webnovel

SERI A - PEMBUNUHAN SEORANG KONTROLIR

Prolog

Di tengah lebat hutan jati yang lembap dan pekat, terdengar suara erangan dan rintihan perempuan yang tengah kesakitan. Siang itu menjadi terlalu gelap karena cahaya matahari terlihat mulai tertutupi oleh bayangan bulan.

Orang-orang di kampung-kampung mulai menyalakan dupa dan memberikan sesaji untuk sang Batara Kala. Mereka berdiam diri di rumah. Tak ada seorang pun yang berani keluar, bahkan sekadar untuk membuang hajat di belumbangan. Semua orang begitu ketakutan saat matahari perlahan-lahan mulai dilumat oleh sang Batara.

Kondisi sepi dan mencekam itu tidak menghalangi tujuan dua kelompok warok dari dua wilayah yang berbeda. Warok dari Padepokan Wengker yang sangat ditakuti karena keberanian dan kekuatannya dalam melawan kejahatan, sedang bersiap untuk turun ke desa-desa dan memeriksa kemungkinan adanya kelahiran yang bertepatan dengan puncak gerhana. Selama beratus-ratus tahun mereka melakukan hal itu. bayi-bayi itu akan diselamatkan dan dididik untuk menjadi pribadi yang menjauhi kejahatan.

Sedangkan para warok dari Padepokan Wengker, mereka juga sedang bersiap menyisiri warga yang mungkin akan melahirkan. Perbedaannya, mereka akan membunuhi bayi-bayi itu tanpa kecuali. Mereka takut jika kelahiran bayi Batara akan membawa kerusakan dan kehancuran.

Di sebuah rumah bambu beratap welit, suara erangan dan kesakitan perempuan itu semakin menjadi-jadi. Sang suami yang duduk menemani hanya bisa berkomat-kamit merapal mantra dan sesekali mengusap peluh yang menderas di kening sang istri.

"Aku tidak akan bisa melahirkan bayi ini seorang diri, Kangmas!" erang sang istri dengan napas megap-megap.

"Maafkan aku, Adinda. Tak ada yang bisa kita lakukan selain berjuang sendirian. Aku tidak mungkin memanggil dukun beranak di kaki bukit sana saat bertepatan dengan amukan Batara. Mereka mungkin akan melaporkan kelahiran anak kita. Beruntung jika yang mendengar adalah warok Wengker, bagaimana jika itu warok Bantarangin? Anak kita akan dibunuhnya! Anak yang sudah kita nanti belasan tahun lamanya!"

Langit semakin gelap dan pekat. Burung-burung gelisah di sarangnya. Serangga-serangga berhenti menguak. Semua senyap menahan penderitaan masing-masing atas ketakutan yang mereka sendiri tak memahaminya.

Sang istri semakin merintih kesakitan. Dia berjuang keras untuk tidak mengejan dan terus menahan agar sang jabang bayi tidak keluar bersamaan dengan puncak kemarahan Batara.

"Satu menit saja, tahanlah, sampai Batara memuntahkan kembali mataharinya!" pinta sang suami dengan putus asa.

Di sebuah rumah jati megah di tengah-tengah pelataran rindang, suara jeritan dan erangan juga memekik dari salah satu bilik yang tertutup sepenuhnya oleh kain putih.

"Aaah ... sakit ... sakit sekali! Aku tidak tahan!" pekik seorang perempuan yang terbaring tak berdaya di atas dipan berukir indah.

Para budak perempuan di rumah itu berkumpul untuk membantu persalinan seorang selir adipati. Sejumlah budak pria juga terlihat sibuk melayani sang Adipati yang terus saja mondar-mandir dengan gelisah, antara memikirkan nasib istrinya yang tengah berjuang melahiran sang jabang bayi dan nasib anaknya sendiri yang mungkin akan ikut terlahap oleh Batara saat kepalanya muncul dari lubang peranakan.

"Ingat-ingat ini! Jangan sampai ada yang membuka suara terkait kelahiran anakku! Siapa pun dia akan kupenggal dengan tanganku sendiri!" teriak sang Adipati dengan suara yang menggelegar. "Jaga dan awasi seluruh regol dan pintu. Jangan biarkan seorang warok pun masuk ke sini!"

Matahari tinggal segaris sebelum akhirnya ditelan sempurna oleh sang Batara. Bersamaan dengan kegelapan itu, terdengar nyaring tangisan bayi dari dua tempat yang berbeda. Dua bayi yang lahir dari rahim bumi dan langit—antara kemiskinan dan kekayaan ibundanya.

Di bawah atap welit yang mulai menjamur dan lapuk, sang bapak menggendong bayinya yang masih terselubung selaput dan lendir dengan wajah pias dan ketakutan. Bukan kebahagiaan, tetapi kegelisahan yang terpancar.

