2 Selendang Hitam

Tepat pukul 03.00 WIB, aku mengakhiri sesi latihan kali ini. Mereka sudah terlihat sangat lelah, bukannya tega atau apa, sebentar lagi mereka akan melakukan tes kenaikan sabuk bersama siswa dari rayon lain. Aku ingin mereka benar-benar siap agar tidak minder saat mengikuti tes di tempat lain.

Setelah memastikan semua siswaku pulang, aku menghampiri Dea yang tengah asik meringkuk dibalik selendangnya, matanya terpejam dan dengkuran halus terdengar syahdu mengiringi tidurnya, dia terlihat sangat lelah.

"Ndut, bangun!" aku menepuk pelan pundak gadis itu, tapi Dea bukanlah Dea kalau mudah dibangunkan.

Aku lalu mencubit gemas pipinya hingga ia mengaduh kesakitan.

"Aaargh! Bangsul! Sakit gilak!" teriaknya begitu ia membuka mata.

Melihat death glare yang ia layangkan, membuatku langsung melangkah mundur sambil menyunggingkan senyum lebar.

"Pulang! Mau aku antar?" tawarku.

Dea masih manyun, ia lalu meraih selendang dan handphone-nya, lalu beranjak meninggalkanku tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Aku segera menyusul gadis itu dan merendeng langkahnya.

"Gak usah barengan pulangnya! Aku bisa pulang sendiri, lagian gak searah!" ketusnya.

"Ya pudah, tapi hati-hati sama pohon ketapang di dekat pertigaan!" bisikku.

"Gak usah nakut-nakutin! Ini daerahku, bahkan demit pun udah kenal sama aku, mereka gak akan macem-macem! Kalo berani macem-macem, disebul karo bapakku (ditiup sama bapakku)!" ucapnya dengan santai.

Dea lalu berjalan cepat meninggalkanku. Aku hanya mengekor di belakangnya sampai ia sampai rumah, baru setelahnya aku berbalik arah dan berjalan gontai menuju rumahku.

Suara tapak kaki yang terdengar beriringan membuat langkahku langsung terhenti. Aku diikuti? Di jam segini? Serius?

Bugh!

Sebuah batu yang tidak terlalu besar menghantam pundakku. Aku langsung menoleh ke arah semak-semak dan menghela napas berat setelahnya.

Mereka bercanda?

"Keluar!" sentakku kesal.

Beberapa mahluk melompat keluar dari semak-semak dan menyerangku dengan tidak santainya.

Aku bergerak cepat untuk menghindari setiap serangan mereka. Ingin kumengumpat kasar saat sebuah tinju berhasil mendarat di pipi kananku.

Aku menarik lengan bajunya, menyikut dagunya dari bawah, lalu menendang ulu hatinya sekeras yang kubisa hingga ia terkapar di tanah.

Pria lainnya langsung melakukan kuncian lengan begitu aku lengah, aku menarik tubuhku ke arah pohon besar didekatku dan menggunakannya sebagai batu loncatan untuk melakukan jatuhan belakang hingga pria di belakangku ikut terbanting ke belakang.

Secepat mungkin aku berdiri dan memasang kuda-kuda untuk menerima serangan mereka.

Karena cukup gelap, aku tidak bisa melihat mereka dengan jelas, tapi yang pasti, ada empat pria tengah mengepungku.

Mereka...

"Hentikan! Kita kemari bukan untuk menghabisinya!" ucap salah seorang di antara mereka.

Mereka mengenakan celana komprang berwarna hitam, kemeja lengan panjang berwarna hitam, dan selendang hitam yang menutupi separuh wajah mereka.

Aku pernah mendengar desas-desus tentang kelompok dengan ciri-ciri seperti ini, mungkinkah mereka...

"TG?" seruku pelan.

Mas Doni pernah menceritakan sebuah rumor yang tengah beredar di kalangan para pendekar, tentang TG dan selendang hitamnya. Tapi, jika benar mereka TG, untuk apa mereka mencegatku? Aku tidak merasa pernah melakukan apa pun yang cukup untuk menjadikanku target mereka.

Bukankah mereka hanya mengincar para pembuat onar?

"Apa yang kalian inginkan dariku?" ucapku pelan.

Aku bisa bersikap santai sekarang, mereka tidak akan melukaiku karena dari yang kudengar, mereka suka bernegosiasi.

"Sebelumnya, kami akan memperkenalkan diri dengan lebih pantas terlebih dulu. Kami adalah TG, cukup mengejutkan karena sampean (kamu) sudah mengetahuinya. Kami membereskan masalah sebelum masalah itu menjadi lebih besar dan memakan lebih banyak korban, sampean (kamu) pasti tahu apa yang kami maksut." seorang pria yang sepertinya adalah pemimpin mereka membuka suara.

"Lalu?" selaku.

