan menguncinya. Ia mengambil handphone dan mencoba untuk menghubungi Widuri. Pintunya di ketuk sekali lagi.

Tok! Tok! Toktotktotktok!

Ratih berlari mengunci dirinya di kamar dan bersembunyi di bawah selimut.

***

Senja mulai terlihat, Widuri berjalan menyusuri jalan setapak, jalannya licin dan berlumpur, ia harus hati-hati saat berjalan. Jalan yang diapit oleh gudang pabrik kopi yang masih beroperasi dan kebun jagung disebrangnya, suasana yang sepi menambah kesan horor di setiap sudutnya.

Dari berbagai sudut, ia dapat merasakan ada seseorang yang tengah memperhatikannya.

****

Ratih terus menelpon Widuri tapi hasilnya nihil. Pintu terbuka, krikk....

"Nak"

Suara Iswari memanggil anaknya dan ia kembali menutup pintu.

Ratih buru-buru keluar dari kamar dan memeluk ibunya.

"Ibu, Ratih takut"

"Memangnya ada apa?"

"Tadi ada yang.."

Belum selesai bicara, ketukan itu terdengar lagi tapi kali ini dengan suara.

"Assalamualaikum, Rat, ini aku, Widuri"

"Kamu ada di dalamkan, Rat?"

Ratih kemudian membuka pintu dengan perlahan sambil mengintip di balik pintu. Widuri memelas, Ratih membuka pintu tanpa ragu.

"Oh Widuri, ayo masuk Wid"

"Tapi kakiku kotor nih" sambil menunjukkan kakinya yang hampir penuh dengan lumpur.

"Kalau gitu kamu cuci dulu, di samping gerbang itu ada kran"

"Oke"

Di ruang tamu, Ratih menyuguhkan kue dan teh hangat untuk Widuri. Widuri masuk dan duduk di samping Ratih.

"Ibumu udah pulang?"

"Iya, tapi sekarang lagi di kamarnya"

"Kalau gitu aku pulang aja ya, kan ibu kamu udah pulang"

"Eh jangan, kebetulan kamu ada disini, bantuin aku kerjain tugas"

"Tapi,"

"Ayolah, plis...."

"Yaudah deh" Widuri mengalah.

Malam ini hujan kembali turun, Ratih dan Widuri sibuk mengerjakan tugas. Tiba-tiba Widuri merasa ingin ke kamar mandi.

"Aku ke kamar mandi dulu ya, sekalian ambil minum"

"Aku titip camilan ya, hehe"

"Iya deh"

Widuri berjalan menuju dapur, terlebih dahulu ia pergi ke kamar mandi. Setelahnya ia mengambil minum dan juga camilan. Saat hendak ke kamar, selintas bayangan hitam melewati ia dari belakang. Suara orang berbicara dengan nada berbisik dari bawah meja.

Widuri yang penasaran mencoba mencari tahu ada apa dibalik meja. Tercium bau anyir dan gosong dari bawah, saat Widuri melihatnya terlihat sosok wanita berlumuran darah tengah menjilat seonggok daging sambil berbisik "mati kau mati". Sosok itu menyadari kehadiran Widuri, dilemparnya seonggok daging itu ke arahnya. Sontak Widuri berteriak dan menjatuhkan gelas serta camilan yang ia genggam.

Prang!!!!

Ratih dan Iswari segera menghampiri Widuri. Widuri masih tidak percaya dan syok atas apa yang barusan ia lihat.

Ratih mencoba menenangkan Widuri. Iswari berjalan ke arah jendela, mengintip dari celah, " Ismo".

Iswari berlari ke kamarnya, mengambil beberapa pakaian dan memasukkannya ke dalam tas. Ratih dan Widuri

menghampirinya. Ratih mencoba untuk menghentikan ibunya.

"Ibu, mau kemana?"

"Nak, cepat kamu juga siap-siap. Kita harus segera pindah dari tempat ini"

"Tapi kenapa bu, jelasin alasannya ke Ratih?"

"Nggak ada waktu, nak"

"Kalau gitu Ratih nggak mau pergi dari sini"

Iswari berhenti dari kegiatannya dan menangis.

"Sudah Rat, turuti saja apa keputusan ibumu"  bujuk Widuri kepada Ratih

Ratih mendekati ibunya, Iswari menyeka air matanya. Lalu duduk di atas dipan.

"Yasudah bu, kalau memang ini keputusan ibu. Besok saja kita pindahnya, malam ini istirahatlah dulu sebentar"

Ratih dan Widuri meninggalkan Iswari di kamar sendirian. Mereka berjalan ke kamar Ratih, merapikan buku-buku. Dan bersiap untuk tidur. Ratih mematikan lampu kamarnya.

Next chapter