"Ada apa Kangmas?" tanya sang istri ikut gelisah.

"Anak Batara!" pekik sang bapak sambil menyerahkan anaknya pada sang istri.

Perempuan ayu itu menerima dan menyusui anaknya dengan deraian air mata. Sekelebat, dia melihat suaminya berlari meninggalkan gubuk dengan tergesa setelah merapal mantra-mantra. Perempuan itu nelangsa.

Di rumah Adipati, tangis bayi kemerahan menambah semarak suasana suka cita yang sudah dari semalam mereka nantikan. Pria berkumis tipis itu meringsek masuk ke kamar bersalin sang istri meski sejumlah dukun beranak melarangnya. Dia tak peduli. Tak ada yang bisa melarang titah sang adipati. Senyumnya terkembang melihat sang jabang bayi yang mulai lahap menyusu pada sang ibu.

Di kamar yang berbeda, seorang budak perempuan juga tengah menggendong dan menyusui anaknya yang berumur sehari. Dia melahirkan anak sehat dan montok tanpa suami. Suaminya mati diterkam harimau di hutan saat kadungannya berumur lima bulan.

Tiba-tiba Adipati berbalik dan keluar. Dia panggil dan kumpulkan semua jongosnya saat itu juga.

"Anakku akan menjadi mahkotaku di kadipaten ini! Umumkan pesta tujuh hari tujuh malam. Sembelih kerbau dan sapi untuk perayaan. Juga datangkan para penari dan pemain reog untuk meramaikan pesta selamatan!" perintahnya pada sejumlah budak pria yang dengan setia terus berjongkok dan mengapurancang di depan bilik bersalin sang selir.

"Sendika dawuh, Gusti!" ujar para budaknya sebelum berlari melaksanakan perintah sang Adipati.

Pria itu kembali lagi untuk menemui anak dan istrinya. "Akan kuberi dia nama seindah parasnya ...."

Jari telunjuk sang selir terulur untuk membungkam sang Adipati. "Biarkan aku yang menerima hak istimewa itu."

"Nama apa yang akan kau beri untuknya, Adinda?" desak sang Adipati tak sabar.

Perempuan itu hanya tersenyum penuh arti.

***

Di kejauhan samar terdengar derap langkah kaki kuda. Kian lama, suara mereka kian mendekat. Seorang budak penjaga regol berlari dengan pontang-panting menghadap sang Adipati.

"Ampun, Ndoro! Para warok Bantarangin, mereka ...," tutur sang budak dengan wajah pias dan gemetar.

Tak memerlukan banyak penjelasan, sang Adipati sudah paham dengan apa yang terjadi. Para warok Bantarangin yang terkenal brutal dan suka memberontak itu ingin merebut anaknya yang lahir pada saat gerhana. Mereka mungkin akan membunuh ahli waris satu-satunya yang pernah dia miliki. Sang Adipati pergi untuk mengambil senjatanya dan bersiap menghadapi rombongan warok yang tak diundang itu.

Sang selir mendengar keributan di luar dengan sangat jelas. Dia sudah menyiapkan segala kemungkinan terburuk yang akan menimpa mereka. Dalam keadaan lemah dan masih terluka, dia berusaha menggendong dan mengecup bayinya dengan sepenuh jiwa.

"Panggilkan dia!" perintah Selir pada salah satu budak kepercayaannya.

Tanpa sepengetahuan siapa pun, budak perempuan yang tengah menyusui itu menyelinap masuk ke kamar sang selir sambil menggendong bayinya sendiri. Air mata perempuan itu berderai. Dia tahu pengabdian adalah segalanya. Keluarga Adipati telah banyak membantu dan memberikan kebaikan padanya. kedua perempuan itu saling menukar bayinya dalam kesadaran penuh.

"Tolong jaga anak ini dengan jiwa dan ragamu. Maka, aku juga akan melakukan hal yang sama pada anakmu!" ujar sang Selir dengan putus asa.

Budak perempuan itu hanya mengangguk sambil beruraian air mata dan lelehan ingus yang membasahi wajah. Dia serahkan anaknya untuk ditukar dengan anak sang Adipati. Sebelum berpisah, sang selir membisikkan sebuah nama pada budaknya, nama untuk anak yang mungkin tak akan pernah dia jumpai lagi.

Di luar, Adipati sudah kehilangan pergelangan tangan kanannya karena tebasan celurit salah satu warok. Dia jatuh tersimpuh dengan darah yang mengalir deras. Saat salah satu warok berusaha menerobos ke dalam bilik bersalin sang selir. Adipati menarik ujung pipa celana warok itu.

Plass!

Satu tebasan celurit memisahkan kepala Adipati dari batang lehernya.

Next chapter