"Kami sedang melakukan perekrutan anggota. Jika sampean (kamu) berkenan untuk bergabung dengan kami, kami akan sangat berterima kasih." lanjutnya.

Bergabung?

Aku menghirup udara sebanyak yang kubisa dan mengisi paru-paruku dengan udara sejuk untuk menjernihkan hati dan otakku.

"Kenapa aku?" tanyaku pelan.

"Kami sudah mengawasi sampean (kamu) sejak satu tahun terakhir, dan menurut kami, sampean (kamu) masuk kriteria anggota yang kami butuhkan." sahutnya dengan lugas.

Aku diawasi? Apa dia anggota organisasi Selendang Putih juga? Ada banyak pertanyaan yang kini bersarang di kepalaku. Tapi aku yakin mereka tidak akan menjawabnya. Mereka itu terkenal misterius, mereka tidak pernah mengungkapkan apa pun mengenai identitas organisasi rahasia mereka. Jadi, tentu saja aku tidak ingin membuang-buang tenaga untuk bertanya.

"Maaf, tapi aku sama sekali tidak tertarik." Aku mengucapkannya dengan hati-hati.

Karena tentu saja membuat mereka tersinggung bukanlah hal bijak untuk dilakukan.

"Jangan buru-buru, Mas. Kami akan memberi sampean (kamu) waktu untuk memikirkannya terlebih dulu. Temui kami di tengah malam saat bulan purnama di tempat ini!"

Setelah mengatakan itu, mereka membubarkan diri, lenyap di kegelapan malam.

Okay, di mana mereka meletakkan kendaraan mereka?

Aku serius penasaran!

***

"Ngelamunin apa, Le?"

Aku tersentak kaget saat Mas Doni menepuk pundakku. Bisa-bisanya aku melamun saat melatih seperti ini. Di mana pikiranku?

Aku menggeleng pelan setelah menoleh ke arah Mas Doni. Kembali fokusku tertuju kepada para siswa di lapangan yang masih berusaha sekuat tenaga untuk menahan napas mereka.

"Keluarkan!" seruku.

Semua langsung mengeluarkan napas mereka perlahan dari hidung. Melihat wajah mereka yang semerah tomat membuatku menahan senyum. Mereka terlihat seperti kepiting rebus yang sedikit gosong.

"Kalau kamu lelah atau lagi banyak pikiran, istirahat saja, Le!" ucap Mas Doni.

Aku menggeleng pelan, ini semua karena TG. Jujur aku sangat penasaran dengan organisasi rahasia itu.

"Istirahat, Dek!" seruku lalu berpaling menghadap Mas Doni dan memunggungi siswa-siswaku.

"Ada yang mengganggu pikiranku, Mas!" seruku tanpa basa-basi.

"Ya sudah, ayo ngopi dulu! Mbak Dea, dikasih hadiah dulu siswanya, kasihan capek!" Mas Doni memanggil Dea yang tengah bermain handphone di bawah pohon mangga.

Aku tahu, dia pasti sedang mendownload drama Korea setelah mengaktifkan hotspot dari handphone-ku.

Ya, terserah saja.

Dea memasukan handphone-nya ke dalam saku dan mengambil sebuah botol dari dalam tasnya. Botol itu berisi jamu yang dibuat dari daun pepaya untuk memulihkan tenaga siswa yang baru saja kukuras.

Aku mengekori Mas Doni dan duduk di kursi panjang sambil melihat jauh ke arah lapangan. Sudah tersedia dua gelas kopi dan segelas susu cokelat di sana.

"Apa yang mengganggumu, Le? Gak biasanya lho kamu melamun seperti itu!" Mas Doni mulai membuka suara.

"Belakangan ini, aku mendengar beberapa rumor tentang TG, Mas."

Raut wajah Mas Doni langsung berubah seketika. Ia menatapku penuh tanya.

"Aku cuma penasaran tentang mereka. TG itu apa? Mereka itu siapa?"

"Mas hanya tahu, mereka adalah sekumpulan orang dari berbagai organisasi yang bersatu untuk mendisiplinkan para pendekar yang meresahkan organisasi dan masyarakat."

"Bagaimana cara kerja mereka?"

"Tidak ada yang benar-benar tahu, tapi sepertinya, mereka mencegah terjadinya perang antar organisasi. Kamu tahu lah, kalau antar organisasi masih berperang dingin sampai sekarang. Mereka terus mengungkit luka-luka lama yang pada akhirnya memunculkan luka-luka baru!"

Mas Doni menerawang jauh ke arah lapangan saat mengatakan itu.

"Apa mereka jahat?" tanyaku dengan bodohnya.

Senyum tipis yang Mas Doni sunggingkan itu sungguh membuatku berpikir dengan keras.

Jadi, jawabannya iya atau tidak?

avataravatar
Next chapter